"Ya, aku masih melihatnya," jawab Ellena ketika Dokter George menanyakan kembali tentang hantu yang diceritakan waktu itu.
Ini adalah pertemuan konsultasi keempat setelah gadis itu mengakui bahwa tiba-tiba ia melihat hantu.
"Saya tidak tahu lagi harus mengganti obatmu dengan apa. Semua sudah saya resepkan." Bukannya sang pasien, malah sang dokter yang merasa frustrasi.
"Tidak perlu, Dok. Dia teman yang baik. Jika Dokter meresepkan obat agar aku tidak dapat melihatnya lagi, aku akan membuangnya," tegas Ellena. "Tidak apa-apa, kan?"
Pria berjubah putih itu menghela napas panjang. "Baiklah. Jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik, teruslah berhalusinasi." Ia meletakkan bolpoin—yang dari tadi dimainkannya—ke atas buku catatan. "Tapi ingat Ellena, kalau tiba-tiba teman halusinasimu hilang, kamu harus siap menerimanya. Walau bagaimanapun, dia itu tidak nyata."
Deg! Jantung Ellena mendadak berdegup lebih cepat. Mendengar fakta yang bisa saja terjadi kapan pun itu, ia merasa takut. Benarkah selama ini dirinya hanya berhalusinasi? Pikirannya terus mengatakan bahwa itu tidak mungkin.
Ia yakin sekali jika Radi memang nyata, arwah yang masih ada di dunia manusia. Namun, baik halusinasi maupun benar-benar hantu, yang dikatakan Dokter George ada benarnya. Ia harus siap.
Ellena selalu melarang Radi untuk menemaninya konsultasi. Ia tidak ingin temannya itu mendengar sesuatu seperti yang diucapkan Dokter George tadi. Jadi, Radi akan menunggu di tempat biasa, di bawah pohon maple besar yang tidak jauh dari danau.
Musim dingin telah tiba. Hampir semua orang yang berlalu-lalang mengenakan jaket tebal. Beberapa di antara mereka mengalungkan syal untuk menghangatkan tubuh.
Oh, ada yang unik. Sebagian anak-anak muda mengenakan topeng kain berwarna putih di kepalanya, di mana topeng tersebut banyak dijual dadakan di sepanjang jalan yang ia lalui.
Begitulah jika hari Natal akan segera tiba. Tradisi di negara yang konon menjadi negara yang paling banyak ingin ditinggali itu sangat unik. Hampir menyerupai pesta hallowe'en, tetapi tak seseram itu. Malah sukacita memenuhi setiap rumah.
Salju pertama yang turun semalam, membuat udara hari ini terasa cukup dingin. Uap putih tipis akan keluar dari mulut siapa saja yang mengembuskan napas dari mulut. Setiap langkah yang diambil Ellena meninggalkan jejak sepatu di atas sisa-sisa salju tipis di tanah tempatnya berpijak.
"Dor!" seru gadis yang mengenakan topeng putih polos di wajahnya.
Radi tersentak kaget saat melihat Ellena yang tanpa wajah. Kepalanya tertutup kain putih dengan dua lubang untuk mata dan satu lubang di hidung.
"Dari mana kamu mendapatkan itu?" tanya pria yang masih mengamati topeng Ellena.
Gadis bersurai panjang itu segera melepaskannya, lalu memasukkan topeng kain itu ke tas. "Banyak, kok, yang jual di jalan. Kan, sebentar lagi Natal."
"Ah, sudah bulan Desember? Pantas saja semalam turun salju."
Ellena mengangguk tanda mengiakan. "Kamu mau coba pakai?" Ia mengeluarkan kembali benda itu dari tasnya, menyodorkan pada Radi.
"Bagaimana caranya?" tanya pria itu heran.
Tangan Ellena terangkat di depan wajah Radi. Ia hanya memosisikan topeng itu tepat di wajah Radi, membayangkan seperti apa penampilannya jika mengenakan benda itu. Pemuda itu hanya pasrah saja menerimanya. Ia tersenyum melihat Ellena tertawa.
"Ellena," panggil Radi. Wajahnya menunjukkan raut yang begitu serius.
Radi maju selangkah. "Selama musim dingin ini, maksudku, jika cuaca menjadi lebih dingin bahkan sangat dingin, sebaiknya kita di rumah saja."
Gadis berambut panjang itu mengerutkan alis. "Kenapa begitu?"
"Tidak baik untuk kesehatanmu," jawabnya.
"Kamu mengkhawatirkanku?" Mata Ellena berbinar. Bibir merahnya merekahkan sebuah senyuman.
Tentu saja Radi mencemaskan gadis itu. Ia tahu betul bahwa Ellena memiliki riwayat lemah jantung sejak kecil, tetapi ia memilih untuk tidak mengatakannya.
Karena sekarang Ellena tidak mengingat apa pun, terutama dirinya, lebih baik tetap seperti itu saja. Jika bisa membuat gadis itu kembali ceria, Radi rela meski harus terlupakan oleh semua orang.
"Tentu saja." Hantu itu membalas senyum Ellena. "Aku tidak mau kamu mati kedinginan di sini."
Keduanya tertawa geli, mentertawakan celoteh konyol yang dilontarkan Radi barusan. Ellena sadar, kebersamaannya dengan Radi tidak bisa dinikmati di rumah. Apa yang akan dipikirkan orang tuanya jika melihat anak semata wayangnya berbicara bahkan tertawa sendiri setiap saat?