"Dokter George!" teriak seseorang yang menerobos masuk ruangan yang tidak terlalu besar di ujung koridor rumah sakit.
Orang yang dipanggil pun tersentak kaget, membanting ponsel yang sedang dipegangnya ke meja. Refleks satu tangannya menurunkan kacamata tebal yang ia kenakan dan membiarkannya menggantung di hidung, lalu melirik sosok yang masuk tanpa permisi barusan.
"Ellena Delwyn. Kenapa kamu seperti orang yang baru saja melihat hantu? Kalau tiba-tiba saya terkena serangan jantung bagaimana?" protes sang dokter.
S
egera gadis itu menarik kursi dan duduk di hadapan Dokter George. "Benar, Dok. Bagaimana Dokter bisa tahu?"
Pria berjubah putih itu mengerutkan alis. "Apanya yang benar?"
"Itu .... "
Ellena menarik napas panjang, lalu tergesa-gesa mengembuskannya. Ia berusaha mengatur napas yang berderu sebab berlari sekencang mungkin ke tempat itu. Bulir-bulir keringat menumpuk di pelipis.
Dokter George masih menunggu gadis itu melanjutkan kalimatnya.
"Aku melihat hantu!" seru Ellena.
Pria paruh baya itu menyandarkan punggungnya ke belakang, mencerna ucapan gadis yang juga merupakan pasiennya.
"Di TV?"
Ellena menggeleng.
"
Kamu habis mimpi buruk?"
"Bukan, Dok." Gadis bersurai panjang itu menelan saliva. "Aku lihat dengan mataku sendiri! Di rumahku!"
Ellena langsung menceritakan detail kejadian yang baru saja dialami kepada sang dokter. Sesekali ia menyeka keringat di dahi.
"Kau sempat memberi tahu orang tuamu?" tanya Dokter George.
Ellena menggeleng cepat. "Papa sedang bekerja, dan Mama tidak ada di rumah. Aku segera berlari ke sini! Lihat, tanganku masih gemetaran." Ia mengangkat kedua tangannya yang bergetar.
Dokter itu mengangguk. "Kamu minum obat yang kuberikan sesuai takaran, kan?" Dokter George tampak sedang berpikir saat Ellena meminta penjelasan.
Gadis itu mengangguk.
"Apa dosisnya terlalu tinggi bagi tubuhmu? Bisa saja kamu berhalusinasi," terangnya.
"Halusinasi?" tanya Ellena memastikan.
Ia mendengkus kasar. Kepalanya kini tertunduk pada ubin putih marmer di bawah kakinya. Mungkinkah Ellena memang berhalusinasi seperti yang dokter itu katakan? Namun, mengapa rasanya begitu nyata?
Ellena berusaha memercayai dokter yang telah merawatnya selama tiga musim tersebut. Kepalanya terus meyakinkan hatinya bahwa ia memang hanya berhalusinasi. Setelah minum obat yang baru saja diresepkan ulang, ia merasa lebih tenang. Gadis itu lega karena sosok tadi sudah tidak terlihat di rumahnya.
Satu minggu berlalu. Ellena belum juga menceritakan apa pun pada orang tuanya. Baginya, orang yang selama ini ia panggil dengan sebutan Papa dan Mama itu tidaklah terasa seperti orang tuanya. Benar yang dikatakan Dokter George. Kemarin pasti ia hanya berhalusinasi. Membayangkan sosok pria ganteng yang akan menjadi temannya. Lagi pula, mana ada hantu di siang bolong.
Ellena tertawa geli, mentertawai dirinya sendiri. Namun, mengapa jauh dalam hatinya ada rasa kecewa? Yang benar saja.
Selama itu Ellena sempat melupakan rasa penasarannya pada daun maple. Yakin sudah merasa aman, Ellena kembali ke tepi danau, tempat di mana sebuah pohon maple besar berdiri kokoh. Hatinya merasa nyaman di sana.
Hari cukup cerah. Burung-burung gereja tampak sedang minum di tepi danau, membuat gelombang-gelombang kecil pada permukaan air. Beberapa saling bersiul, entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Setiap kali Ellena melangkah, satu per satu burung itu terbang menjauh. Gadis itu menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh sudut tempat itu. Hatinya seolah menyuruhnya untuk menunggu. Namun, siapa yang harus ia tunggu? Tiba-tiba Ellena merasa rindu, entah pada siapa.
Perasaannya selalu lebih tenang setiap kembali dari tempat itu, siap bersandiwara lagi, memerankan seorang putri tunggal dari sebuah keluarga yang ia sendiri tidak ingat. Ia menarik napas dalam sebelum membuka kenop pintu.
"Kamu dari mana, Ellena?"
Tiba-tiba terlihat sosok yang familier keluar menembus pintu, berdiri tepat di samping Ellena. Gadis itu mengucek kedua mata, memastikan sosok itu bukanlah halusinasi.
Ellena terperangah, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin? Obat yang diresepkan sudah ia minum tepat waktu sesuai petunjuk Dokter George. Tidak mungkin jika ia sampai berhalusinasi lagi.
Pria itu tersenyum hingga masing-masing matanya membentuk setengah lingkaran. Senyumnya yang manis sempat mengalihkan dunia Ellena sesaat, sebelum otaknya memberi perintah untuk segera tersadar.
"Ka-kamu lagi?" tanya Ellena sambil melangkahmundur.