Chereads / Obsession of Love / Chapter 29 - Untuk Paman

Chapter 29 - Untuk Paman

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Vero sudah bangun dari tidurnya, karena ia takut akan ditinggalkan oleh pamannya tanpa berpamitan dengannya, bahkan sejak semalam, Vero sulit untuk memejamkan matanya untuk tidur.

Vero bergerak menuju dapur, dengan berjalan seperti pencuri yang sedang mengendap-endap. Vero menghidupkan lampu dapurnya. Ia berniat untuk membuatkan sesuatu untuk pamannya yang akan meninggalkannya untuk sementara waktu itu.

Vero membuka lemari esnya, dan ia melihat sudah banyak bahan makanan yang tersedia di sana, mungkin pamannya sengaja berbelanja semua bahan makanan itu kemarin. Vero tersenyum tipis melihat perhatian paman Rudolf kepada dirinya.

Karena begitu banyak bahan makanan yang ada di dalam lemari esnya, Vero menjadi bingung, harus membuatkan makanan apa untuk pamannya itu. Namun sekilas ia melihat beberapa sayur segar, yang cocok jika dibuat sandwich.

Vero langsung mengambil bahan makanan yang ia perlukan untuk membuatkan makanan untuk pamannya. Ia mengambil satu buah tomat, satu buah mentimun, beberapa helai selada, juga mengambil tiga buah telur dari lemari esnya.

Dengan cekatan, tangan Vero langsung mengeksekusi semua bahan makanan itu. Dengan memotongnya dan memasak telur yang tadi ia ambil dari lemari es. Vero melakukan semuanya dengan penuh kehati-hatian, agar tidak membuat keributan di waktu yang masih pagi, ia tidak mau menganggu waktu tidur pamannya yang sangat berarti.

Tidak lupa, Vero memasukkan beberapa potong roti ke dalam pemanggang roti, setelah semuanya siap, Vero menyusun roti, telur dan semua sayuran yang sudah Vero potong-potong tadi, dengan tidak lupa menambahkan saus tomat dan mayones di dalam tumpukan sandwich tersebut.

Setelah beberapa menit, kini Vero bisa melihat tiga potong sandwich yang tersusun di atas piring. Vero tersenyum dan begitu senang, karena berhasil membuat makanan untuk pamannya.

Vero langsung bergegas menuju meja makan, dengan membawa piring yang berisi sandwich buatannya itu. Ia juga menyiapkan segelas susu untuk pamannya yang belum bangun dari tidurnya.

Vero juga tidak lupa menyiapkan sereal kesukaannya, ia menyiapkan semuanya di meja makan dengan sangat rapih.

dan saat Vero sedang memperhatikan makanan yang sudah siap di meja makan, ia mendengar pintu kamar pamannya terbuka, membuat Vero langsung membalik posisi tubuhnya, ia mengarahkan tubuhnya pada pamannya yang baru saja bangun.

Rudolf mengedarkan pandangannya, dan menemukan Vero yang sedang berdiri di dekat meja makan sambil memperhatikannya. Rudolf mengerutkan keningnya, dan bertanya-tanya, karena pagi-pagi begini Vero sudah bangun dan berada di meja makan.

"Vero … kenapa kamu sudah ada di meja makan, apa kamu lapar?" tanya Rudolf yang masih setengah sadar.

Vero hanya memperhatikan wajah pamannya yang terlihat lelah meskipun baru saja bangun dari tidurnya.

Rudolf yang tidak mendapat jawaban dari Vero pun, mengalihkan perhatiannya ke meja makan, yang sudah dihiasi dengan makanan.

Rudolf membelalakkan matanya, kemudian menatap wajah Vero lagi, kini Vero nampak tersenyum kepadanya.

"Apakah kamu yang menyiapkan ini semua, Vero?" tanya Rudolf yang masih tidak percaya.

Vero hanya menundukkan kepalanya malu-malu. Namun, Rudolf langsung paham jika keponakan kesayangannya itulah yang menyiapkan semua ini.

"Kalau begitu, apakah paman boleh menikmati semua yang sudah kamu siapkan ini?" tanya Rudolf dengan begitu antusias.

Vero yang melihat pamannya begitu antusias pun, ikut bersemangat. Ia langsung menganggukkan kepalanya dengan semangat sambil tersenyum kepada pamannya.

Vero dan Rudolf langsung duduk di meja makan, untuk melakukan aktivitas sarapan yang sangat spesial, karena kali ini Vero yang menyiapkan semuanya.

Rudolf mencoba sandwich yang sudah disiapkan oleh Vero, sedangkan Vero harap-harap cemas menunggu komentar mengenai rasa makanan yang ia buatkan khusus untuk pamannya itu.

Rudolf memberikan ekspresi yang menurut Vero adalah ekspresi wajah yang menggambarkan jika rasa makanannya tidak enak. Sehingga membuat Vero langsung bertanya kepada pamannya.

"Apakah rasanya tidak enak, paman?" tanya Vero, dengan was-was.

"Iya tidak enak, Vero … kamu tidak berbakat untuk memasak," ucap pamannya, sambil terus menampilkan ekspresi wajah yang tadi.

Membuat Vero menundukkan kepalanya, karena ia belum berhasil membuat makanan yang enak untuk pamannya.

