Satu hari kak Rangga tidak masuk sekolah dan aku rasa ada yang berbeda di sekolah tanpa ada kak Rangga. Baru satu hari saja tidak bertemu, aku rasa rindu. Semalam aku berdoa untuk kesembuhan kak Rangga supaya kami bisa bertemu kembali.
Dan pagi ini aku akan memastikan apakah kak Rangga sudah masuk sekolah atau belum. Seperti biasa, sebelum bel masuk berbunyi, aku nongkrong di depan koridor kelasku.
"Shan, pulang sekolah kita disuruh kumpulan Pramuka, ya?" tanya Salsa yang tiba-tiba muncul dari samping kelasku.
"Iya," jawabku singkat.
"Tumben, ya disuruh kumpul padahal hari ini gak ada jadwal latihan Pramuka," timpal Hanida yang sedang berdiri disamping Salsa.
"Katanya mau ada pemilihan calon kandidat ketua Pramuka." Kataku seadanya.
"Menurut aku, Shana yang bakalan jadi ketua," ucap Salsa dengan percaya dirinya.
"Betul, tuh. Menurut aku juga kamu, Shan yang bakalan jadi ketuanya," seloroh Hanida yang juga percaya diri.
"Eh, kok aku? Salsalah yang jadi ketuanya. 'Kan kamu aktif di Pramuka," ucapku memalingkan tuduhan.
"Enggaklah, Shan. 'Kan Shana yang lebih aktif," ucap Salsa kembali.
Belum lama kami berbincang, tiba-tiba kak Rangga melewatiku menggunakan jaket biru dongker yang melekat ditubuhnya. Seperti biasa, ia menoleh padaku sebentar dan akupun tersenyum tipis. Sangat tipis, sehingga dari kejauhan mungkin senyumku tak terlihat.
Aku bahagia kak Rangga bisa masuk sekolah kembali. Aku tak sabar menunggu bel istirahat berbunyi. Aku dengan kak Cokelatku akan curi-curi pandang di kantin Abah.
Setelah jenuh menunggu, bel istirahatpun berbunyi. Dengan segera, aku, Lulu, Eva, dan Risma berjalan menuju kantin Abah. Dan benar saja. Ketika memasuki kantin Abah, kak Rangga dengan kedua temannya sudah duduk ditempatnya.
Mataku dengan mata kak Rangga bertabrakan beberapa detik dan aku mengalihkan pandangan. Untuk menghilangkan rasa gugupku, aku mengambil jajanan dan kembali duduk sambil memakan jajananku.
Belum lama aku memakan jajananku, Abah yang sudah tua itu menghampiriku perlahan seraya memegang segelas minuman cokelat ditangannya.
"Ini, neng minuman cokelatnya!" ucap Abah seraya menyerahkan minuman cokelat itu padaku.
"Saya gak pesen minum, Bah," ucapku bingung.
"Ini dari si Aa yang duduk disana, neng," ucap Abah seraya menunjuk kepada kak Rangga dengan teman-temannya.
Dengan segera, kak Rangga menunjuk kak Bastian. Sementara kak Bastian dengan cepatnya menggeleng dan kembali menunjuk kak Rangga. Akhirnya mereka ribut saling menuduh dan berakhir dengan tawa. Sementara telingaku panas karena Lulu, Eva, dan Risma juga tengah menggodaku.
"Ciye, Shana. Itu minuman cokelat spesial, rasa cinta!" Teriak Eva dengan lantang.
"Ciye ciye. Cokelat rasa cintanya bikin klepek-klepek, ya?" Teriak Risma pula yang tak kalah lantangnya dengan Eva.
"Ciye. Shana dapet cokelat dari Tuan Cokelat!" ucap Lulu yang berakhir tawa lantang kami.
Tentu saja aku malu dan jika bisa, aku ingin menghilang dari tempat ini. Aku juga melihat sebentar kearah kak Rangga yang sedang saling menuduh seraya tertawa dengan kak Bastian dan satu temannya. Dapat kulihat dengan jelas, wajah kak Rangga merah. Apa ia juga menahan malu? Lantas dari siapa sebenarnya minuman cokelat ini?
"Ayo, Shan. Diminum minuman cokelat rasa cintanya!" Ucap Risma yang sebenarnya tengah menggodaku.
"Syuutt! Diem! Aku malu, tau!" Ucapku seraya memalingkan wajahku dari pandangan Tuan Cokelatku.
"Bukan malu ini mah. Tapi bahagia. Iya 'kan, Shan?" Tanya Eva dengan suara lantangnya.
Jika berlama-lama disini, aku akan semakin malu. Akupun berlari ke kelas membawa jajananku dan minuman cokelat ini yang sudah kubayar sebelumnya.
Tentu saja aku bahagia dengan pemberian ini. Tetapi rasa bahagia itu terkalahkan oleh rasa bingung dan penasaran. Sebenarnya siapa yang memberiku minuman cokelat ini?
Kak Rangga dan kak Bastian sama-sama membingungkan. Sejauh ini, kak Rangga selalu menunjukkan sikap cuek dan tidak mau peduli padaku. Tetapi sewaktu-waktu, sikapnya berubah menjadi misterius seperti ini.
