"Del."
Della menoleh pada Aira yang memanggilnya.
"Iya, kenapa?"
Aira terdiam, berpikir sejenak, "Lena sama Nayra beli apa di kantin?"
"Beli cemilan gitu." Jawab Della.
"Owalah, ada-ada aja mereka," timpal Aira yang diikuti kekehan Della.
Kini, mereka sudah berada di sekolah. Masih pagi, jadi belum terlalu ramai. Oleh karena itu, Nayra dan Lena memutuskan untuk membeli makanan sekarang. Agar tidak kehabisan, katanya.
"Aira, Della!"
Aira dan Della kompak menoleh ke sumber suara.
"Kenapa, Ka?"
Azka mengatur nafasnya sejenak. Lantas menjawab pertanyaan Della, "Gak apa-apa sih. Cuma nyari teman aja."
Della mengerutkan dahinya.
"Ryan?"
"Belum datang dia. Gak ada sejarah Ryan datang sepagi ini."
Bukan. Bukan Azka yang menjawab. Melainkan Aira.
Kini, giliran Azka yang mengerutkan dahinya, "Kok tahu?"
"Ryan mah emang gitu dari dulu." Balas Aira yang diikuti anggukan mengerti dari Azka.
"Hmm, Ra."
Sontak, Aira menoleh pada Azka yang memanggilnya.
"Kamu sama Ryan ada hubungan apa? Kok dekat banget?"
Aira menghela nafas mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Azka.
"Cuma sahabatan aja sih, tapi Ryan itu sudah aku anggap abang sendiri, makanya aku gak jaim sama dia." terang Aira.
Azka mengangguk-anggukan kepalanya. Dua menit kemudian, diisi oleh keheningan. Hingga akhirnya, Aira menyadari sesuatu.
Hey, sepertinya ada yang tidak beres dari Della.
"Del, kamu kenapa?" Aira bertanya kepada Della yang sedari tadi menundukkan kepalanya.
"Del?"
"Suruh Azka pergi dulu." gumam Della dengan suara yang bergetar.
Aira mengerti keadaannya sekarang. Ia pun meminta Azka agar memberikannya waktu berdua dengan Della. Untung saja Azka yang sudah tahu situasinya segera menyanggupi permintaan Aira.
"Azka sudah pergi, Del. Kamu bisa cerita sekarang." Ucap Aira dengan nada yang sanggup menenangkan Della.
Perlahan, Della menengadahkan kepalanya.
"Aku hanya teringat kejadian beberapa tahun lalu, Ra. Walaupun semuanya sudah berakhir, tapi luka itu masih ada."
Aira tetap diam, ia menyimak semua keluhan Della yang selama ini ia pendam.
"Aku gak pernah mau mengingat kejadian itu lagi, tapi mau gimana, Ra? Di otak ku selalu terbayang kejadian dimana papa ku minta cerai ke mama ku. aku-aku..." Della kembali menelungkupkan wajahnya. Ia tidak sanggung melanjutkan perkataannya.
Aira mengusap punggung sahabatnya itu, memberi kekuatan pada Della yang kini sedang dalam kondisi yang sangat rapuh.
"Sudah-sudah, aku ngerti kok gimana perasaan kamu. Nangis aja Del, luapin semua yang kamu pendam sekarang."
Aira memutuskan menarik Della ke dala dekapannya. Ia membiarkan Della menangis di pundaknya.
Tidak mengapa, asalkan Della dapat merasa tenang kembali, itu bukan masalah bagi Aira.
Aira teringat kejadian dimana ia melihat Della sangat rapuh untuk yang pertama kalinya.
Flashback On-
"Della, mama sudah ngirim novel yang kamu minta kemarin ya, jaga diri baik baik ya, sayang."
Della terdiam sembari menatap paket kiriman mamanya yang sekarang sedang ia genggam.
"Mama kapan pulang?"
Di seberang sana, mama Della menghela nafas.
"Mama kan sudah bilang, mama pulang bulan depan. Mama masih ada kerjaan, Della."
"Tapi kan Della butuh mama sekarang. Sebentar lagi Della masuk SMP loh, mah."
"Della! Kamu jangan menghakimi mama. Mama disini kerja buat kamu, buat masa depan kamu. Paham?"
Della tidak menjawab, ia sibuk menahan tangisnya agar tidak didengar oleh mamanya.
"Sudah dulu ya, sayang. Dadah"
Della menurunkan handphone dari telinganya secara perlahan.
Tangisnya pecah saat itu juga.
Della tidak bisa lagi menahan rasa sesak yang sedari tadi menghujam dadanya.
Ia duduk tersungkur di lantai dengan tangis yang tidak ia tahan.
Lagipula, di rumah sedang tidak ada siapa-siapa selain dirinya, begitu pikir Della.
Namun, Della melupakan sesuatu.
