Aku tidak faham dengan cara Tuhan mengutus takdirku melalui semesta ini. Jatuh cinta itu memang menyenangkan, tetapi jalannya yang begitu rumit yang menjadi tantangan. Apa aku harus mundur? Sesekali aku bertanya demikian.
Tetapi hati terdalamku seolah berbisik, "Jangan mundur, tetap bertahan hingga kau mendapat sebuah kepastian." Tetapi sesekali aku fikir, bagaimana aku akan mendapat kepastian jika aku hanya diam saja, begitupun dengan kak Rangga yang tak pernah mau mendekat ataupun berbicara padaku.
Benar yang dikatakan oleh seorang penyair sufi, "Aku mencintaimu dalam diam, karena dalam diam aku tidak mendapat penolakan." Dan aku berfikir pun demikian. Mencintainya dalam diam memang menyenangkan dan parahnya, aku berfikir kak Rangga juga mencintaiku.
Namun berkali-kali aku ditampar oleh keadaan bahwa pada kenyataannya, jalan cinta tak seindah yang aku fikirkan. Selalu ada cobaan yang menerpa kisah cinta yang rumit ini.
Aku ingat. Dahulu ketika aku masih duduk di kelas 10 kak Rangga kerap bertemu denganku karena ia selalu menemui Anis yang kelasnya berada disamping kelasku. Sekarang setelah kelas 11 kak Rangga juga sering bertemu denganku karena ia sering menemui Sintya yang berada di samping kelasku juga.
Ah, terus memikirkan cinta yang belum pasti hanya akan membuatku lelah sendiri. Aku tahu aku tak punya nyali untuk memulai mendekati kak Rangga terlebih dahulu. Tapi aku bisa menunjukkan bahwa aku bukanlah perempuan biasa yang tak bisa apa-apa.
Aku akan menunjukkan padanya bahwa aku juga bisa menjadi siswi famous di sekolah ini, aku bisa jadi siswi yang berprestasi lebih dari kak Rangga, aku bisa menjadi siswa aktifis juga seperti Kak Rangga.
Siang telah menjelang, angin siang mulai bertiup lembut menyentuh segala benda yang ada di bumi. Pelajaran kedua telah berakhir. Seraya kami menunggu guru masuk, seperti biasa aku mengganggu teman-temanku dengan tangan jahilku.
"Woy, selamatkan barang-barang kalian! Tuh si Shana mulai beraksi guys!" Teriak Eva yang ternyata memperhatikanku.
"Nah ini nih, salah satu contoh orang yang suudzon," ucapku seraya terus berjalan menuju depan kelas. Akupun mengambil penghapus papan tulis dan menghapus white board yang penuh dengan tulisan tinta hitam.
Selesai menghapus papan tulis, aku masih memegang penghapus papan tulis dan membawanya ke dekat Risma yang sedang asyik mengobrol dengan Rahmi dan Sopiatul.
"Risma!" Aku memanggil Risma dan blepp...
Aku menempelkan penghapus papan tulis di wajah Risma. Alhasil, pipi dan hidung Risma hitam dan kotor. Aku dan sebagian teman-teman yang memperhatikanku tertawa puas, sedangkan Risma marah dan menggerutu ku.
"Hey, ada guru, ada guru!" Seru Ihsan seraya berlari menuju tempat duduknya. Dengan segera, kami kembali ke bangku masing-masing dan duduk dengan rapi.
"Assalamu'alaikum," sapa seorang lelaki asing bergodeg. "Wa'alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh," jawab kami serempak.
"Baik. Pertama-tama, barangkali ada yang sudah mengenal saya?" Tanya Bapak berseragam batik itu. Kami hanya menggeleng pertanda tidak tahu.
"Oke, sebelumnya kita kenalan dulu biar sayang. Seperti kata pepatah, tak kenal maka ta'aruf (kenalan), hehe. Kalo belum ta'aruf berarti belum sayang, hehe. Oke, introduced my self, nama saya Zainuddin. Kalian boleh manggil saya Pak Zain. Saya staf baru di sekolah ini. Saya di tempatkan di Badan Konseling atau yang sering kalian sebut BK. Guru yang terkenal dengan sebutan tukang manggil murid yang bermasalah, hehe. Tapi tenang saja. Saya gak galak kok. Cuma tegas saja. Itupun sama siswa yang bermasalah. Tapi sebelumnya saya beri pencerahan, ya. Siswa yang berurusan sama saya bukan hanya siswa nakal saja. Kalo mau curhat atau berkeluh kesah tentang sekolah, orang tua, bahkan pacar boleh datang ke saya. In Syaa Allah saya bisa kasih saran dan pengarahan. Saya lulusan dari jurusan psikolog, jadi kalo diantara kalian punya masalah mental, silahkan datangi saya di ruangan BK atau hubungi saya lewat SMS, telepon, atau WhatsApp," ulas lelaki yang bernama Pak Zain itu. Ia menuliskan sebuah nomor di papan tulis.
