Daun-daun maple yang rindang di dekat danau terus saja berganti warna. Musim terus berubah-ubah seiring berjalannya waktu, tetapi ada satu hal yang tak pernah berubah. Senyum yang selalu menyambut Ellena ketika terbangun setiap pagi, di bawah langit yang sama sejak awal perjumpaannya dengan Radi, sosok yang mampu mengisi relung hatinya yang hampa.
"Jadi, bagaimana sekolahmu?" tanya Radi usai menyenandungkan sebuah lagu ballad favoritnya. Ia tidak pernah berada di rumah jika Ellena sedang home schooling. Baginya, saat itu terasa membosankan.
Dari balik buku tebal pelajaran Matematika, mata Ellena melirik pria itu. "Lancar. Aku sudah mendaftar ujian akhir bulan depan. Makanya aku harus fokus belajar."
Pemuda berbaju putih itu tersenyum bangga. "Jangan sampai tidak lulus, loh." Satu tangannya digerakkan di atas kepala Ellena, bertindak seolah-olah sedang mengelus puncak kepalanya.
Rona merah di wajah gadis itu semakin jelas. Rumus- rumus yang baru saja dihafalnya mendadak terbang dari ubun- ubun. Ia tidak bisa mengontrol detak jantung yang bertalu-talu di dalam dada. Perasaan hangat menyelimuti hatinya setiap berada di dekat Radi.
"Orang tuamu ... sepertinya mereka memperlakukanmu dengan baik, ya?" tanya pria itu lagi.
Ellena mengangguk cepat. "Tentu saja. Mereka sangat menyayangiku. Mungkin karena aku satu-satunya anak mereka. Lagi pula, sepertinya aku mulai bisa menerima Mama dan Papa sebagai orang tuaku, walau ingatanku masih belum kembali." Ia tidak bisa menyembunyikan raut bahagia di wajahnya.
"Begitu? Syukurlah."
Walau bibir Radi menyunggingkan senyuman, sorot matanya berkata lain. Seperti ada sesuatu yang tidak diketahui Ellena dalam diri pria tersebut. Lagi-lagi pandangannya yang sendu itu menyakiti hati Ellena, layaknya tersayat-sayat oleh silet yang tajam.
"Ah, kurasa sudah saatnya aku bercerita tentang dirimu pada mereka!" seru Ellena. Gadis itu berusaha mengalihkan perhatian Radi.
Sempat tertegun, tetapi pria itu berusaha tetap tenang. "Maksudmu, orang tuamu?"
Ellena mengganggukkan kepala. Matanya berbinar saat mengatakannya tadi.
"Ta-tapi ... mereka tidak akan percaya begitu saja."
"Pasti percaya. Mama dan Papa selalu memercayaiku. Alasan apa pun yang kubuat untuk ke tempat ini, mereka tidak pernah meragukannya. Aku yakin orang tuaku juga ingin mengenalmu, Radi." Ellena meletakkan bukunya ke samping, lalu mendekat pada lawan bicaranya. "Percaya padaku."
"Tapi mereka tidak bisa melihatku," ucap Radi pelan.
Senyum di bibir gadis itu merekah. "Kamu bisa mempelajari dulu cara agar terlihat oleh manusia." Gelak tawa lolos dari bibir merah Ellena.
Sadar ia hanya tertawa seorang diri, Ellena langsung membungkam mulutnya. "Maaf, tidak lucu, ya?"
Kemudian, Radi terbahak setelahnya. Bukan karena humor receh yang dilontarkan gadis itu, melainkan ekspresi wajah tidak enak Ellena yang sangat lucu di matanya.
***
Suatu hari, Ellena menemukan pintu gudang di belakang rumah—yang selama ini tertutup rapat—sedikit terbuka. Rasa penasaran mengalahkan peringatan orang tuanya untuk tidak mendekati ruangan tersebut.
Memanfaatkan kesempatan saat rumah sedang sepi, ia masuk diam-diam. Gelap, matanya tak dapat menangkap apa pun di dalam gudang tersebut. Udaranya pengap dan penuh dengan debu.
"Sial," umpat gadis itu setelah tangannya berulang kali menekan sakelar lampu, tetapi tidak berfungsi.
Tangannya beralih merogoh ponsel di saku celana, lalu menghidupkan lampu flash. Debu-debu terlihat beterbangan ketika sinar itu menyorot. Refleks gadis itu mengipas tangannya di depan hidung.
"Ellena!"
Yang dipanggil pun langsung menoleh. "Ah, bikin kaget saja, kupikir Papa."
"Kamu dapat kunci dari mana?" tanya Radi, bingung melihat pintu gudang terbuka.
"Tidak perlu kunci. Pintunya memang terbuka. Aku tidak sengaja mengetahuinya. Ini kesempatan, kan?" Ellena berpaling pada ruangan gelap di depannya.
Lantai kayu terus berderak-derak ketika kaki Ellena berjalan menelusuri ruang sempit dan gelap itu. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Hanya barang-barang lama dan lapuk yang disusun bertumpuk, layaknya sebuah gudang pada umumnya.
"Tidak ada apa-apa, kok, di sini. Ayo, keluar," ajak Radi. "Udaranya kotor, tidak baik untukmu."
"Kamu tahu dari mana di sini tidak ada apa-apa?" Ellena mendelik pada Radi.
Pemuda itu tergelak. "Kamu lupa? Aku ini hantu. Aku pernah mengintip ke sini, dan memang tidak ada yang penting, Ellena. Percaya padaku."
Aneh. Jika memang tidak ada apa-apa, kenapa orang tua Ellena sampai melarangnya masuk ke tempat tersebut? Gadis itu berusaha berpikir positif, mungkin mereka mengkhawatirkan dirinya jika berada di ruangan penuh udara pengap dan tidak baik untuk kesehatannya. Maka tidak ada alasan lagi baginya untuk lebih lama berada di sana.
Saat berbalik hendak melangkah keluar, tidak sengaja kaki Ellena menyenggol kardus kecil dekat pintu. Sebuah benda persegi panjang pipih yang bersandar di atasnya langsung
terjatuh dan menerbangkan debu ke mana-mana. Spontan gadis itu terbatuk sembari menutup sebagian wajahnya.
Cahaya lampu flash dari ponsel gadis itu mengarah ke dalam kardus yang sudah sedikit terbuka. Matanya memicing sesaat, melihat sesuatu yang tak asing lagi, lalu tangannya mengeluarkan sebuah mantel maroon dari dalam kardus cokelat tersebut.
"Kenapa mantelku disimpan di sini? Aku, kan, masih ingin memakainya," gumam Ellena.
"Itu bukan milikmu," sahut Radi.
Benar saja, saat Ellena memeriksanya, terlihat jelas mantel itu berukuran lebih besar. Segera gadis itu memeriksa ujung bawah mantel bagian belakang, memastikan bordiran nama yang tertulis di sana. Sayangnya, benang-benang jahitan itu telah berantakan. Hanya lima huruf di bagian tengah yang masih utuh, d-i-s-o-n ....
"Kamu tahu dari mana?" lirihnya. "Kenapa ada dua mantel yang sama?" Lalu, diletakkannya kembali ke dalam kardus.
Radi hanya diam, mengawasi gerak-gerik gadis itu.
Kemudian, Ellena mengambil sebuah bingkai foto yang tadi jatuh telungkup menghadap ke tanah. Ia menyingkap debu tipis dengan satu tangan. Betapa terkejutnya gadis itu melihat wajah yang familier tergambar di sana. Matanya terbelalak dan mulutnya setengah menganga.
"I-ini kamu, kan?" tanyanya tidak percaya.