Pagi ini aku tak melihat Kak Rangga melewatiku. Ditempat parkir juga tidak ada sepeda motor milik Kak Rangga. Dalam benakku bertanya, dimana Kak Rangga?
Terakhir aku melihat Kak Rangga hari kemarin. Hampir saja aku diantar pulang oleh Kak Rangga. Dan aku berharap aku memang diantar pulang oleh Kak Rangga. Tetapi takdir mengatakan, "Belum saatnya." Tapi aku bahagia bisa menaiki sepeda motor milik Kak Rangga.
Jika saja aku dapat berbicara dengan dengan barang, maka aku akan berbicara dengan motornya Kak Rangga hanya untuk menitip salam untuk Kak Rangga.
Kemarin, setengah hari aku berbaring di ruangan UKS karena sakit gigi, ditambah pusing dan lemas. Mungkin aku terlalu capek. Setelah bel pulang berbunyi, barulah aku keluar dari ruangan UKS namun tubuhku masih lemas.
Aku duduk didepan ruangan UKS dan aku menyandarkan tubuhku kepada Lulu. belum lama aku duduk, aku melihat Kak Rangga melangkah mendekatiku. Entah mengapa, melihat kak Rangga membuat jantungku berdegup begitu kencang hingga membuat aku semakin lemas.
Kak Rangga hanya melirik sebentar ke arahku seraya tetap berjalan melewatiku dan aku menenggelamkan wajahku ke punggung Lulu. Mungkin ia hendak ke ruangan Paskibra yang bersebelahan dengan ruangan UKS ini.
"Shan, tadi ada Kak Rangga," bisik Lulu padaku dan aku masih menenggelamkan wajahku di punggungnya.
"Iya, Lu. Aku tau," lirihku sembari menahan sakitnya gigi ini. Ditambah semakin lemas saja tubuhku.
Bisa aku dengar, Laila memohon kepada kak Rangga untuk meminjamkan sepeda motornya hanya untuk mengantarkanku. Aku fikir hari ini bukan hari perkumpulan Paskibra, bukan juga hari pelatihan Basket, bukan juga hari perkumpulan OSIS. Tapi mengapa kak Rangga tidak langsung pulang? Bisanya setelah pelajaran selesai dan tidak ada kegiatan lain, kak Rangga langsung pulang.
Ah, berfikir sendiri hanya membuat aku semakin lemas. Laila akhirnya mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku tahu mengapa Laila meminjam sepeda motor milik Kak Rangga. Karena orang-orang yang masih berada di sekolah hanya kami. Dan hanya sepeda motor kak Rangga yang belum digunakan. Alias nganggur.
Sebelum aku berdiri, kak Rangga tiba-tiba muncul di belakangku seraya berteriak, "Hati-hati! Remnya agak blong, jadi nginjek remnya harus kuat!" Aku terkejut dengan suara lantang kak Rangga sekaligus bahagia. Aku fikir secara tidak langsung, ia memperhatikan keselamatan orang lain termasuk aku didalamnya.
Akupun dibantu dipapahkan oleh Laila dan Lulu menuju gerbang sekolah dimana sepeda motor milik Kak Rangga dengan kak Rivaldi yang menyetirnya sudah menunggu disana.
Setelah tiba di rumah, aku langsung dibawa Papah dan Mamah ke klinik terdekat untuk berobat. Dan benar, lemasku ini berasal dari rasa capek yang berlebihan, tensi darahku juga rendah. Itulah sebabnya aku sedikit pusing. Dan sakit gigi ini, dokter memberikan pereda nyerinya.
Hari berikutnya, rasa lemas, pusing dan sakit gigi ini sudah sedikit lega, tetapi aku tidak diizinkan untuk masuk sekolah hari ini.
"Udah. Kakak dirumah aja dulu, ya. Istirahat dulu. Kondisinya belum pulih," ucap Mamah seraya membawakanku makanan dan obat.
"Tapi kakak gak apa-apa kok, Mah. Kakak udah sehat, kok!" ucapku seraya sedikit memaksakan untuk tetap ceria walau sebenarnya aku memang perlu istirahat. Tetapi aku ingin pergi ke sekolah dan bertemu dengan obat yang paling ampuh, yaitu Kak Rangga.
"Pasti pengen ketemu sama Rangga, ya?" ucap Mamah seraya mengembangkan senyum usil. Mamah tahu saja.
"Enggak, kok. Kakak mau belajar," sanggahku yang sebenarnya aku malu.
"Belajar 'kan bisa dirumah, Kak," ucap Mamah kembali.
Iya iya, aku menyerah. Mamah benar, aku ingin bertemu dengan kak Cokelat. Setelah aku jujur, akhirnya Mamah memberiku nasihat agar jangan terlalu berharap dengan orang yang belum pasti. Karena terlalu berharap kepada manusia itu menyakitkan.