Della lupa mengunci pintu depan sehingga teman dekatnya yang memang sudah berencana datang ke rumah Della,
mengetahui apa yang terjadi dengan Della saat itu.
"Del."
Della tersentak.
Ia mendongakkan kepalanya, melihat siapa yang memanggilnya.
"Nangis aja, Del. Luapin semua yang kamu pendam sekarang."
Tangis Della semakin pecah.
Sesekali ia mengeluh tentang orang tuanya uang selalu menginginkan Della menjadi yang terbaik dalam semua bidang. Padahal, mereka sangat jarang mempunyai waktu untuk anak-anaknya.
Aira memeluk Della erat. Ia mengelus pundak gadis itu, mencoba memberi kekuatan.
Perlahan, tangis Della mulai reda. Ia melepaskan pelukannya, lalu menghapus sisa air matanya dengan gusar.
Sungguh, Della tidak ingin menangis seperti ini. Namun, hatinya sudah terlalu sering dilukai.
"Gimana? Sudah tenang?"
Della menatap Aira penuh makna. Kemudian ia mengangguk sembari tersenyum.
"Makasih ya."
"Itu bukan masalah buat aku, Del. Panggil aku kalau kamu butuh seseorang untuk dijadikan sandaran ya."
Della mengangguk sembari memeluk Aira sebagai tanda terima kasih.
"Sayang kamu."
Flashback Off-
***
"Nay."
Nayra tidak menjawab. Ia memilih fokus pada aktivitasnya.
"Nay!"
"Eh, iya, Len?"
Lena menghela nafas. Ia melirik buku Nayra yang berada di hadapan sahabatnya itu.
"VN? Siapa tuh?" tanya Lena setelah membaca tulisan yang terdapat di buku Nayra.
'Nay <3 VN', begitulah tulisannya.
"Hmm..." Nayra tampak ragu menjawabnya.
"Siapa?" tanya Lena sekali lagi.
"Bang Gavin." Jawab Nayra dengan nada yang terdengar malu-malu.
Lena yang mendengarnya tergelak. Sahabatnya yang satu ini memang menyukai kakak tingkat mereka, ternyata.
"Nayra, Nayra." gumam Lena. Sementara Nayra hanya terkekeh mendengarnya.
"Jefan gimana kabarnya, Len?"
Lena berpikir sejenak, "Baik-baik saja kok."
Nayra mengangguk-anggukan kepalanya.
"Kenapa emang?" tanya Lena.
"Gak apa-apa sih, basa-basi aja."
Lena hanya mengiyakan alasan klasik dari Nayra.
Nayra melanjutkan menulis di bukunya, sementara Lena kembali bermain dengan handphonenya.
"Len."
"Hmm?" jawab Lena tanpa mengalihkan pandangannya.
"Jefan ganteng juga ya ternyata."
"Hah? Maksud kamu?"
Kini, Nayra menatap Lena yang sedang menatapnya penuh selidik, "Gak ada maksud apa-apa kok, Len. Aku cuma bilang aja."
"Kamu suka Jefan?" pertanyaan Lena sukses membuat Nayra tercengang.
"Ya enggaklah, Len! Kan kamu tau kalau aku sukanya sama bang Gavin."
Lena hanya memutar bola matanya malas.
***
"Gimana, Ra? Udah?" tanya Ryan begitu melihat Aira mendatangi meja kantin yang sedang didudukinya.
"Udah kok." balas Aira sembari menduduki kursi di hadapan Ryan.
"Nih."
Aira menatap Ryan yang sedang menyodorkan segelas es teh ke hadapannya.
"Aku tau kamu lelah."
Perlahan, sebuah senyuman terbentuk di wajah Aira.
"Ululuu, sahabatku yang satu ini perhatian banget sih," ledeknya.
Sementara yang diledek hanya terkekeh mendengarnya.
"By the way, tadi apa kata abang-abangnya pas kamu ngumpulin tugasnya?"
Aira terdiam sejenak, ia menyeruput es teh yang tadi diberikan oleh Ryan.
"Awalnya sok galak gitu, tapi ketika melihat tugas kita yang terselesaikan dengan baik, mereka langung berubah jadi ramah banget." cerita Aira antusias.
"Mereka gak tahu aja gimana kerja keras kita buat melaksanakan tugasnya." komentar Ryan berhasil mengundang anggukan setuju dari Aira.
"Oh iya, Della dan Azka dimana?" tanya Aira begitu menyadari kedua temannya itu sudah tidak berada di posisi semula.
"Tadi saat kamu ngumpulin tugas, Azka ngajak Della ke taman." Ryan memberitahu Aira seraya menunjuk taman sekolah yang tidak jauh dari kantin.
"Owalah, kirain kemana." gumam Aira.
Aneh, kenapa Aira tidak merasa sakit hati ketika mendengar informasi tadi?
Bukankah selama ini ketika ia mendengar nama 'Azka' saja hatinya langsung bereaksi?
Apa yang salah dengan dirinya?