Pagi tak pernah bosan menyapa bumi pada waktunya. Hatiku juga sudah kutata semalaman dengan berbagai meditasi syar'i yang bernilai ibadah. Begitu sejuknya tatkala bibir ini melantunkan ayat-ayat cinta-Nya sehingga kurasa, di tengah tangisku yang bersedu, aku merasa Tuhan tersenyum padaku.
Sejuk. Itu yang kurasa. Ketika bersujud, aku bahkan tak ingin bangun. Karena kurasa, Tuhan mengelus kepalaku hingga harupun bertamu ditandai dengan deraian air mata yang memburu.
Terimakasih, Tuhan. Telah mentakdirkan aku untuk memeluk Agama-Mu yang berisiĀ ajaran yang begitu menyejukkan. Aku mencintai-Mu, Wahai Tuhan yang Maha Merajai Seluruh Alam.
Maka kusambut hari dengan penuh suka cita. Namun seperti biasanya. Aku adalah salah satu siswa yang langganan kesiangan. Senin ini adalah pekan pertama untuk upacara. Semua siswa telah memadati lapangan.
Karena tak ingin tertinggal, aku berjalan cepat dan masuk kedalam kerumunan siswa-siswi disana. Aku berenang-renang ditengah orang-orang yang berdesakan untuk mencari barisan teman sekelasku.
Baru saja pagi hari, aku sudah disuguhi pemandangan indah oleh Tuhan. Dan siapa lagi jika bukan kak Rangga. Tuan Cokelat juga rupanya datang terlambat. Kakiku yang berjalan cepat itu seketika berhenti karena kak Cokelat ada dihadapanku. Kami saling berhadapan ditengah kerumunan manusia-manusia berseragam putih abu-abu.
Aku memandangnya sesaat dan diapun menatapku tanpa kedip. Tempat berdiri antara aku dengan kak Rangga hanya berjarak satu meter, namun mimik wajahnya yang manis dan bola matanya yang jelita begitu jelas dalam pandanganku.
Tahu dia memandangku, rasanya aku ingin menghilang saja dari tempat ini sebab maluku mungkin sudah masuk ke level lima. Akupun cepat-cepat pergi dari tempat itu dan berlari menuju barisan teman-teman sekelasku.
Hari ini bagai ada yang berbeda di kelasku. Orang baru. Ada orang baru dikelasku. Rupanya dia adalah murid baru.
"Hai. Namanya siapa?" Tanyaku pada gadis baru itu ketika proses belajar-mengajar belum dimulai.
"Hai. Namaku Aqilla," ucap gadis mungil itu.
"Aku Shana. Shana Aqiba," ujarku yang diiringi senyum yang mengembang. Kamipun berjabat tangan.
"Hai Shana!" Sapa gadis yang bernama Aqilla itu. Perkenalan singkat itu membuahkan keakraban diantara kami. Oke Aqilla. Welcome to Our Class.
Mentari pagi mulai memanas. Inilah yang kulakukan ketika tak ada guru. Nongkrong di luar kelas. Meskipun kini aku telah naik kelas menjadi kelas sebelas, namun kebiasaanku ketika kelas sepuluh masih menjadi tradisiku bersama sahabat-sahabatku.
Bolos minimal satu pelajaran dalam satu hari, nongkrong diluar kelas ketika tidak ada guru, memasang headset ketika pelajaran matematika berlangsung, makan makanan ringan didalam kelas ketika guru sedang menerangkan dan menjaili teman sekelas adalah hal yang masih sering kami lakukan.
Dan hal itu akan tetap aku lakukan karena menurutku itu adalah kenakalan remaja yang masih terbilang wajar meskipun aku tahu semua itu adalah salah. Tetapi ini adalah diriku, selama aku tidak melanggar batas dari kodratku segai warga negara dan hamba Tuhan, maka semua terserah aku.
Kebetulan kelasku 11 IPA 3 kini berada dilantai dua sehingga aku dapat menikmati pemandangan dibawah sana. Kulihat ke sebelah kiri, gunung berwarna biru yang tertutupi awan menjulang indah disana. Kulihat ke sebelah kanan, pohon rambutan yang berbuah lebat dan matang tertancap disana. Ku alihkan pandangan kelapangan sana. Ternyata ada pemandangan yang lebih indah dari gunung. Kak Rangga. Siapa lagi jika bukan dia?
