Chereads / Tuan Cokelat / Chapter 25 - Nakal

Chapter 25 - Nakal

Dear diary,

Seketika, kufikir jika terlalu lama otak dan hatiku di penuhi oleh manusia yang ku sebut dengan Tuan Cokelat itu membuat aku lelah sendiri. Dan rindu. Bahkan kumbang-kumbangpun tak tau kapan dan bagaimana rindu itu terpenuhi.

Di pagi cerah ini, aku melakukan aktifitas pagi di rumah seperti biasanya sebelum aku berangkat ke sekolah untuk mengikuti pelatihan persiapan acara Perkemahan nanti.

"Mah, Pah, Kakak berangkat, ya. Assalamu'alaikum." Di sepanjang perjalanan, aku mendapat tambahan energi dan semangat dari manusia-manusia yang menyapaku ramah di bumi yang ku pijak ini.

Senyum adalah bagian dari penghias wajahku. Sumber keceriaanku. Modal utamaku untuk berbagi kebahagiaan kepada manusia lainnya yang aku temui. Sungguh aku mencintai diriku.

Hari ini adalah hari ketiga dimana aku dengan teman-teman seorganisasiku berlatih untuk acara Perkemahan nanti.

Hamparan lapangan sekolah yang luas di pijaki oleh anak-anak dari ekstra Paskibra dan anak-anak ekstra Basket. Beberapa ruangan kelaspun dipenuhi oleh anak-anak dari berbagai ekstra kulikuler untuk berlatih aksi-aksi yang akan mereka tampilkan di acara Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah sebelum acara Perkemahan.

Sementara aku dan sebagian teman-teman dari ekstra Pramuka memilih untuk berlatih tari Semaphore di dalam ruangan. Ketika dirasa cukup lelah untuk berlatih, kamipun beristirahat. Kuayunkan kakiku menuju pintu keluar ruangan kemudian disusul oleh beberapa temanku.

Ku hirup udara panas siang ini. Semilir angin membelai wajahku dengan lembut. Teriknya mentari mengundang kepalaku untuk menengadah ke atas sana.

"Hai langit. Selamat siang!" Sapaku diikuti senyum yang mengembang.

Ketika ku turunkan pandanganku ke bumi, aku melihat sosok manusia yang bersinar di mataku. Pemuda itu duduk bersandar pada tiang dibawah keranjang basket dengan kaki kanan yang diselonjorkan dan kaki kiri dilipat ke atas.

Kaos lengan panjang yang Ia singkap hingga sikut menambah ke-eleganan pemuda itu. Di tambah dengan adegan ia meminum air mineral membuat aku ingin berkata, "Tuhan, terimakasih. Dia indah."

Tuan Cokelat. Dia menoleh kearahku dari lapangan sana dan kamipun sempat beradu pandang walau hanya sesaat karena aku yang mengalihkan pandang.

Dari kejadian ini, dapat ku duga bahwasannya setelah ini aku harus menanggung rindu yang terlalu. Sesekali ingin kutanya pada manusia itu, "Ada pesan apa dibalik pandangan Anda, kak Rangga?" Satu hal yang aku takutkan. Geer.

"Eh, masa iya kita sudah bubar. Padahal baru jam sepuluh ini!" Sahut Salsa.

"Kita nyeblak, yuk?" Risma mengusulkan saran.

"Dimana?" Kataku yang sebenarnya hanya ikut-ikutan saja.

"Gimana kalau nyeblaknya di rumah Risma saja?" Ujar Diar memberi saran. Dan semua mengangguk setuju apalagi si pemilik rumah yang disebut.

Siang yang cerah itu, aku, Risma, Diar, Salsa dan Hanidapun duduk sembari bersenda gurau di halte menunggu kedatangan bis.

Setibanya di kampung halaman Risma, otak jahilku membisikkan idenya untuk menjahili teman-temanku.

"Ris, kita kerjain mereka, yuk!" Sahutku sembari berbisik dengan Risma dan Risma mengangguk setuju seraya tertawa pelan.

Diar, Hanida dan Salsa belum tahu dimana rumah Risma. Sedangkan aku tahu karena aku kerap kali diajak oleh Risma untuk sekedar ngobrol atau berswafoto di rumahnya atau pula menyambung silaturahim dengan keluarga Risma.

"Ris, masih jauh gak sih rumahnya?" tanya Diar ketika kami telah turun dari bis dan berjalan beberapa meter dari jalan raya.

"Bentar lagi nyampe, guys!" ujar Risma terkekeh kepadaku.

Kemudian aku berjalan mendahului Risma dan teman-teman yang lainnya dan akupun berbelok ke halaman sebuah rumah yang asing bagiku sehingga semua teman-temanku mengikutiku.

"Oh, disini rumahnya?" tanya Salsa memasang wajah polosnya. Aku dan Risma saling memandang sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak.

"Kalian ketipu, haha. Ini mah rumah orang!" Aku dan Risma tertawa puas melihat wajah-wajah para korban yang terlihat dungu.

"Anjis, awas lo Shana!" Karena merasa dikerjai, Hanidapun berteriak sembari berlari mengejarku.

"Assalamu'alaikum." Setibanya di rumah Risma kami mengucapkan salam sebagai penghormatan kepada kakak perempuan Risma yang sedang berada di rumahnya.

