Waktu berlalu begitu cepat bagiku. Kemarin hari rasanya aku daftar disekolah ini, sekarang sudah pembagian raport disemsester dua lagi. Artinya, aku akan menginjak kelas sebelas. Begitu bahagianya hatiku saat aku tahu prestasiku meningkat. Aku rangking ke-14 dari 38 siswa yang semula berada di rangking ke-30. Sungguh diluar dugaanku.
Bahagia? Tentu saja aku sangat bahagia. Hatiku tiada berhenti mengucap syukur kepada Tuhan Pemilik Asma Syakur.
"Shan, kamu hebat banget. Rangking kamu naiknya tinggi. Jarang-jarang loh ada yang kayak gini." Anisa memujiku dengan semangatnya.
"Terimakasih, Anisa," ucapku seraya tersenyum girang.
"Iya. Kamu pertahanin terus, ya rangkingnya. Kalau bisa dinaikin lagi peringkatnya." Anisa memberi saran.
"Siap, Anisa. Kamu juga, ya naikin lagi peringkatnya. Pokoknya lihat saja nanti pas kelas sebelas. Kita yang bakalan jadi peringkat satunya, haha..." Celotehku diiringi tawa.
"Emang bisa peringkat satu dua orang dalam sekelas?" Tanya Risma menimpal pembicaraanku dengan Anisa.
"Ya bisalah. Peringkat pertama dari belakang dan peringkat pertama dari depan, haha..." Kataku.
Tawa kami menggema keseluruh penjuru lapangan saat kami hendak berjalan menuju pulang. Walau sesungguhnya tawakulah yang paling keras.
"Eh, lihat deh! Langit itu indah ya? Hai langit, sesungguhnya ada yang lebih indah dari kamu dibumi ini." Ucapku seraya menengadah ke langit siang yang cerah.
"Siapa, Shan?" goda Lulu.
"Seseorang yang memiliki senyum yang manis dan mata yang indah. Tak heran jika dia diminati banyak gadis karena pesonanya yang wah," sahutku dengan nada bicara yang agak menekan. Meskipun banyak pasang mata yang memandang, aku tidak peduli.
"Em. Siapa, ya?" tanya Anisa. Aku melirik kak Rangga yang berada di pinggir lapangan sana yang sedang melihatku.
"Dialah, aku. Haha..." Celotehku diiringi tawa bahagia.
"Berarti kamu gak normal. Banyak diminati gadis 'kan? Haha." Celoteh Lulu diiringi tawa yang cukup keras juga dan kami semua ikut tertawa.
"Eh, gak jadi deh! Bukan gue, haha." Terimakasih Tuhan. Hari ini aku dianugrahi kebahagiaan yang bertubi-tubi. Aku mencintai-Mu, Tuhan.
Aku tidak faham dengan tingkah kak Rangga. Kini, kekagumanku pada kak Rangga semakin bertambah beberapa persen setelah kejadian ngaliwet di rumah Bu Kana beberapa hari kebelakang.
Aku tidak tahu mengapa kak Rangga begitu antusias ketika kak Alya membicarakan komplek tempat tinggalku. Apa mungkin kak Rangga sudah mengetahui tempat tinggalku? Sekali lagi satu yang aku takutkan. Geer.
Rabu siang ini, aku dan teman-teman seorganisasi diminta untuk kembali ke sekolah untuk mengikuti pemadatan latihan.
Satu ide muncul begitu saja dalam fikiranku untuk membuat sebuah kejutan untuk Tuan Cokelat itu.
Semalam, aku membuat sebuah kartu ucapan diatas kertas kecil berwarna biru dengan tinta hitam yang bertulisan, "Semangat buat latihannya! ^_^". Dibelakang kertas itu ku bubuhkan tanda tanganku tanpa nama.
Meski sempat ragu, hatiku memerintah untuk tetap menyampaikan kejutan ini kepada manusia itu. Jika ditanya apa yang dapat dijadikan alasan mengapa aku melakukannya? Entahlah. Aku sendiripun tak tahu.
Satu hal yang aku tahu. Aku menyukai sebuah tantangan. Dan aku selalu menantang tantangan itu sendiri. Aku berangkat dari rumah bersama dengan Sofa, teman seorganisasiku di Pramuka.
Sepanjang perjalanan, aku tak henti-hentinya berdebat dengan diriku sendiri antara menyampaikan kejutan ini atau tidak. Tanganku dingin bergetar.
"Shan, kamu sakit?" tanya Sofa yang mulai sadar dengan gerak-gerikku.
"Enggak. Emang kenapa, Sof?" tanyaku setenang mungkin.
"Wajah kamu pucat. Beneran gak sakit?" Aku hanya menggeleng menahan debaran jantung yang berdetak sangat cepat.
Setibanya di sekolah, mataku langsung menyapu seluruh sepeda motor yang berada di tempat parkir. Namun tak ku temukan sepeda motor yang kumaksud.