"Tapi paman hanya berbohong … makanan yang kamu buat sangat enak Vero," ucap pamannya dengan ekspresi bahagia karena berhasil menjaili Vero.

Vero langsung mendongakkan kepalanya, sambil menatap wajah pamannya yang sudah tersenyum sambil memegangi sandwich buatannya.

Rasa kecewa Vero langsung berubah dengan senyum kebahagiaan. Ia bisa melihat kebahagiaan yang terpancar pada wajah pamannya, yang dulu selalu sabar menangani dirinya yang selalu memberikan sikap dinginnya.

Kini Vero benar-benar merasa jika pamannya itu adalah harta yang paling berharga. Ia benar-benar merasa sangat bersyukur karena pamannya begitu menyayanginya, sehingga rela memutuskan hubungannya dengan kekasihnya, demi merawat Vero.

"Hei, Vero … kenapa kamu melamun? Apakah kamu marah pada paman, karena paman berbohong padamu?" tanya Rudolf.

Namun bukannya jawaban yang Rudolf dapatkan dari Vero, ia malah mendapat pelukan hangat dari keponakannya itu.

Rudolf yang berposisi duduk pun, kaget dengan sikap Vero yang tiba-tiba begitu hangat dan manis. Namun Rudolf tidak lupa membalas pelukan hangat Vero sambil tersenyum penuh kebahagiaan.

"Apa kamu begini karena paman akan pergi selama satu bulan?" tanya Rudolf, dengan posisi tubuhnya masih dipeluk oleh Vero.

Mendengar pertanyaan pamannya, Vero langsung melepaskan pelukannya, dan menatap wajah pamannya.

"Terima kasih paman, untuk semua yang sudah paman berikan kepadaku," ucap Vero dengan penuh ketulusan.

Rudolf yang mendapat perlakuan manis dari Vero pun, membuat matanya berkaca-kaca, karena baru kali ini Vero benar-benar manis kepadanya.

"Siapa yang menaruh bawang di sini?" tanya Rudolf sambil menyeka bagian bawah matanya, kemudian kembali memeluk Vero.

Rudolf tidak tahu, pagi itu begitu membuatnya bahagia. Meskipun nanti, dirinya harus berpisah selama satu bulan lamanya dengan keponakannya itu, tapi Rudolf merasa sangat bersyukur karena bisa merasakan momen seperti ini.

"Terima kasih, Nak … karena sudah menjadi anak yang baik untuk paman," ucap Rudolf, sambil mengeratkan pelukannya.

Vero merasa matanya memanas dan berkaca-kaca, membuatnya melepaskan pelukan pamannya itu.

"Pukul berapa paman akan ke bandara?" tanya Vero, berusaha membuat dirinya tidak menjatuhkan air mata di depan pamannya.

Karena Vero tidak mau menjadi beban untuk pamannya, ia sadar sejak ia kecil, dirinya selalu menjadi beban untuk pamannya.

Rudolf yang paham dengan maksud Vero mengalihkan topik pembicaraan pun, hanya tersenyum melihat keponakannya yang sudah bertumbuh dewasa saat ini.

"Pesawat paman akan terbang pukul 10, jadi paman bisa sedikit bersantai dan tidak terlalu terburu-buru," jawab Rudolf.

"Nanti, supir pribadi dan pengurus rumah tangga yang paman siapkan untukmu akan datang pukul 8, sebelum paman berangkat, jadi paman akan kenalkan kamu pada mereka," jelas Rudolf.

"Baik paman, terima kasih," ucap Vero.

"Jika nantinya kamu butuh sesuatu, kamu bilang saja pada paman," ucap Rudolf.

Vero hanya menganggukkan kepalanya paham.

"Paman … apakah paman tidak bisa pulang lebih cepat saja?" tanya Vero.

Rudolf yang mendengar pertanyaan itu dari Vero pun, tersenyum.

"Kalau saja bisa, pasti pamanmu yang sangat tampan ini akan bergegas pulang, agar keponakannya tidak perlu merindukannya, tapi apa boleh buat, paman harus di sana selama satu bulan lamanya," ucap Rudolf dengan penuh percaya diri.

Vero yang mendengar ucapan pamannya yang terkesan sangat dibuat-buat pun, menahan tawanya.

"Paman tahu, paman adalah orang yang selalu dirindukan, jadi paman akan berusaha membuatmu tidak menunggu lama untuk berjumpa dengan paman lagi," ucap Rudolf dengan kepercayaan diri tingkat tingginya.

Vero terus saja menahan tawanya mendengar lelucon pamannya itu, sambil menyendok serealnya, ia berkali-kali menahan tawa di depan pamannya.

'Kalau begitu, selesaikan makanmu, dan segera bersiap untuk mengantar paman ke bandara," ucap Rudolf menyudahi leluconnya.

"Baiklah, paman…." jawab Vero.

Rudolf hanya tersenyum pada Vero, dan kembali menyelesaikan kegiatan makannya yang tadi terjeda.

Begitu juga Vero, ia kembali menikmati sereal yang ia buat untuk dirinya sendiri.

Vero merasa rasa cemasnya memudar, saat pamannya memberikan lelucon kepadanya. Namun ia tidak tahu, akan bertahan seberapa lama ia tidak akan mencemaskan pamannya yang akan meninggalkan dirinya selama satu bulan itu.