"Nah, ini nomor saya silahkan dicatat barangkali ada yang perlu. Baik, untuk lebih lengkapnya tentang data diri saya silahkan tanya langsung ke saya atau tanya ke dia tuh, dia sudah tahu tentang saya," tunjuk Pak Zain kepadaku.
Semua teman-temanku melihatku, sementara aku yang kebingungan hanya membelalakkan mata, "Saya, Pak?" Tanyaku bingung.
"Iya. Baik, ada pertanyaan? Jika tidak ada saya permisi masih banyak kelas yang belum saya datangi." Ujar Pak Zain seraya menyimpan spidol ke meja guru. Melihat reaksi siswa-siswi dihadapannya, Pak Zain pamit keluar dan segera meninggalkan kelas kami.
"Shan, kamu kenal Pak Zain?" Wina bertanya padaku setelah Pak Zain pergi. "Nggak tau. Salah orang kali," ucapku asal seraya menulis nomor Pak Zain di buku tulisku, barangkali nanti aku perlu nomornya.
Bel istirahat berbunyi. Aku bersama Lulu, Eva dan Risma seperti biasa jajan di warung Abah seraya menikmati pemandangan indah yang di hadiahkan Tuhan untukku. Tuan Cokelat.
Namun belum saja kami tiba di kantin, kami bertemu dengan Pak Zain. Kamipun menyalimi Pak Zain dan menyapanya.
"Eh ketemu lagi sama si cantik," puji Pak Zain seraya tersenyum dan melihatku. Aku hanya tersenyum menanggapi pujian Pak Zain. Sementara Eva, Risma dan Lulu bersiul heboh mendengar ucapan Pak Zain.
"Melihat kamu itu seperti... Ah sudahlah. Siapa nama kamu?" Tanya Pak Zain yang pandangannya tidak mau lepas dariku.
"Shana Aqiba. Ini temen saya. Yang ini Risma, ini Lulu dan ini Eva, Pak," ujarku mengenalkan sahabat-sahabat ku kepada Pak Zain.
"Shana Aqiba? Panggilannya apa?" Tanya Pak Zain seraya tak henti-hentinya tersenyum. "Shana saja, Pak," ucapku semangat.
"Enggak ah, Bapak manggilnya cantik saja." Uh, gombal. Sebenarnya, aku sedikit risih bahkan tidak suka dengan laki-laki yang suka gombal, siapapun itu.
Setelah pertemuan kedua dengan Pak Zain, semakin hari kami semakin sering bertemu di sekolah ini. Dan dalam setiap pertemuan, Pak Zain tak pernah alpa untuk selalu memujiku.
Bukannya aku enggan untuk dipuji, namun bahasa tubuhnya aku sedikit risih. Selain memujiku di depan siswa lain, dia juga selalu mencari-cari kata untuk menghiburku.
"Shan, kayaknya Pak Zain suka sama kamu, deh!" Ucap Lulu ketika pelajaran telah selesai.
"Ih, amit-amit, Lu! Mana mungkinlah, dia 'kan udah punya istri sama anak, masa suka sama anak kecil? Ahaha" Ucapku asal.
"Enggak, Shan! Ini tuh beda. Coba Shana fikir lagi. Cara Pak Zain menatap Shana aja udah beda, Shan!" Ujar Lulu keukeuh dengan dugaannya.
"Tapi aku sukanya sama Kak Cokelat. Gimana dong?" Celotehku diakhiri kekehan pelan.
Bukan hanya suka, tapi aku sudah jatuh cinta kepada Kak Cokelat itu. Dimataku, tiada lelaki yang tampan dibumi ini kecuali Kak Rangga. Menurutku, hanya Kak Ranggalah yang mendapat gelar 'Keindahan Alam'