Astaghfirullah. Aku segera berlari keluar sembari menunduk. Jantungku berdetak begitu kencang. Antara rasa takut dan malu kini menguasai diriku.
Kini, jika aku tak sengaja bersilangan jalan dengannyapun aku rasa aku bahagia bercampur malu. Jika kak Rangga melihatku, sesegera mungkin aku menunduk atau mengalihkan pandangan.
Bukannya apa, aku tahu saat itu aku hanya mendustai hati. Berpura-pura tidak peduli padahal sesungguhnya aku begitu penasaran tentang dirinya dan pandangan matanya. Aku fikir aku terlalu egois dalam hal ini. Tetapi akal sehatku berkata aku memang harus melakukan ini demi menjaga kehormatanku sebagai perempuan.
Tuhan, kini aku sadar, jatuh cinta itu ternyata merepotkan. Rasa sakit di dalam dada memang tidak terlihat. Namun itu sangat menggagnggu dalam kelangsungan hidup di masa remajaku.
Siang itu, ketika aku, Lulu, Risma dan Eva tengah berkumpul di taman sekolah seraya mengeluarkan lelucon-lelucon dari mulut kami masing-masing, Laila diam-diam menarik lenganku dan aku menghampiri Laila dan berjalan agak jauh dari Lulu, Risma dan Eva yang tengah tertawa ria.
"Shan, kamu harus tau. Kak Cokelat kamu itu nyebelin banget tau!" Ujar Laila ketika kami tengah berada di ujutaman sekolah.
"Iya? Nyebelin gimana, Laila?" ucapku dengan penuh antusias.
"Kemarin pas acara Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah 'kan Osis yang jaga di kelas IPA 3 itu aku sama kak Rangga, ya. Aku 'kan bawa konsumsi buat guru yang ngasih materi di kelas kita. Eh, tau gak apa yang dia lakuin?" celoteh Laila dengan penuh semangat.
"Apa?" tanyaku setenang mungkin walau sesungguhnya aku begitu girang ketika membicarakannya.
Bukannya menjawab, Laila malah menyentuh lenganku pelan. Tetapi Laila tersenyum dan matanya seperti menatap seseorang yang berada dibelakangku.
"Apa sih, Laila?" Desakku pertanda tidak faham dengan apa yang Laila lakukan. Sebenarnya aku tahu Laila tengah memberiku kode. Tapi aku benar-benar tak faham.
"Bentar, Shan. Ada..." bisik Laila sembari masih tersenyum dan matanya seperti mengekori orang yang ia senyumi di belakangku.
"Ih, kamu mah. Gak peka! Ada kak Rangga lewat di belakang kamu." Ujar Laila dengan geramnya.
"Mana, mana?" Akupun menoleh ke belakang ku. Dan benar saja, disana ada kak Rangga yang tengah berjalan beriringan dengan kak Irhas yang sedikit jauh dariku.
"Tadi kak Rangga lihatin kamu, Shan!" Tunjuk Laila dengan begitu yakinnya.
Akupun menoleh kembali kepada kak Rangga. Namun kak Rangga yang semakin menjauh justru tengah asyik berbicara dengan kak Irhas.
"Mana? Orang si Cokelat lagi asyik ngomong sama kak Irhas kok!" Ucap ku tak percaya.
"Ya sudah kalau gak percaya. Eh. Disambung, ya yang tadi. Tau gak yang dia lakuin? kak Rangga rebut makanan yang dipiring yang buat guru. Dia ambil wafer yang rasa keju. Nyebelin, 'kan? Jadi aku harus balik lagi bawa wafernya. Dasar gak sopan! Haha," gerutu Laila diiringi tawa renyahnya.
"Bener? Haha." Kami pun tertawa dengan begitu puasnya.
"Eh, kayaknya kak Cokelat itu suka sama keju, deh, Shan! Pas di ruang Osis juga 'kan ada wafer keju tuh. Eh, dia ambil banyak-banyak lalu dimasukin ke sakunya. Nyebilin memang! Haha." Celoteh Laila dan kamipun tertawa renyah bersama membicarakan orang yang sama sekali tidak pernah berkenalan denganku.
Dan kini aku tahu ternyata Tuan Cokekat itu menyukai keju. Tuhan, padahal aku tidak pernah meminta untuk mengetahui segala tentang kak Rangga. Tetapi semesta begitu saja memberikan informasi itu secara percuma.
"Shana!" Panggil Anisa ketika kami sedang berbenah di kelas baru kami.
