"Ada apa? Bukankah kita sudah berkenalan waktu itu?" "Kupikir aku hanya berhalusinasi!" Gadis dengan setelan pakaian bergaya kasual itu kemudian menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Radi berhenti melangkah mendekati Ellena. Tatapan matanya meredup. "Kamu tidak suka bertemu denganku, ya? Aku pikir, kamu tidak akan bisa melihatku lagi."
Gadis itu hanya mematung. Pandangannya tidak bisa lepas dari sosok yang selama ini dikiranya tidak nyata.
"Kalau kamu takut padaku, baiklah, aku tidak akan muncul lagi di hadapanmu. Namun, setidaknya, bisakah kamu tidak pergi ke danau itu lagi?" Kali ini tatapannya semakin sendu. Ada siratan memohon terpancar dari matanya. "Tempat itu ... berbahaya."
"Be-berbahaya bagaimana?" Meski takut, Ellena sangat penasaran.
Radi menundukkan kepala. "Sekarang aku tidak bisa menjagamu lagi, seperti dulu." Suaranya melemah, tidak terdengar jelas di telinga Ellena.
Pria itu berpaling, lalu melayang menembus pintu gerbang depan, hendak pergi menjauh dari Ellena.
"Tunggu!"
Satu kata saja, Radi langsung berbalik dan kembali memperlihatkan guratan senyum di wajahnya. Ah, senyumnya menjadi kelemahan tersendiri bagi Ellena. Rasa takutnya perlahan menguap, berubah menjadi rasa ingin tahu yang besar.
"Kamu boleh tetap di sini," kata Ellena.
Radi mendekat. "Benarkah? Aku boleh berteman lagi denganmu?"
Melihat mata pria itu berbinar-binar, Ellena berusaha menahan diri agar tidak tersenyum. "Ya, asalkan kamu tidak muncul dengan wujud yang mengerikan."
Sosok itu terkekeh. "Aku tidak tahu bagaimana caranya mengubah wujud."
Untuk yang pertama kalinya, tawa geli lolos dari bibir Ellena. Mereka tertawa bersama. Sejak saat itu, Ellena sudah terbiasa dengan hantu Radi, dan mereka berteman baik.
"Kamu tahu, tidak, Ellena, di sini berkembang mitos tentang daun maple," kata Radi. Ia duduk di tanah sambil menengadahkan kepala, menatap rindangnya pohon maple di awal pergantian musim.
Gadis itu menghentikan aktivitasnya dari membaca buku—novel romance yang baru saja dibelikan ibunya— kemudian memutar bola mata. "Apa?"
"Katanya, kalau sepasang pria dan wanita kejatuhan daun ini saat musim gugur, mereka akan selalu bersama," papar Radi.
"Oh, ya? Sepertinya aku pernah dengar, tetapi tidak ingat," jawab Ellena. Tiba-tiba ia merasa deja vu mendengar pernyataan Radi barusan. "Bagaimana jika kejatuhan daun saat sedang sendirian?"
Senyum pria itu kembali merekah. Lagi-lagi Ellena tidak tahan melihatnya. Segera ia alihkan dengan lanjut membaca, berusaha fokus meski detak jantungnya tiba-tiba terasa dua kali lebih cepat.
"Kamu benar tidak tahu? Mitos ini cukup terkenal di Kanada. Kamu selama ini tinggal di Asia, ya?" ejek Radi, terkekeh. Bibir Ellena mengerucut. "Kamu lupa? Aku ini pasien amnesia," tegasnya. Mengucapkan penuh penekanan di setiap kata.
"Oh, benar juga." Senyum Radi belum juga memudar, menambah dua kali lipat manis di wajahnya yang mulus tanpa bekas jerawat sedikit pun.
"Kalau daun maple jatuh di kepala orang yang sedang sendirian di musim gugur, dipercaya daun itu akan mengabulkan permohonannya," lanjut Radi.
Gadis itu mendelik. Lagi-lagi fokusnya terganggu. "Benarkah?"
Radi mengangguk cepat.
"Kalau begitu, aku akan duduk di sini setiap hari selama musim gugur. Kalau satu hari satu daun jatuh di kepalaku, semua permohonanku akan terkabul!" seru Ellena.
Kali ini pria itu terbahak. "Tidak semudah itu, Ellena. Daun maple ini punya kemudinya. Saat akan mendarat di kepalamu, bisa saja tiba-tiba berbelok."
Ellena refleks memukul orang yang baru saja mengejeknya. Ia lupa bahwa sentuhannya menembus tubuh pria itu. Seketika hening, suasana canggung menguasai tempat itu. Hanya suara kicauan burung yang masih terdengar.
"Maaf," lirih Ellena.
Radi menoleh. "Tidak apa-apa. Aku juga belum terbiasa dengan ini."
"Belum terbiasa? Kamu meninggal belum lama?" tanya gadis itu.
Sosok itu terdiam, memandang lurus jauh ke depan, ke arah danau yang tenang. Namun, di balik ketenangan yang terlihat, danau itu cukup dalam dan gelap di bawahnya. Banyak sulur-sulur tanaman yang siap menarik siapa pun yang terjebak di sana.
Ellena merasa telah bertanya terlalu pribadi. Dengan tidak menjawab, mungkin saja Radi tidak ingin mengungkitnya lagi. Ellena tidak ingin melihat senyum teman barunya itu meredup, berganti menjadi ratapan kesedihan yang menyakitkan bagi hatinya.
"Pokoknya, Ellena, jangan pernah pergi ke sini sendirian tanpaku." Mendadak ekspresi Radi terlihat serius saat mengatakannya.
Ellena mengangguk. Tiba-tiba gadis itu teringat akan permohonan yang ia ucapkan saat menggenggam daun maple jingga kemerahan yang sempat jatuh di kepalanya, sekitar satu minggu lalu—di tempat yang sama.
Saat itu ia hanya minta petunjuk mengenai daun tersebut, daun maple yang membuatnya merasa tidak asing dengan hidup barunya. Lalu, ia melihat Radi. Apakah itu jawaban dari permohonannya? Bukankah itu hanya mitos? Jika benar, seinstan itukah cara kerjanya?
Lalu, apa hubungannya dengan Radi?