Aku lihat dibawah sana ada anak-anak Paskibra tengah berkumpul. Semua anak duduk, kecuali kak Rangga dan kak Irhas. Mereka disana berdiri tepat sejajar dengan pandanganku. Mereka berdiri memunggungiku.
Rasanya aku tak ingin berpindah dari sini. Ku perhatikan Ia lekat-lekat. Entah sadar ada aku atau tidak, kak Rangga sesekali menoleh kebelakang, matanya menancap kearahku. Dia seperti over action setelah menoleh kearahku.
Dan ketika pandangan yang terakhir, dia membalikkan badannya menghadap kearahku dan melihatiku sembari tersenyum. Aku sangat malu. Akupun berlari terbirit-birit dari tempat itu menuju kedepan kelas 11 IPA 4 yang bertetanggan dengan kelasku dan bersembunyi dibalik tembok koridor sana.
"Shan, kamu kenapa? Abis dikejar apa?" Tanya Hanida yang sedang nongkrong didepan kelasnya.
"Em, gue gak apa-apa," ucapku seraya menyembunyikan kegugupanku.
Setelah cukup lama, aku mengintip dibalik tembok. Takut-takut kak Rangga masih dalam posisinya. Akhirnya aku dapat bernafas lega setelah dia dan kak Irhas duduk bersama anak-anak yang lain.
Sungguh. Pandangan itu, aku ingin tahu. Apa maksudnya? Kenapa dia tak mau bicara? Setidaknya dia yang memulai untuk berkenalan. Atau beri aku sedikit penjelasan karena sikapnya.
Jika begini, bisa saja tabung harapanku sudah penuh terhadap kak Rangga. Oh, Allah. Sungguh Engkaulah sutradara terhebat sehingga akupun tak dapat menebak cerita yang Engkau suratkan untukku.
Kak Rangga kini telah menjadi bagian terpenting dalam hidupku. Tanpa aku sadari, dalam diriku berkelibat rasa ingin melindunginya. Bahkan pernah suatu ketika di kantin, aku dengan kak Rangga terbiasa melakukan hal yang tak pernah kami tinggalkan sampai kini yang tidak lain adalah curi-curi pandang dari arah yang berlawanan.
Kak Rangga memiliki pesona yang luar biasa sehingga banyak gadis-gadis yang terpesona olehnya. Sekumpulan gadis yang kuduga adalah adik kelaskuĀ duduk disebelah kursiku di kantin. Ketika kak Rangga keluar kantin dan melewati kami, sekumpulan adik kelas itu menggoda kak Rangga dengan siulan dan teriakan heboh. Namun senangnya, kak Rangga tak menghiraukan mereka tanpa melirik mereka.
"Ih. Gak peka banget, sih!" Ujar mereka saat kak Rangga berlalu.
Karena kesal, akupun mengekori kak Rangga untuk keluar kantin. Namun saat melewati mereka, aku menatap tajam gadis-gadis centil itu bahkan aku hampir melototi mereka. Seketika, mereka diam ketakutan melihatku.
Hah! Aku kini sudah menjadi senior. Inilah enaknya menjadi senior. Membully adik kelas. Bukan maksudku membully mereka. Aku hanya memberi mereka pelajaran. Dia Tuan Cokelatku, tak boleh ada seorangpun gadis yang mencoba menggodanya.
Dan jika bisa, aku ingin menjadi pelindung untuknya. Aku ingin menjadi jantungnya yang tak pernah berhenti berdetak dalam tubuhnya. Aku ingin menjadi darah yang selalu mengalir dalam dirinya. Dan aku ingin menjadi matahari yang selalu memberinya energi dan semangat dalam melewati hari-harinya.
Pada intinya, aku ingin melindunginya. Dan apa yang aku lakukan itu, aku sama sekali tak mengaharap balasannya. Aku tulus. Dan semua itu berawal dari kerelaan hati.
Wahai waktu, kapankah kau akan menjawab segala pertanyaan yang aku pertanyakan tentang kak Rangga? Kapan pula kepastian itu akan terucap? Dan aku tak dapat berbuat apa-apa sebelum Tuhan memerintah semesta takdir apa yang akan aku terima pada kisah asmara yang masih misterius ini.
Aku tahu aku telah mencintainya, dan dalam jatuh cinta ini, aku tidak mengharapkan balasan darinya. Aku hanya ingin kepastian. Ikat aku atau caci aku.