"Mau ke mana lagi, Sayang?" tanya seorang wanita paruh baya. Tangannya berhasil menahan lengan Ellena saat hendak meraih kenop pintu.
Gadis itu menoleh ke belakang. "Membaca buku, Ma," jawabnya sambil menunjukkan sebuah novel tebal yang baru dibelinya kemarin.
Wanita yang dipanggil "Mama" itu menghela napas. Ada siratan kekhawatiran dari embusan napasnya barusan. "Akhir- akhir ini kamu selalu membaca buku di luar. Musim dingin sudah di depan mata, Sayang. Tidak bisakah kamu di rumah saja?"
Mendengar percakapan tersebut, seorang pria menghampiri mereka. Ia sibuk mengancingkan kemeja yang terlihat mulai sempit.
"Papa antar, ya. Tunggu saja di sofa sebentar," katanya terburu-buru.
Kedua Alis wanita di sampingnya menukik tajam. Alih-alih ikut membujuk sang putri, ia malah mengizinkan Ellena keluar. "Stev ...." Ia bersungut-sungut kesal karena sang suami tidak mendukung, membuat bujukannya tadi menjadi tidak berarti.
"Tidak usah, Pa. Aku akan pergi sekarang. Tempatnya tidak jauh dari sini. Lagi pula, aku bersama teman." Seulas senyum mengembang perlahan di wajah cantik Ellena saat melirik Radi yang sudah menunggu di ambang pintu.
Ayah dan ibunya saling bertukar pandang. Teman pertama setelah ingatannya hilang? Ini memang berita baik. Namun, sebagai orang tua, perasaan cemas selalu menghantui.
Bukannya apa, emosi Ellena itu masih labil karena amnesia yang dideritanya. Mereka takut jika suatu saat ingatannya tiba-tiba kembali dan menjadi tidak terkendali, mengingat Dokter George mengatakan bisa saja amnesia Ellena hanya bersifat sementara.
Kembali menghela napas gusar, wanita yang terlihat lebih muda dari usianya itu pasrah. "Baiklah, tunggu sebentar." Kemudian, ia bergegas masuk ke kamar Ellena.
Menit berikutnya, ia kembali dengan mantel berwarna maroon yang menjadi favorit putrinya dulu. "Setidaknya, pakai ini. Jangan sampai sakit."
Ellena mengambil mantel itu dan segera mengenakannya. Aroma pelembut pakaian bercampur dengan bau khas lemari terhirup melalui indra penciumannya.
"Aku pergi dulu," ucap gadis itu. Ia menerima kecupan hangat dari orang tuanya, mengawali harinya dengan penuh semangat.
Melihat anak semata wayangnya menghilang dari balik pintu, pandangan sang ibu berubah sendu. Ia kembali teringat hari di mana Ellena kecelakaan.
Sama seperti waktu itu, ia mengecup asal putrinya saat berpamitan pergi, tetapi gadis itu kembali dengan kabar buruk yang menghancurkan hatinya. Beruntung, Ellena masih terselamatkan. Sungguh, ia tak ingin merasakan kehilangan lagi.
"Steven! Tidak bisakah kamu lebih memperhatikan Ellena? Bagaimana kamu mengizinkan dia kedinginan di luar sana?" protes sang istri.
Pria itu duduk di meja makan, langsung mengambil beberapa centong nasi ke atas piring di hadapannya. "Ellena itu sudah besar. Kamu selalu mengekangnya. Pantas saja dulu dia sering diam-diam pergi dari rumah."
Mendengar ucapan barusan, wanita itu menjadi geram. Perlahan seluruh panas tubuhnya mengalir dan terkumpul pada kedua tangan yang meremas bagian bawah bajunya.
"Kamu masih bisa bicara seperti itu setelah apa yang kamu lakukan pada anak kita?!" Napasnya berderu lebih cepat, beradu antara hidung dan mulut. "Setidaknya, aku berusaha memperbaiki kesalahanku!"
Steven tidak mengindahkan ucapan istrinya, lebih tepatnya mantan istrinya. Begitulah mereka. Perdebatan dan adu mulut selalu terjadi jika Ellena sedang tidak di rumah. Mereka akan kembali berpura-pura akur jika sedang berada di hadapan sang putri.
Keadaanlah yang memaksa mereka tinggal satu atap kembali. Ironis memang, tetapi semua demi Ellena, juga sebagai bentuk penebusan dosa yang telah mereka buat sebagai orang tua yang seharusnya menjaga anak dengan baik.