Sedangkan kak Bastian, seringkali aku menangkap basah bahwa kak Bastian tengah memandangiku. Aku dengar juga dia sudah putus dari pacarnya gara-gara dia menyukai siswi angkatanku dari kelas IPA. Aku tahu ini pasti berita bohong. Jika benar putusnya kak Bastian dengan pacarnya karena kak Bastian menyukai perempuan lain, tak akan mungkin kak Bastian bicara ke banyak orang karena aku tahu kak Bastian salah satu orang yang cerdas di sekolah ini.
"Hey, gak boleh bawa makanan dan minuman ke kelas!" Tegur Ayya ketika aku akan duduk di bangkuku seraya membawa jajanan dan minuman cokelat.
"Enggak apa-apa, Shan. Minum aja cokelat rasa cintanya!" Teriak Eva seraya berjalan mendekatiku.
Rupanya Eva, Lulu, dan Risma mengikutiku dan mendengar ucapan Ayya.
"Cokelat rasa cinta apaan?" Tanya Ayya yang mulai bingung.
"Ini loh. Gebetannya Shana ngasih minuman cokelat. So sweet banget, ya?" Ucap Eva diakhiri tawa. Rupanya mereka belum puas menggodaku.
"Emang si Shana punya gebetan? Setau gue Shana pacarnya kak Rangga, anak kelas 12 IPS 1. Iya, 'kan?" Tanya Ayya dengan intonasi khas tomboynya. Tentu saja aku terkejut. Darimana Ayya tahu tentang aku dengan kak Rangga? Siapa yang menyebarkan berita bohong jika aku pacarnya kak Rangga?
"Emm, maksudnya itu. Pacarnya Shana ngasih minuman cokelat ke Shana. So sweet, 'kan?" Sahut Risma dengan sedikit ragu. Ternyata bukan hanya aku yang terkejut. Mungkin Lulu, Eva, dan Risma juga sama terkejutnya. Tapi mereka menjadikan ini sebagai lelucon sehingga mereka semakin menjadi menggodaku.
Setelah pulang sekolah, kami anggota Pramuka berkumpul terlebih dahulu sesuai perintah ketua Pramuka putra, kak Dadan.
"Kalian tahu, 'kan tujuan kalian di kumpulkan siang ini? Untuk membahas siapa yang akan menjadi calon kandidat ketua. Sebenarnya kami sudah memilih siapa orangnya. Tetapi kami ingin tahu bagaimana kebijaksanaan dalam menjawab pertanyaan kami oleh setiap kandidat." Tegas kak Dadan yang berhasil membuat teman-temanku yang lain gugup. Tetapi tidak denganku.
"Yang di panggil namanya harap maju kedepan!" ucap kak Rahma sebagi ketua Pramuka putri seraya membuka sebuah buku dan membacanya.
"Ayya, Tia, Diar, Shana, Asep, Hamdan, Andi, dan Sandi," sebut kak Rahma.
Sontak aku terkejut. Aku dijadikan kandidat ketua Pramuka? Tapi bisakah aku menjawab semua pertanyaan yang akan ditanyakan nanti?
Aku melangkah ke depan ruangan dengan sesantai mungkin. Aku tak ingin menunjukkan ekspresi gugup meskipun benar aku tengah gugup.
"Jika Pramuka di sekolah ini diundang untuk mengikuti perlombaan oleh dua sekolah, jika kalian terpilih menjadi ketua, bagaimana solusi kalian untuk mengatasi masalah ini?" Tanya kak Dadan dengan serius. Kami menjawab satu persatu.
Ini adalah pertanyaan mendadak dan selama ini belum pernah kami kedapatan dua undangan perlombaan oleh dua sekolah dalam waktu yang sama. Bagiku ini sedikit menguras tenaga otakku untuk berfikir.
Ayya, Tia, Diar, dan yang lainnya ambigu dalam menjawab pertanyaan. Begitupun denganku. Tapi sekali lagi aku menekankan pada diriku supaya jangan terlihat gugup.
"Jika kami diundang dalam perlombaan oleh dua sekolah dalam waktu yang sama, maka saya lihat dulu mana berkas yang lebih dulu sampai ke kita. Saya terima yang lebih dulu. Yang lainnya kita bisa ikut tahun depan." Begitulah jawab Ayya dan teman-teman yang lain. Tetapi aku adalah kandidat terakhir yang menjawab. Dan sebuah ide tiba-tiba muncul dikepalaku.
"Jika ada dua undangan perlombaan dalam waktu yang sama, maka saya akan membagi dua anggota Pramuka sekolah ini untuk mengikuti lomba. Sekolah ini, 'kan memiliki anggota Pramuka yang cukup banyak. Jika di bagi menjadi dua kelompok untuk mengikuti lomba, maka semua anggota akan bergerak, tidak akan ada istilah anggota Pramuka yang tidak aktif," begitulah jawabanku yang diikuti dengan teriakan dan decakan kagum dari para anggota Pramuka yang lain.
Terbesit dalam hatiku, aku bangga dengan diriku. Terimakasih Tuhan telah menciptakan aku dan menciptakan segala yang ada dalam diriku.