Radi datang mendekat untuk melihat pigura itu. Raut wajahnya datar, dia tidak kaget seperti saat Ellena melihatnya.
"Hm ... mirip," ucapnya. Sorot matanya berubah, lebih sayu.
"Apanya yang mirip, ini jelas-jelas foto kamu!" Nada suara
Ellena mulai naik meyakinkan diri.
"Ya, itu mungkin saja, kan? Aku pernah bilang loh kalau aku juga pernah tinggal di rumah ini."
"I-iya, tapi ... kupikir maksudnya tinggal sebagai penghuni, maksudku hantu," jelas Ellena. "Jadi kamu pernah tinggal di sini waktu masih hidup?"
Radi tersenyum tipis. "Mungkin."
"Kenapa kamu terus-terusan bilang 'mungkin', sih? Apa tidak ada yang pasti, begitu?" Ellena mulai kesal berdebat dengannya.
Pemuda berkulit pucat itu diam sesaat. Perlahan ia menundukkan kepala. "Aku ... juga sama sepertimu, Ellena. Aku tidak ingat masa-masa hidupku. Bagaimana hidupku dulu, bagaimana keluargaku, aku sungguh tidak ingat."
Ah, tiba-tiba Ellena merasa bersalah pada pria di hadapannya. Hatinya berdesir mendengar pernyataan Radi barusan. Tidak pernah sebelumnya sosok itu membahas hal tersebut. Biasanya, ia bungkam jika terus dipaksa bercerita tentang masalah pribadi. Harusnya gadis itu lebih bersabar dan memikirkan perasaan Radi juga.
"Maaf," lirih gadis itu.
Saat Ellena masih larut dalam perasaannya, Radi kembali mengangkat kepala. "Mungkin ... setelah mati memori itu akan langsung dihapus? Supaya hantu-hantu gentayangan tidak bisa balas dendam dan menjadi hantu baik hati sepertiku?"
Dalam sekejap, raut wajah pria itu kembali berseri. Ampun deh, padahal baru saja Ellena merasa kasihan dengannya. Perasaan itu langsung sirna begitu saja, menyatu dengan angin bagai gas helium pada balon yang pecah.
Malamnya, Ellena bertanya pada ibu dan ayahnya tentang foto yang ia temukan itu. Mungkin mereka punya petunjuk tentang sosok yang tergambar di foto tersebut.
Selain rasa penasarannya yang begitu besar, ia juga ingin sekali membantu teman pertamanya itu. Di luar ekspektasi, mereka berdua saling memandang satu sama lain. Wanita paruh baya itu memegang tangan Ellena.
"Sayang, kok, kamu bisa masuk ke situ?" tanya sang ibu. "Pintunya tidak dikunci."
Kemudian wanita itu menoleh ke arah pria yang duduk di sebelahnya.
"Oh, tadi Papa habis memindahkan barang-barang yang sudah tidak terpakai ke sana, Ma," ujar papanya. "Kayaknya lupa dikunci lagi."
"Kalian tahu itu foto siapa?"
Butuh waktu lama Ellena menunggu jawaban, sebelum akhirnya ibunya menggeleng pelan.
"Sebagian barang memang sudah ada di sana dari awal kita beli rumah ini, Sayang," tutur wanita yang terlihat lebih cantik saat tersenyum itu.
Ellena mengerutkan kening karena bingung. Penjelasan sang ibu meyakinkan dirinya akan ucapan Radi. "Kenapa tidak langsung dibuang?"
Mereka kelihatan kesulitan menjawabnya.
"Papa pikir, suatu saat pemilik barang-barang itu akan kembali dan menanyakan. Ada banyak barang penuh kenangan di ruangan itu. Kamu mengerti, kan, maksud Papa?"
Gadis berambut hitam panjang itu berusaha mencerna penjelasan ayahnya, lalu mengangguk pelan. Ya, masuk akal, sih. Namun, entah kenapa ia melihat keraguan terpancar dalam tatapan mata mereka. Sepertinya hanya perasaannya saja yang terlalu berlebihan.
"Papa dan Mama tahu, tidak, orang yang ada di foto itu ... sudah meninggal." Ellena tidak tahu apa ini waktu yang tepat untuk mengatakannya.
Mereka berdua kompak terkejut. Ibunya membelalakkan mata, saling menatap dengan suaminya. Begitu juga dengan Radi yang dari tadi hanya mengamati, tidak menyangka Ellena akan langsung mengatakannya.
"Kamu tahu dari mana, Sayang? Siapa yang bilang?" tanya wanita itu dengan terburu-buru.
Sang putri menggeleng. "Aku berteman dengannya." Sepasang suami istri tersebut mengernyitkan dahi.
"Siapa?" tanya pria dengan celana pendek di hadapan Ellena.
"Orang yang ada di foto itu, arwahnya tinggal di rumah ini, dan dialah teman baik yang kuceritakan selama ini," papar Ellena antusias.
Sang ayah tersenyum, disusul dengan wanita di sebelahnya.
Pria itu memegang kening putrinya dengan punggung tangan. "Kamu sakit? Kayaknya kamu agak melantur."
Ellena sedikit kecewa melihat reaksi kedua orang tuanya. Ia segera menepis tangan itu dari kepalanya. "Benar, Pa. Aku bisa melihatnya sejak kecelakaan itu!"
Gadis mungil itu berusaha meyakinkan. Bagaimana cara membuktikan bahwa ia tidak sedang melantur? Dia pikir, mama dan papanya akan langsung percaya begitu saja dengan ucapannya. Namun, realita berkata lain.
"Kalau begitu, suruh dia menampakkan diri di depan kami.
Papa juga ingin berteman dengannya."
Ellena menoleh ke samping, ke tempat di mana Radi duduk diam. Sorot mata gadis itu seolah menyuruhnya mengikuti ucapan sang ayah. Namun, Radi menggeleng. Kedua tangannya meremas bagian bawah baju, di atas paha. Masing- masing matanya terpejam. Ia terlihat sedang tertekan.
"Maaf, aku sangat ingin melakukannya. Aku juga ingin mereka melihatku," ucapnya lirih. Radi menoleh ke arah Ellena, sehingga gadis itu dapat melihat matanya yang berkaca-kaca. "Tapi ... aku tidak bisa," lanjutnya penuh penyesalan.
Untuk pertama kalinya, Ellena melihat pemuda itu menitikkan air mata.
Kumohon ... jangan bersedih. Setiap tetes air mata yang kamu jatuhkan, bagaikan belati yang menghunjam dadaku.
Maaf, aku janji tidak akan bersikap egois lagi. Namun, aku mohon, jangan biarkan ucapan Dokter George menjadi kenyataan. Jangan menghilang dari pandanganku, selamanya.