"Awal musim gugur nanti, saat daun-daun ini berguguran untuk yang pertama kalinya, mari kita bertemu di tempat ini."
"Kenapa harus menunggu hingga musim gugur?" tanya Ellena.
"Kamu ingat legenda pohon maple di negara ini? Jika kejatuhan daunnya pada musim gugur saat sedang bersama seseorang, mereka akan selalu bersama." Pemuda dengan manik kecokelatan itu tampak bersemangat. "Aku ingin membuktikannya!"
"Kamu benar. Tidak ada yang bisa memisahkan kita, sekalipun itu Papa dan Mama." Ellena mengulas sebuah senyum. Ia sangat percaya pada pemuda itu.
Hari itu bulan November, musim gugur pertama sejak Radi dan Ellena membuat janji temu. Ellena menengadahkan kepala menatap daun maple yang sudah berubah warna menjadi kuning kemerahan.
Bulir-bulir air mata membasahi pipinya, membentuk sebuah anak sungai. Ia begitu merindukan kenangan bersama keluarganya di mana tahun-tahun lalu masih begitu membahagiakan. Keluarga yang tadinya baik-baik saja, kini hancur berantakan. Orang tua yang bercerai memaksa putra- putri mereka untuk berpisah.
Radi, sang kakak, tinggal bersama ayahnya, sedangkan Ellena bersama ibunya. Tidak mau berpisah begitu saja, keduanya saling membuat janji untuk bertemu setiap akhir pekan, di bawah pohon maple besar, tidak jauh dari danau. Saling bercerita, berkeluh kesah, dan tertawa seperti dulu.
Tidak ada yang tahu, keduanya menyembunyikan luka. Alih-alih memulihkan mental putrinya sebagai korban perceraian orang tua, sang ibu lebih memilih menyibukkan diri dengan bekerja. Ellena tidak mendapatkan perhatian yang semestinya ia terima. Sedangkan, ayahnya dibutakan alkohol, menyiksa Radi hampir setiap hari.
Radi selalu menutupi setiap lebam di tubuhnya ketika berhadapan dengan Ellena. Semua baik-baik saja, setidaknya itulah yang mereka yakini.
Satu jam berlalu, Radi belum juga datang. Hati Ellena dikuasai rasa ditinggalkan. Mulai dari ayah, ibu, lalu sekarang kakaknya. Ia bisa berpikiran seperti itu karena minggu lalu, dua, dan tiga minggu sebelumnya pun Radi tidak datang.
Pekan berikutnya, Ellena kembali menatap daun maple yang sudah berguguran, masih menunggu Radi. Padahal, pria tersebut telah berjanji akan menikmati gugur pertama daun itu bersama-sama.
Ellena percaya legenda daun maple juga berlaku untuk keluarga. Ia menggenggam sebotol obat antidepresan. Beberapa pil telah ditelannya sejak langkah pertama menuju tempat itu. Hatinya hancur, pikirannya kalut.
Tepat ketika Ellena tengah menangis dan meringkuk di bawah pohon maple dengan beralaskan daun yang telah mengering, ia mendengar langkah. Suara yang dihasilkan dari daun-daun kering yang terinjak.
"Ellena, kamu menungguku?"
Mata gadis itu terbelalak. Ia segera bangkit berdiri menghampiri sosok yang ia pikir tidak akan pernah kembali itu. Matanya menghangat menatap Radi.
"Kenapa sangat terlambat? Aku pikir Kakak ...." Tidak dapat menahannya lagi, air mata gadis itu tumpah begitu saja.
"Maaf, ak—"
"Kamu juga ingin meninggalkanku seperti Papa dan Mama, kan?!" hardik Ellena.
Radi sempat terdiam. "Bukankah kamu masih tinggal dengan Mama?"
"Iya, tapi Mama tidak peduli lagi denganku. Sejak mereka bercerai, aku merasa sendirian." Ia berhenti karena sesenggukan. "Hanya Kakak yang aku punya saat ini. Jangan tinggalkan aku seperti mereka. Kumohon!"
Radi mendesah. "Ellena, dengarkan aku dulu."
Pria itu berjalan perlahan mendekati Ellena. Pada setiap pijakan kakinya, ada rasa sakit di dada yang ia tahan. Selama ini, Radi tidak bisa datang menemui adiknya karena harus menahan sakit di rumah.
Ayahnya mematahkan dua tulang rusuknya saat sedang mabuk. Bahkan, pria pemabuk itu tidak membawa anaknya untuk dirawat di rumah sakit. Sekarang pun ia memaksakan diri datang ke tempat itu.
"Tidak! Aku tidak mau dengar apa pun!" Ellena menutup kedua telinganya dengan tangan.
Sadar dengan reaksi berlebihan sang adik, Radi hendak memeluknya, seperti biasa yang ia lakukan ketika gadis itu menangis. Namun, Ellena segera menepisnya.
"Jangan sentuh aku!" Napas Ellena terengah.
"Tenanglah, Ellena. Ada apa denganmu?" tanya Radi lembut. "Maaf, ya, karena baru datang. Aku tidak ada maksud untuk mengingkari janji kita. Sungguh."
"Lalu kenapa?!"
Radi kembali terdiam. Tidak mungkin untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak ingin gadis itu mengetahui perbuatan kejam sang ayah yang diterimanya.
"Lihat, kamu tidak bisa menjawab. Kamu berbohong!" Masih menangis, emosi gadis itu kembali meluap. "Kenapa hidupku berakhir seperti ini? Aku ingin Mama dan Papa bersatu seperti dulu!" Ellena semakin meracau.
Puncak perdebatan terjadi saat Radi merampas obat penenang yang ditangkap matanya, menyembul keluar dari tas Ellena. Ellena benar-benar depresi. Ia menangis, marah, dan tidak mau disentuh Radi. Pria itu tidak pernah menyangka bahwa adik tersayangnya begitu menderita.
"Ellena, sejak kapan kamu mengkonsumsi obat ini?" Nada suara Radi sedikit meninggi.
Ellena terus melangkah mundur setiap Radi maju mendekat.
"Berhenti! Perhatikan langkahmu, kamu semakin dekat dengan danau!" teriak pria itu.
Nahas, kaki Ellena tersandung akar pohon yang menyembul keluar dari tanah. Ia terjatuh ke belakang. Kepalanya menghantam kuat batu pembatas. Kemudian, tubuhnya terlempar jatuh ke danau.
Hal terakhir yang ia lihat adalah sebuah daun maple jingga melayang ke arahnya, sebelum semuanya menjadi gelap.
Radi yang panik pun langsung terjun ke danau. Apa pun yang terjadi, ia harus menyelamatkan adiknya. Harus. Dibantu satu orang pengunjung yang kebetulan mendengar teriakan, tubuh Ellena yang didorong Radi dari bawah berhasil keluar dari air.
Sayangnya, Radi tidak bisa menahan lagi rasa sakit di dadanya ketika ia mempertahankan tubuh Ellena agar segera naik tadi.
Setiap gerakan tubuh yang ia buat untuk menjaga tubuhnya mengapung di permukaan, membuat rusuknya seolah kembali bergeser. Bahkan, untuk bernapas pun rasanya sulit. Sementara orang tadi sibuk melakukan tindakan CPR pada Ellena, tubuh Radi tidak lagi tampak di permukaan.
Radi tenggelam, lalu meregang nyawa dalam perjalanan ke rumah sakit.