Aku tidak tahu aturan ketika jatuh cinta. Akupun tak faham apa maunya hati sehingga semuanya selalu berubah-ubah. Karena tak ingin terlalu tenggelam dalam harapan yang tak pasti, aku mencoba untuk acuh.
Namun semakin aku acuhkan, bumi semakin mendekatkan aku dengan manusia yang bernama Rangga Rafiqi itu. Aku fikir dengan menghindar, rasa ini akan luntur. Akan tetapi pada kenyataannya justru aku semakin ingin tahu.
Jika aku yang mendekat, dia yang menjauh. Jika aku yang acuh, dia yang justru menggoda rasaku agar tetap bertahan.
Seperti Jumat siang ini. Anak Pramuka dan anak Basket biasa berlatih dihari yang sama. Kami membagi dua lapangan untuk dijadikan tempat latihan.
Seperti biasanya. Disela-sela latihan, aku dan kak Rangga curi-curi pandang. Namun kali ini aku sengaja mengacuhkan pandangannya.
Walau sesungguhnya aku tahu kak Rangga selalu memandangiku.
Ketika anak Pramuka yang lainnya sudah masuk ke kelas untuk diberi materi, justru aku, kak Ryan, Hanida, Dila, Maulana dan Sidqi tengah berlatih menaksir lebar sungai dan tanah lapangan yang menjadi medianya.
Awalnya, aku diajarkan oleh kak Ryan bagaimana cara mengukur lebar sungai menggunakan ujung topi yang kita kenakan. Meskipun dibumbui dengan canda dan tawa, aku akhirnya berhasil menguasai materi ini dengan cepat. Kak Ryan menyerahkan tugas kepadaku untuk mengajarkan teman-temanku yang belum bisa.
Selama aku berlatih menaksir, disana kak Rangga terus saja memperhatikanku disela latihan basketnya. Aku hanya meliriknya saja. Tak lama setelah itu, dengan interuksi kakak kelas, semua anak Pramuka yang berada didalam kelas digiring untuk memadati sebagian lapangan untuk berlatih yel-yel.
"Tepuk Pramuka!!!
(prok prok prok, prok prok prok, prok prok prok prok prok prok prok...)
Salam Pramuka!!!
(Salam! Yes! Satu Pramuka, satu suara, satu Indonesia! NKRI harga mati!!!)"
Setelah menggemakan salam Pramuka, selanjutnya kami berlatih yel-yel yang menggunakan konsentrasi. Sebagian dari anak-anak Pramuka ada yang belum bisa sehingga menjadikan konsentrasi anak yang lain kacau. Yel-yel ini juga melatih kekompakan.
Dengan senang hati, aku mengajarkan yel-yel ini kepada mereka yang belum bisa. Tak lupa juga dibumbui dengan canda dan tawa sebagai hobiku.
Ketika aku tengah tertawa, aku tak sengaja melirik kearah anak-anak basket dan disana pula kak Rangga tengah mematung memperhatikan kearahku.
"Ayo, Ga!" Ujar kak Irhas sembari menepuk pundak kak Rangga kemudian keduanya berlari kembali bermain basket.
Jadi, sedari tadi kak Rangga mematung disana hanya untuk memperhatikanku? Maksudnya anak-anak Pramuka? Tuh 'kan benar. Aku ini sudah tenggelam dalam lautan geer.
Sorepun tiba, pertemuan Pramuka kali ini ditutup dengan Mars Ambalan. Ketika azan Ashar berkumandang, aku memutuskan untuk Shalat Ashar di masjid sekolah sebelum pulang bersama teman-temanku. Setelah selesai kami turun dari masjid dan memakai sepatu.
"Ahaha." Suara tawa itu, aku kenal. Aku menoleh kesamping dan benar saja. Ada kak Rangga bersama kak Irhas dan satu perempuan tengah tertawa disana. Kak Rangga kali ini menggunakan sepeda lipat sebagai alat transportasinya.
Setelah aku dan teman-temanku selesai memasang sepatu, kamipun beranjak pulang dan keluar gerbang.
"Temen-temen, kita mampir dulu di warung, yuk. Aku haus, nih!" Ucap Tia teman seorganisasiku.
Kamipun singgah terlebih dahulu disebuah warung kecil. Aku tidak ikut jajan. Aku hanya berdiri menghadap jalan. Tanpa aba-aba, kak Rangga melintas dihadapanku. Namun kali ini lain. Dari jarak dekat, Kak Rangga menoleh kearahku. Matanya menancap dimataku, dan ia tersenyum memamerkan gigi putihnya padaku.