Setelah memasuki gerbang sekolah, mataku berbinar, tapi aku semakin gugup saja saat dilapangan sana kak Rangga sedang berlatih baris-berbaris dengan teman-teman Paskibranya. Sebelum dia melihatku, aku harus cepat-cepat bersembunyi sebelum akhirnya aku menjalankan misiku. Aku berlari menuju ruang UKS.
"Shan, kamu mau kemana?" tanya Sofa seraya membuntutiku.
"Kita kesini dulu yuk, Sofa!" ajakku sebagai alibi semata.
"Mau apa dulu?" Belum sempat aku menjawab, Sopiatul dan Laila memanggilku dibalik jendela UKS. Aku rasa, semesta sengaja membantuku melancarkan misiku tanpa diketahui oleh satu manusiapun dibumi.
Sengaja ku rahasiakan. Sebab jika orang-orang tahu terlebih teman-temanku, kufikir nanti akan merepotkan. Lagi pula, aku tak sanggup untuk menceritakannya. Karena apa? Karena aku malu.
"Itu, Sof. Gue mau ketemu temen dulu. Yuk, kesana!" Aku dan Sofa tidak masuk ke dalam UKS. Kami hanya berkomunikasi melalui jendela sebagai pembatas dengan Sopiatul dan Laila. Selama Sofa sedang berbincang dengan Sopiatul dan Laila, aku mulai menjalankan misiku.
Dengan kebetulan, helm milik kak Rangga berada di dekat pintu ruang Paskibra yang bersebelahan dengan jendela UKS. Tepatnya, helm itu berada didedat kakiku. Ditempat ini tiada siapapun yang berlalu lalang. Jadi tidak akan ada yang melihat aksiku. Aku mengambil helm itu dan dengan segera kutempelkan kertas kecil yang sedari tadi ku genggam kedalam helm bagian dalam.
Mungkin karena aku sangat gugup, saat akan kusimpan kembali helm itu ke tempatnya semula, aku malah menjatuhkan helm itu hingga terbanting kelantai.
"Kenapa, Shan?" Karena suara jatuhnya helm itu membuat ke-tiga temanku menoleh padaku.
"Eh, enggak. Ini helm ketendang, hehe. Lagian siapa sih yang simpan helm sembarangan? Untung gue gak nendang keras, hehe." Alibiku.
"Kamu mah, Shan. Helm juga disangka bola. Tendang saja tendang. Haha..." Celoteh Laila. Kamipun tertawa.
"Eh tunggu, ada yang rusak gak, ya? Soalnya ketendangnya sedikit keras" Akupun mengambil kembali helm itu. Sebenarnya aku ingin melihat kembali apakah kertas itu masih menempel atau tidak. Dan kertas biru kecil itu masih menempel kuat didalamnya.
Huft! Dasar aku. Selalu ceroboh. Setelah menyelesaikan misi, aku dan Sofa berjalan menuju lapangan dan bergabung bersama anak-anak Pramuka yang lain.
Saat aku bersama anak Pramuka mulai berlatih, anak-anak Paskibra bubar dan sebagiannya berjalan berbondong-bondong menuju ruang Paskibra. Termasuk Rangga itu.
Oh, tidak! Bagaimana jika tadi sang Rangga itu mengetahui aksiku? Bagaimana jika dia marah kemudian mempermalukanku di depan teman-temannya? Bagaimana jika dia tidak menyukai kejutan ini lalu membakarnya atau merobeknya? Atau bagaimana jika dia membenciku lalu merencanakan pembunuhan untuk membunuhku?
Tidak, tidak, tidaak! Aku berteriak dalam hati. Kulihat di sebrang lapangan sana, kak Fajri membawa sesuatu ditangannya sembari berjalan menuju teman-teman Paskibranya dan menunjukkan sesuatu ditangannya itu kepada teman-temannya.
Setelah teman-temannya melihat sesuatu ditangannya, mereka menggelengkan kepala sebagian ada yang bergidik seolah mereka berkata, "gak tau."
Oh, langit. Jangan katakan kak Fajri sedang menanyakan kertas biru kecil itu dari siapa. Aku tak sanggup menahan rasa malu ini.
"Shan, kamu kenapa? Wajah kamu merah gitu," ucap Salsa membuyarkan lamunanku.
"Eh, gak apa-aoa, Sal." Ucapku seraya menenangkan diri.
"Lihatin siapa, sih!" tanya Salsa seraya melihati orang-orang di lapangan sana.
"Pembunuh!" ucapku dengan spontan.
"Siapa?" Risma rupanya mendengarkan perbincangan kami.
"Ini, Shana lagi lihatin pembunuh," kata Salsa.
"Apa? Mana pembunuhnya, Shan?" tanya Risma dengan kagetnya.
"Kalian ngomongin apaan, sih!" kataku sok tidak tahu. Semua ini salahku yang tidak dapat menyembunyikan rahasia dengan rapi.