Benar seperti yang diucapkan ibunya tadi, Ellena merasa udara hari ini terasa lebih dingin. Satu tangannya dimasukkan ke saku mantel maroon yang membungkus tubuhnya, sedangkan tangannya yang lain memeluk sebuah buku yang ia bawa. Matanya menangkap sesuatu dari ujung bawah mantelnya ketika ia merapatkan baju tebal itu.
Sebuah tulisan? Ditariknya ujung baju tebal itu, lalu sedikit memutarnya ke depan agar ia dapat melihatnya lebih jelas. Kepalanya pun ikut miring membaca tulisan terbalik yang terdiri dari dua kata itu.
"El-le-na Del-wyn." ejanya.
"Itu namamu," sahut Radi. "Mama yang menjahitkan." Ellena terperangah. "Kok, tahu?"
"Kamu yang menceritakannya sendiri padaku, Ellena," jawab Radi sambil tertawa kecil.
Ellena tersenyum. Seperti apa hubungan dengan orang tuanya dulu? Ia merasa bersalah. Mulai sekarang, ia harus lebih mendengarkan ibunya. Walau masih terasa canggung, wanita itu tetaplah seorang ibu yang telah membawanya ke dunia.
Derap langkah kembali terdengar dari sepatu gadis itu. Sudah tidak ada lagi daun-daun kering yang berserakan. Mungkin tukang sapu jalanan telah membersihkannya. Lagi pula, sebagian besar pohon telah menggundul, pertanda pergantian musim akan segera datang. Lalu, tiba-tiba telinga Ellena berdenging.
"Awal musim gugur nanti, saat daun-daun ini berguguran untuk yang pertama kalinya, mari kita bertemu di tempat ini."
"Kenapa harus menunggu hingga musim gugur?"
"Kamu ingat legenda pohon maple di negara ini? Jika kejatuhan daunnya di musim gugur saat sedang bersama seseorang, mereka akan selalu bersama. Aku ingin membuktikannya!"
"Kamu benar. Tidak ada yang bisa memisahkan kita, sekalipun itu Papa dan Mama."
"Ellena! Ellena!"
Teriakan Radi menyadarkannya. Seolah jiwanya baru saja ditarik kembali ke dalam raga yang sejak tadi mematung dengan tatapan kosong, memandang lekat batang pohon maple yang hanya tersisa ranting dan beberapa helai daun.
"Kamu baik-baik saja, Ellena? Ada apa?" tanya Radi. Raut kecemasan menyelimuti wajahnya. Matanya tidak bisa lepas dari gadis itu.
Ellena mengerjap dua kali. Ia tidak menyadari butiran air mata yang mengalir jatuh, membentuk anak sungai di masing- masing pipinya. Semilir angin yang berembus membuatnya bergidik. Spontan ia memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua lengan, mendekap erat buku di dada.
Apa itu tadi? Seperti potongan ingatan tiba-tiba melintas dalam kepalanya. Bahkan, suaranya pun terdengar sangat jelas. Namun, ia tidak bisa melihat siapa sosok yang berbicara dengannya. Hal yang Ellena yakini, itu suara seorang pria.
Kalimat demi kalimat terasa begitu menyayat hati. Gadis bersurai panjang itu tidak mengerti mengapa ia merasa begitu sedih. Ia terus bertanya-tanya dalam hati, kapan percakapan itu terjadi? Lalu, siapa yang menjadi lawan bicaranya?
Legenda daun maple, sama seperti yang diucapkan Radi beberapa waktu yang lalu. Mitos itu memang cukup terkenal di tempat tinggal Ellena. Mungkinkah karena mendengarnya lagi, ia jadi mengingatnya kembali?
"Ellena?" panggil Radi sekali lagi.
"Ah, maaf " Segera Ellena mengusap pipinya yang basah.
Radi bisa melihat tangan gadis itu sedikit gemetar. Andai ia bisa menyentuh Ellena, sudah dari tadi ia menyeka air matanya dan memeluk tubuh gadis yang kedinginan itu.
"Kamu sakit? Tidak usah memaksakan diri ke luar jika sedang tidak sehat," papar Radi.
Ellena menggeleng perlahan. "Tidak. Tadi tiba-tiba aku melihat sesuatu di kepalaku, terlintas begitu saja."
"Apa itu?" Pemuda itu mengerutkan dahinya, bingung. Ia penasaran apa yang dipikirkan Ellena hingga membuatnya menangis seperti tadi.
"Potongan ingatan, sangat kuat."
Radi tertegun. "Ka-kamu mengingat sesuatu?"
Ellena memejamkan matanya kuat-kuat, berusaha mengingat kembali apa yang dilihatnya tadi. Ini sesuatu yang sangat penting baginya. Perasaannya saat melihat daun maple, mimpi buruk yang sering ia alami, lalu tiba-tiba potongan ingatan.
Semuanya bagai kepingan puzzle yang harus disatukan untuk menghasilkan sebuah gambaran utuh. Masalahnya, kepingan puzzle belum ditemukan seluruhnya.
Semakin Ellena berpikir, kepalanya terasa sakit. Ia sempat mengerang pelan, sebelum akhirnya roboh ke tanah.
"Ellena!" teriak Radi. Entah sudah berapa kali pria itu menyebut nama Ellena sejak ia menemukannya tenggelam dalam lamunan panjang tadi.
"Kepalaku sakit ... kenapa aku tidak bisa mengingatnya "
"Jangan dipaksakan. Berisitirahatlah sebentar di sana, lalu minta Mama untuk menjemputmu." Radi mengarahkan telunjuknya ke arah pohon maple agar Ellena dapat bersandar di bawahnya, seperti yang biasa ia lakukan.
Dalam situasi seperti ini, Ellena patuh pada Radi. Ia bangkit perlahan, lalu duduk bersandar di bawah pohon maple besar yang sudah seperti rumah kedua baginya. Ia tidak menelepon siapa pun. Disodorkan benda di tangannya pada Radi yang sudah duduk persis di sebelahnya.
"Lihat ini, aku membeli novel baru!" serunya.
Melihat senyum yang mengembang di wajah gadis itu, seketika perasaan cemas Radi menguap, beralih menyambut buku yang berada tepat di depan wajahnya.
"Kenapa aura buku ini berbeda?" Pria berkulit pucat itu mendelik pada Ellena setelah membaca judul buku tersebut, The Ghost Next Door.
Ellena tertawa kecil. "Entahlah. Novel ini menarik perhatianku sejak awal. Ini karya R. L. Stine! Kamu tahu, seri Goosebumps ini ada banyak sekali."
"Kamu tidak takut hantu?"
Gadis itu terkekeh. "Bagaimana bisa aku takut kalau yang kutahu hantu itu seperti dirimu, tampan dan tidak seram sama sekali."
Kedua sudut bibir Radi tertarik ke atas, membentuk senyuman. Ellena sedikit memekik ketika menyadari ucapan yang baru saja lolos dari bibirnya. Tiba-tiba wajahnya merah merona, merasa malu karena telah mengatakan bahwa pria di sampingnya tampan.
Radi lega karena gadis yang dikenalnya itu telah kembali menjadi dirinya yang ceria. Teruslah tertawa dan tersenyum seperti itu ... Ellena.