Aku hanya tercengang memandangnya. Ini seperti mimpi. Dan untuk pertama kalinya kak Rangga tersenyum padaku.
Bahagia? Tentu saja. Aku seperti melayang diudara. Tiga puluh menit sudah aku dan teman-teman singgah diwarung ini akhirnya kami berjalan pulang.
Ketika di perjalanan, seperti ada sesuatu yang menarikku untuk menoleh kesebrang jalan sana. Dan ternyata, di sana kak Rangga sedang menghadap kearahku bersama sepedanya. Saat aku melihatnya dan kak Ranggapun melihatku, kak Rangga lantas pulang kejalurnya.
Apa mungkin kak Rangga sudah tahu tempat tinggalku? Ketika acara ngaliwet antara Osis dan Pramuka juga kak Rangga heboh menyebut nama daerah tempat tinggalku.
Oh, Tuhan. Selamatkan aku dari tenggelamnya diriku dalam lautan geer. Aku takut. Sangat takut.
***
Hari berganti, malam yang panjang kini berganti menjadi siang yang terang benderang. Semakin siang, matahari semakin terik dan menjilat bumi di bagian langit Kota Santri ini.
"Begitu, Lu. Aneh banget 'kan, ya? Padahal hampir tiga puluh menit aku sama temen-temen mampir dulu di warung. Kalau difikir secara logika, ya. Rumahnya 'kan dekat. Lima belas menit juga sudah nyampe di rumahnya," ceritaku pada Lulu ketika kami sedang berada di kelas.
"Aku juga ngerasa aneh, Shan. Atau mungkin dia tuh memastikan Shana sudah nyampe rumah atau belum," ucap Lulu.
"Tapi dari mana dia tau rumahku, Lu?" Fikiranku disibukkan oleh banyak pertanyaan tentang kak Cokelat kemarin hari.
Perasaanku bercampur aduk antara bahagia dan gelisah. Bahagia karena aku mendapat respon yang baik dari kak Rangga. Dan gelisah karena aku takut aku terlalu percaya diri perihal persangkaan ku akan perasaan ini.
Aku kini tahu kak Rangga selalu berubah-ubah dalam bersikap. Kemarin hari dia tersenyum ramah, hari ini dia seperti ingin menghindari ku. Seperti hari Sabtu ini. Aku dibuat tertohok dengan sikapnya.
Ketika kami berpapasan, kami beradu pandang seperti biasanya. Namun ketika aku mengembangkan senyum untuknya, dia hanya melihatku dengan pandangan sebal. Sungguh aku tak faham dengan perilakunya.
"Gereget banget sih aku, Lu! Rasanya pengen bisa baca fikiran orang lain aja. Si Cokelat itu maksudnya apa, sih senyum ke aku kemarin? Tapi sekarang giliran aku yang senyum ke dia, eh dianya malah gitu lihatinnya! Maunya apa, sih dia itu!" Aku mengoceh setelah kak Rangga berlalu menjauh dariku. Bukannya menjawab, Lulu malah tertawa melihatku.
"Kamu lagi kenapa ketawa, Lu?" Ocehku kembali.
"Kamu, Shan! Ngoceh sih ngoceh, tapi jangan makan jajanan aku dong! Haha," ucap Lulu seraya menunjuk sebuah makanan ringan yang berada ditanganku.
Aku tidak sadar, sedari tadi aku mengoceh seraya memakan jajanan Lulu yang dibeli di kantin tadi. Dengan segera aku melihat makanan ditanganku. Setelah aku sadar, aku tertawa berbahak-bahak bersama Lulu.
"Kamu mah wajahnya ekspresif, Shan. Mau menghadapi masalah bagaimanapun, ekspresi kamu selalu lucu!" Ucap Lulu seraya terkekeh. Meskipun masih kesal, aku menyempatkan untuk ikut terkekeh.
"Tapi kalau difikir-fikir, romantis juga, ya kak Rangga. Kalau dia memang memastikan Shana waktu itu, caranya memastikan kamu itu so sweet loh, Shan!" Ujar Lulu setelah Ia berhenti terkekeh.
Memang, apa yang dikatakan Lulu ada benarnya. Hari kemarin itu bagiku adalah the wonderful day bagiku. Mungkin, senyumnya yang manis hari itu tidak akan aku lupakan dalam ingatanku.