"Ngapain disini, bang?" tanya Lena begitu melihat tamu yang datang.
"Della nya ada? Aku cuma mau memberikan ini," Ucap Alvin sembari menyodorkan paper bag.
Lena menatap Aira. Mengisyaratkan agar ia memanggil Della. Aira menurut. Ia masuk ke rumah, berniat memanggil Della.
"Kalian berempat aja dirumah?" tanya Alvin basa-basi.
Lena melirik sebentar ke belakangnya, "Iya bang, kakak kami masih ada tugas. Jadi belum pulang."
Alvin manggut-manggut paham. Lantas duduk di kursi yang disediakan di teras rumah mereka.
"Cari saya ya, bang?"
Alvin sontak berdiri ketika mendengar suara yang sangat ia kenali itu. Terlihat Della yang mengenakan baju santai, namun dengan wajah bermakeup yang membuatnya terlihat semakin cantik.
"Eh, iya Del. Ini, buat kamu. Dimakan ya," ucap Alvin seraya menyodorkan paper bag tersebut ke Della.
Della menerimanya dengan kaku. Ia ingin sekali lari ke kamar mandi dan menghapus semua makeup yang sangat mengganggunya ini.
"Makasih, bang."
Alvin tersenyum.
"Ya udah, aku pulang dulu ya," pamit Alvin yang diikuti anggukan dari ketiga gadis itu.
"Hati-hati." ucap Aira.
Sesaat kemudian, motor Alvin sudah melaju. Bergabung dengan kendaraan lainnya di jalan raya.
Ketiga sahabat itu pun kembali ke dalam rumah mereka.
Plak!
Nayra melototkan matanya ketika Della dengan sengaja memukul lengannya dengan kasar.
"Kenapa sih, Del?"
"Gara-gara kamu tuh, bang Alvin jadi ngeliat wajahku pakai make up gini kan," rengek Della sembari menatap sinis ke arah Nayra.
Nayra terkekeh ketika mendengar alasan Della. "Ya maaf, Del. Kan aku gak tahu bang Alvin bakal datang."
"Jadi waktu itu kamu cerita-cerita sama dia?"
Nayra dan Della menoleh ketika mendengar suara Lena sedang bertanya kepada Aira.
"Ya gitu, Len. Dia semacam curhat kan sama aku, mungkin itu yang bikin dia kebawa suasana," ungkap Aira.
Nayra menatap Della dengan tatapan penuh tanda tanya.
Mereka sudah akur?
Della mengangkat bahunya tanda tak tahu. Ia memang tak tahu sejak kapan kedua sahabatnya ini mulai bercengkrama.
"Maaf ya Len, aku gak maksud buat kamu cemburu," lirih Aira sembari menunduk.
Lena tersenyum penuh arti. Tangannya memegang bahu Aira erat.
"Ra, liat mataku," suruh Lena.
Aira mengangkat kepalanya, lantas menatap mata Lena.
"Kamu gak perlu minta maaf. Aku kok yang salah, terlalu posesif sama Jefan. Suka negatif thinking ke dia. Tapi kamu tau apa kesalahan terbesarku?"
Aira yang sedari tadi mendengarkan, menggeleng pelan.
"Kesalahan terbesar ku itu sudah curiga sama sahabatku sendiri."
Aira tertegun mendengar pernyataan Lena. Begitupun Nayra dan Della yang sedari tadi menyimak percakapan kedua sahabatnya itu.
"Maaf ya," pinta Lena.
Aira tersenyum, meraih tangan Lena yang memegang pundaknya. Lantas menggenggam tangan sahabatnya.
"Nggak apa apa kok, Len. aku ngerti posisi kamu. Sekarang, kita lupain masalah ini ya? Aku nggak mau canggung sama kamu gara-gara ini."
Lena menggangguk mantap.
"Yey, akur!" sorak Nayra sembari memeluk Lena dan Aira.
Begitupun Della. Ia beranjak dari tempat duduknya, lantas bergabung dengan ketiga sahabatnya.
***
"Lena mana, Nay?"
Nayra menolehkan kepalanya ke arah Ryan yang baru saja bertanya kepadanya.
"Lagi ke kamar mandi, Yan. Kenapa memangnya?"
"Nanya aja kok. Kan kalian sama-sama terus dari kemaren," kekeh Ryan menjawab keheranan Nayra.
Sementara Aira hanya menunjukkan cengirannya.
"Oh ya, Nay."
Nayra yang semula sudah membaca bukunya kembali, menolehkan kepalanya untuk kedua kalinya ke arah Ryan.
"Kenapa lagi?"
"Aira sama Raka ada hubungan apa, sih?"
Pertanyaan Nayra sontak membuat Nayra menyerngitkan dahinya. "Apa urusannya sama kamu?"
Ryan menghela nafas. "Sejak dekat sama Raka, aku jarang main lagi sama Aira."
Nayra tertegun mendengar pengakuan Ryan.