"Iya, Anisa?" Jawabku sembari menghampiri Anisa yang berada di ambang pintu kelas.
"Aku mau ngasih kabar sama kamu. Tapi aku juga gak tau maksudnya apa," sahut Anisa dengan memasang wajah tenang.
"Kabar apa memang?" Tanyaku tak sabar ingin mendengarkan kelanjutan bicara Anisa.
"Kak Rangga suka lihatin kamu, ya?" Tanya Anisa yang kini memasang wajah heran. Aku tertawa. Rupanya Anisa mengamati gerak-gerik kami.
"Emang kenapa gitu?" tanyaku penasaran yang masih diiringi kekehan pelan.
"Enggak. Aneh saja. Tadi pas kita mau keluar gerbang, 'kan yang jaga gerbang itu kak Rangga, ya? Nah, temen-temen yang lain yang pada lewat gak dilihatin. Tapi pas kamu yang lewat, dia tuh lihatin kamu terus sampe kamu keluar pintu. Terus katanya, 'cepat, cepat, cepat!'
Terus juga tadi pas kamu sedang ngobrol sama Laila di taman, kak Rangga sama kak Irhas lewat di belakang kamu. Nah kak Rangga juga lihatin kepala belakang kamu. Pas kamu menoleh, kak Rangga kayak yang pura-pura ngobrol sama kak Irhas. Emang kalian sudah pada kenal?" terang Anisa diakhiri dengan pertanyaan yang membuat aku geli mendengarnya.
Aku tak menyangka. Ternyata banyak mata-mata disini yang memperhatikan gerak-gerik aku dan kak Rangga. Lulupun sering kali memberi berita kepadaku tentang kak Rangga yang selalu melihatiku.
Jika begini jadinya, bagaimana aku tidak bahagia? Bagaimana juga aku tidak menaruh harap? Karena apa yang kak Rangga lakukan sama saja dengan menabung harapan dalam benakku.
"Haha. Emang gimana lihatinnya?" tanyaku disela tawa.
"Gini nih!" Anisapun memperagakan apa yang dilakukan kak Rangga.
"Pfft, haha..." Aku tertawa dengan begitu kerasnya setelah apa yang Anisa peragakan. Aku tahu aku senang mendengarkan tanggapan orang-orang mengenai kak Rangga. Namun jika membicarakannya terlalu lama, aku rasa aku cukup bosan.
Selain itu, aku sangat takut jika aku benar-benar terlalu percaya diri. Sungguh, apa yang mereka katakan tentang kak Rangga membuat aku serasa melayang. Terlebih jika yang mereka katakan menambah kekagumanku pada pemuda blasteran Indonesia-Korea itu.
Oh, Tuhan. Takdir dan manusia-Mu begitu indah dalam pandanganku, apalagi Engkau. Maafkan aku telah jatuh cinta kepada manusia-Mu.
"Shana! Aku nyariin sapu kesana-kemari. Eh, tau-taunya kamu yang pegang. Mau dipake gak, Shan?" Tanya Risma seraya menghampiriku yang tengah tertawa ria dengan Anisa.
"Nih, kalo mau ambil saja!" Aku mengangkat sapu itu kesamping. Tetapi sapu itu mengenai wajah Muhiban yang sedang berjalan disampingku.
"Duh. Apa, sih! Sapu itu buat nyapu bukan buat nabok orang!" Seru Muhiban seraya mengusap-usap hidungnya.
"Hehe. Maaf, Ban. Mau tambah lagi?" Candaku diiringi kekehan pelan.
"Gitu, Lu ceritanya. Aku bener-bener butuh kepastian, Lu. Apa, sih maksudnya lihatin aku? Sampai-sampai orang-orang pada tahu, Lu," ceritaku pada Lulu selepas kami pulang sekolah.
"Iya juga, sih. Kalo gitu juga aku penasaran, Shan," ucap Lulu mengiyakan pendapatku.
"Lu, kayaknya aku gak boleh mati dulu, deh!" Ucapku asal.
"Emangnya kenapa, Shan?" Tanya Lulu memasang wajah penasaran.
"Kalo aku matinya sekarang-sekarang, aku bakalan jadi arwah penasaran," kataku.
"Arwah penasaran gimana maksudnya? Shana mah ada-ada saja," Lulu terkekeh.
"Iya, Lu. Bakalan jadi hantu pencari kepastian, haha," ucapku diiringi tawa renyah dan Lulupun ikut tertawa.
"Emangnya ada gitu, Shan? Shana mah aneh!" Celoteh Lulu dengan tawanya yang tak kunjung berhenti.