Aku memang sedikit sulit untuk mencerna nasihat Mamah. Sebab ini pertama kalinya aku sangat berharap kepada manusia. Semoga hari ini, esok, dan selamanya jiwa ragaku selalu baik-baik.
Satu hari aku tidak masuk sekolah dan kini aku kembali ke sekolah. Seperti biasa, aku dibekali semangat dan rasa bahagia ketika hendak pergi ke sekolah.
"Lu, hari ini aku gak lihat kak Rangga. Kemana, ya?" ucapku ketika istirahat tiba.
"Aku juga gak tau, Shan. Dari tadi aku juga gak lihat," ucap Lulu seraya memakan jajanannya.
"Shana, kamu kemarin sakit. Kak Rangga juga, loh. Waktu kemarin kamu gak masuk sekolah, kak Rangga seharian tidur di UKS. Sakit katanya," ujar Laila yang tiba-tiba menghampiri kami.
"Yang bener, Laila? Sakit apa dia?" tentu saja aku terkejut sekaligus cemas.
"Tak tau. Kemarinnya lagi sih waktu kak Rivaldi nganterin kamu pake motornya Kak Rangga, kak Rangga sekalian nitip beliin obat penambah darah," ucap Laila. Aku dan Lulu hanya mengangguk.
"Ciye, kalian kompak banget sih, Shan! Saking kompaknya, sakit aja barengan. Kalian kompromi dulu, ya?" ucap Laila yang sebenarnya berusaha menggodaku dengan asumsinya. Dan aku hanya tertawa menanggapinya.
Firasatku mengatakan, hari ini kak Rangga memang tidak masuk kelas karena sakit. Tetapi itu hanya firasat dan belum tentu benar. Maka sebuah ide gila tiba-tiba saja muncul dikepalaku hanya untuk memastikan keberadaan kak Rangga.
Ketika istirahat kedua, aku memasuki ruangan guru dan menanyakan guru siapa yang akan mengajar di kelas kak Rangga setelah ini. Maka aku menemukan jadwal Ibu Nur yang akan mengisi kelas kak Rangga setelah istirahat ini. Akupun segera menemui Ibu Nur sebelum bel masuk berbunyi.
"Assalamu'alaikum. Ibu saya mau bertanya, setelah ini ibu masuk kelas 12 IPS 1, bukan?" tanyaku sesopan mungkin.
"Iya, Shana. Ada perlu apa?" tanya Ibu Nur dengan seriusnya.
"Boleh saya minta tolong, Bu. Saya ingin tau siapa saja yang tidak hadir hari ini di kelas 12 IPS 1. Boleh, Bu?" tanyaku dan aku berharap ini bukanlah tindakan yang tidak sopan karena aku memberanikan untuk seperti ini. Semua ini demi memastikan kak Rangga.
"Baik, boleh. Nanti sebelum pulang sekolah, Shana ke Ibu dulu, ya?" ucap Ibu Nur. Dan aku bersyukur Ibu Nur bisa diajak kerja sama.
Bel masukpun berbunyi, aku segera memasuki kelas. Setelah pelajaran selesai, aku langsung pergi ke ruangan guru untuk menemui Ibu Nur.
"Shana, mau kemana? Kamu bagian piket!" Teriak Eva seraya mengambil sapu.
"Besok aja! Ada urusan penting!" teriakku seraya berlari. Aku tak sabar ingin melihat hasil yang di bawa oleh Ibu Nur.
"Assalamu'alaikum," salamku ketika memasuki ruangan guru. Aku segera menghampiri Ibu Nur yang sedang membereskan mejanya dan bersiap untuk pulang.
"Oh Shana. Nih, Ibu tadi tulis di kertas yang tidak masuknya. Ada tiga orang. Rifka izin, Rizki sakit, dan Rangga sakit," Bu Nur menjelaskan kepadaku.
Dan benar saja firasatku. Kak Rangga ternyata sakit.
"Ada sesuatu nih kayaknya. Iya, Shan?" tanya Bu Nur yang membuatku bingung harus menjawab apa.
"Tidak, Bu. Hanya ingin tau saja," jawabku diiringi kekehan pelan.
"Gak ngasih kabar, ya pacarnya? Jadi cemas 'kan?" tanya Bu Nur yang berhasil membuat jantungku berdegup kencang. Ibu Nur ini tahu saja maksudku. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
"Terimakasih, ya, Bu. Maaf merepotkan," ucapku hati-hati.
Cinta berhasil membuatku menjadi senekat ini. Aku tahu ini mungkin kurang sopan. Menyuruh guru hanya untuk mendapatkan sesuatu yang tidak penting bagi mereka, tetapi sangat penting bagiku.