"Wa'alaikumussalam. Oh, ini Shana teh?" tanya Teh Hazah padaku setelah aku berjabat tangan dengannya.

"Iya Teh Hazah, saya." Jawabku seraya terkekeh pelan.

"Cantik, ya. Manis" ujar Teh Hazah diikuti senyum yang mengembang dan aku hanya berterimakasih seraya terkekeh pelan.

Risma mungkin sudah menceritakan tentang diriku kepada kakak perempuannya sehingga Teh Hazah sudah tahu namaku dan wajahku. Sebenarnya, aku juga sudah tau tentang Teh Hazah dari Risma. Tapi kami baru bertemu hari ini.

Inilah kebiasaan anak-anak baik ketika bertamu. Mandiri dan tidak merepotkan si tuan rumah. Kami belanja bahan masakan sendiri, memasak sendiri, meski sebenarnya kami dibantu oleh Teh Hazah dan kami makan bersama.

"Mari makan! Bismillahi rahmaani rahim.." Ucapku dengan girangnya.

"Eh, crot siah luncat!" Kesialan berpihak padaku kali ini. Ketika aku akan menyuapkan sepotong telur kedalam mulutku, telur tersebut loncat dari sendokku. Aku melihat Risma yang sedang melihatiku.

"Haha..." Kami tertawa begitu keras sehingga mengundang teman-teman yang lainnya untuk menoleh. Termasuk Teh Hazah. Dari cara pandang mereka, mungkin mereka fikir, "Nih anak gila atau apa, sih!"

Tak lama setelah itu, aku melihat Diar yang begitu kepedasan hingga sang ingus meluncur perlahan dibawah hidungnya.

"Syruup..." Diar mengisap ingusnya kembali.

Aku dan Risma saling memandang sesaat. Dan lagi-lagi kami tertawa begitu keras sehingga merekapun menoleh pada kami lagi.

Dan begitulah kami -aku dan Risma- yang menertawakan hal yang tak jelas. Kadang, apa yang mereka anggap tidak lucu, tapi menurut kami lucu. Hal yang paling kami sukai adalah menertawakan orang yang tertawa. Mereka menganggap kami sepasang sahabat yang aneh. Meski begitu, kami tetap bahagia.

Waktu menunjukkan pukul empat sore. Langit yang biru cerah mulai berganti menjadi langit redup bercampur kuning. Mentari yang semula menyengatpun kini hanya silauan cahaya kuning yang masih hangat.

Setelah kenyang makan dan puas berswafoto, kamipun berpamitan untuk pulang. Namun sialnya, di jam-jam seperti ini bis sudak tidak ada.

"Duh, gimana nih? kalau pulangnya kesorean, takut gue dibunuh sama Papah. Apalagi gue belum izin dulu." Aku mulai resah.

"Wah, seriusan kamu mau dibunuh sama Papah kamu, Shan?" tanya Salsa dan semua temanku melihatku menunggu jawabanku.

"Haha, kalian percaya aja." Ujarku diiringi tawa renyah melihat ekspresi polos mereka.

"Eh, gimana kalo nge-bm aja?" Aku memberi saran.

"Hah, nge-bm? kamu serius?" Nge-bm adalah menumpang tanpa bayar pada kendaraan yang lewat yang jalur kendaraan tersebut serarah dengan tujuan kita.

Setelah kami melambai-lambai tangan sambil meloncat-loncat berharap beberapa kendaraan berhenti, akhirnya sebuah mobil pick up berwarna putih memasang lampu righting kiri dan berhenti.

"Yeah, gue pulang. Gak jadi dibunuh. Haha.." Celotehku girang seraya menaiki mobil pick up tersebut setelah kami meminta izin kepada sang pengendara dan pengendara yang baik hati itu mengizinkan kami untuk menumpang di mobilnya.

"Habis dari mana?" Tegas Mamah dengan wajah kesalnya setibanya aku di rumah.

"Em, Kakak habis main, Mah. Dirumah Risma. Abis nyeblak. Bukan kakak aja, Mah. Ada Hanida juga. Ada Salsa, ada Diar. Di rumahnya Risma juga ada Tetehnya, Mah. Maaf ya, kakak gak izin dulu" lirihku pada Mamah.

"...." Mamah tak bergeming. Dia tetap fokus pada sebuah wortel yang sedang dipotongnya.

"Mah, kakak gak makan pedes terlalu banyak kok. Mah, maaf ya?" Aku memelas pada Mamah dan berharap Mamah tidak marah padaku.

"...." Mamah masih diam. Kulihat matanya mulai berair. Aku tahu aku nakal. Tapi aku tidak ingin membuat Mamah marah dan menangis karena kenakalanku. Aku tahu itu dosa. Tidak baik untuk kesehatan dan keselamatan. Ku lihat kembali Mamah menyeka air matanya.

"Mah, Mamah jangan nangis. Maafin kakak, Mah. Kakak janji gak ngulang lagi." Lirihku dan aku semakin memelas kepada Mamah.

"Kakak gak lihat mama lagi potong bawang? Kakak ganti baju dulu terus makan, gih!" Ucap Mamah setelah Ia menoleh padaku.

Ah, kufikir Mamah benar-benar marah padaku. Sekali lagi aku selamat.