"Aku tahu Aira nggak mungkin berniat seperti itu, Yan. Mungkin dia lagi kebawa suasana aja sama Raka. Nanti kalian akan dekat lagi kok. Kasih dia waktu dulu, ya," ujar Nayra yang membuat Ryan berpikir.
"Tapi, Nay, aku rindu dia yang dulu."
Lagi-lagi, ucapan Ryan membuat Nayra terdiam. Hati kecilnya membenari perkataan teman laki-lakinya ini. Sejak mengenal Raka, Aira mulai jarang bermain dengan Ryan. Hanya sekadar menyapa saja.
"Iya, aku paham. Tapi Yan, Aira sekarang sedang menemukan seseorang yang bisa membuat dia lupa akan masa lalunya, aku yakin kamu pasti tahu siapa yang aku maksud. Tolong ya, pahami Aira dulu," ucap Nayra.
Ryan menatap lantai dibawahnya. "Oke. Akan ku coba."
Nayra yang mendengarnya, tersenyum. Ia lantas mengancungkan jempol untuk temannya ini. "Nanti aku ngomong deh ke Aira tentang ini, kamu tenang saja."
"Makasih, Nay."
Nayra mengangguk.
"Sejak kapan kamu kalem gini, Nay?"
Nayra tersenyum simpul. "Aku memang kalem kok sebenarnya, tapi aku suka aja melihat sahabatku bahagia dengan tingkah pecicilanku," kekehnya.
"Sungguh mulia niatmu, nak," gurau Ryan yang mengundang lemparan pulpen dari Nayra.
"Ih! Dasar."
***
"Permisi."
Sontak, semua murid yang sedang bercanda gurau di kelas Aira menoleh ke ambang pintu.
Della menatap Aira dengan tatapan penuh tanda tanya, seakan bertanya 'Bang Gavin ngapain ke sini?'
Sementara Aira hanya mengangkat bahunya, tanda tidak tahu.
Aira dan Della sontak memutuskan kontak mata mereka, ketika Fiona bangkit dari posisinya. Lantas berjalan ke arah pintu dengan sedikit tergesa-gesa. Begitu Fiona tiba di hadapan Gavin, gadis itu segera menarik tangan Gavin untuk menjauhi kelasnya.
"Kenapa nih, bang?" tanya Fiona ketika mereka sudah berada di taman.
"Ke kelas aku dulu, yuk! Ada yang mau aku kasih ke kamu," ajak Gavin dengan senyumannya.
Fiona melirik jam tangannya sekilas. Lantas mengangguk mentap, menyetujui ajakan Gavin. Melihat respon Fiona, Gavin segera menggenggam tangan gadis kecilnya ini. Mengajaknya berjalan menuju kelasnya.
Tidak butuh waktu lama, hanya 5 menit, Fiona dan Gavin susah tiba di depan kelas Gavin. Namun, bagi Fiona, waktu berjalan sengat lama. Karena sepanjang perjalanan, mereka berdua mendapat tatapan heran dari siswa-siswi yang melihatnya. Dan jujur, itu membuat Fiona menjadi risih.
"Tunggu bentar, ya," pamit Gavin sebelum memasuki kelasnya.
Fiona mengangguk kecil sembari tersenyum. sembari menunggu Gavin, Fiona duduk di salah satu kursi panjang yang berada tak jauh dari kelas sahabat laki-lakinya itu.
"Hey."
Fiona seketika menoleh. Wajahnya antusias. Ia kira, Gavin yang memanggilnya. Namun, dugaannya salah. Wajahnya seketika berubah menjadi datar ketika melihat beberapa kakak kelasnya mendatanginya.
"Ada apa ya, kak?" tanya Fiona
Ketiga kakak kelas Fiona duduk di kursi yang sama dengan kursi yang diduduki Fiona.
"Nggak apa-apa, Cuma mau tanya-tanya aja sama kamu." Jawab salah satu diantaranya.
"Tentang bang Gavin, ya?" tebak Fiona.
Kedua kakak kelasnya itu mengangguk. Sementara satunya tersenyum penuh arti.
"Gavin dekat ya sama kamu?"
Fiona menatap kakak kelasnya ini curiga. "Lumayan, memang ada urusan apa sama kakak?"
Salah satu kakak kelasnya ini mendelik, "Santai aja dong, Fio. Kami bukan mau ngelabrak seperti di aplikasi orange itu, kok," ucapnya dengan tawa hambar.
"Kamu ngapain, Lis?"
Salah satu kakak kelas yang berada di samping Fiona ini menoleh ketika mendengar ada yang menyebut namanya.
"Eh, Vin, Cuma ngobrol bentar ama Fiona," kekehnya.
Fiona menatap Gavin dengan wajah berseri.
"Ikut aku dulu yuk, Fio," ajak Gavin yang seketika disambut anggukan dari Fiona.
Sedetik kemudian, mereka berdua sudah berjalan meninggalkan Lisa dan teman-temannya.
"Gimana? Mau rebut Gavin, Lis?"
Lisa tersenyum penuh arti. "Bakal susah nih, nanti deh aku pikirin. Cowok bukan Cuma Gavin doang kan?"