"Ka."
Azka menoleh ketika mendengar namanya disebut. "Iya, Del?"
Della menatap Azka sebentar, lantas menghela nafas.
"Kamu dulu tahu kan, kalau Aira ada rasa sama kamu?" Pertanyaan Della seketika membuat Azka tertegun.
"Iya, aku tahu," sahut Azka beberapa detik terdiam.
"Lalu, kenapa kamu bertingkah seolah tidak tahu apa-apa?"
Sungguh, Della tidak berniat untuk memojokkan Azka. Ia hanya ingin menanyakan pertanyaan yang selama ini selalu dipertanyakan oleh Aira.
Lagi-lagi, Azka terdiam. Bukannya ia tidak ingin menjawabnya, namun ia baru sadar bahwa Aira terluka dengan perlakuannya.
"Aku nggak tahu harus bagaimana jika aku tidak bertingkah seolah aku nggak tahu. Aku nggak ada perasaan sama dia, haruskah aku memperlakukan dia seolah aku mempunyai perasaan yang sama? Bukan kah itu sama saja memberikan harapan?"
Pembelaan Azka sukses menampar Della. Hati kecil Della membenarkan apa yang dilakukan Azka. Namun, mengingat sahabatnya sering uring-uringan mengenai hal ini, membuat Della tidak menyetujui perlakuan Azka.
"Tapi jangan gitu dong, Ka. Kamu nggak kasian sama Aira?"
"Daripada aku memberi harapan tidak pasti? Lagipula saat ini Aira sudah tak ada rasa denganku, mengapa kamu masih mempermasalahkan? Sudahlah, Del. Tidak usah dipikirkan."
Della benar-benar tidak habis fikir dengan temannya yang terlampau santai ini, tidak kah dia mengerti bahwa mereka saat ini sedang membahas 'perasaan'?
Azka menatap Della sejenak, namun pandangannya beralih ke arah pintu ketika mendengar sebuah suara langkah kaki di sekitar pintu kelasnya. Melihat Azka mengalihkan pandangannya, Della ikut menolehkan kepalanya. Betapa terkejutnya Della ketika melihat sosok Aira sedang berdiri mematung di depan pintu. Sejenak kemudian, Aira segera berlari meninggalkan kelasnya. Menyisakan Della dan Azka yang tak bisa berkata-kata.
"Aira!" Tanpa berpikir dua kali, Della segera berlari mengejar Aira. Tidak peduli bahwa bel masuk sebentar lagi akan dibunyikan.
Sekitar dua menit mencari, Della tak menemukan Aira dimana-mana. Della segera berlari menuju kelas sahabatnya yang lain, 10 IPS 1.
***
Disinilah Aira berada. Rooftop gedung sekolah mereka. Aira ingin menenangkan hatinya sejenak, sebelum akhirnya kembali kekelas dan bertemu dengan Azka.
Sebenarnya yang dikatakan Azka memang benar. Dirinya sudah melupakan rasa yang dulu pernah meluap terhadap temannya itu. Namun, mengetahui bahwa Azka sama sekali tidak merasa bersalah terhadapnya, membuat hatinya sakit.
'Jadi, nangis aku kemaren itu, nggak ada artinya buat dia?' batinnya.
Tak terasa, air mata Aira jatuh perlahan. Namun, ia segera menyeka air matanya ketika mendengar suara deret pintu yang dibuka. Reflek, Aira menoleh kebelakang.
"Ra...."
Melihat siapa yang datang, Aira hanya terdiam. Tidak berniat untuk beranjak dari posisinya. Orang itu mendekati Aira. Mengambil posisi tepat di sebelah sahabatnya ini.
"Kok tahu aku disini?" tanya Aira dengan suara bergetar. Tidak ingin orang yang disampingnya ini mengetahui keadannya sekarang.
"Aku mah tahu kamu gimana, Ra. Kalau lagi keadaan seperti ini, pasti mau menyendiri kan? Menghindar dari keramaian."
Perkataan lelaki tersebut berhasil membuat Aira tersenyum. "Makasih, Yan."
Ryan menatap Aira gemas. Lantas meraih kepala Aira untuk disenderkan di pundaknya. "Kalau mau nangis, nggak apa-apa kok. Nggak ada larangan untuk 'tidak baik-baik saja'. Oke?"
Aira mengangguk kecil ketika mendengar ucapan Ryan. Ia menutup matanya sejenak. menikmati angin yang berhembus mengenai wajahnya.
"Kita sudah lama nggak gini, ya?" timpal Aira yang membuat Ryan melirik ke arah sahabatnya ini.
"Kamu baru nyadar, ya? Sejak kamu dekat sama Raka, kita jadi jarang gini."
Jawaban Ryan sontak membuat Aira mengangkat kepalanya. Menatap intens ke arah Ryan. "Kamu merasa tersingkirkan ya? Maaf, Yan. Aku nggak maksud gitu," lirihnya.
Ryan tersenyum penuh arti. Lantas mengacak rambut Aira gemas.
"Iya, aku tahu. Aku ngerti kok. Sekarang kita ke kelas yuk! Udah bel masuk," ajak Ryan.
Aira berpikir sejenak. Lantas mengangguk ragu. Ryan akhirnya menggenggam tangan Aira, lantas menariknya untuk turun dari Rooftop.
***
"Ra, kamu nggak apa-apa?" tanya Della khawatir. Ada sebersit ketakutan di dalam hatinya. Bagaimana kalau Aira membenci dirinya?
"Nggak apa-apa kok, Del." Jawab Aira dengan senyum terpaksanya. Della yang mendengar jawaban Aira sedikit menghela nafas lega.
Beberapa menit lalu, Ryan datang ke kelas mereka dengan Aira dibelakangnya. Sontak, Della, Nayra, dan Lena segera memeluknya. Ada beberapa pertanyaan yang ingin ia ajukan ke Ryan, namun bel masuk menghalanginya.
"Hmm, Ra."
Lagi-lagi, Aira menoleh ke arah Della yang berada di sampingnya. Sambil sesekali melirik ke arah papan tulis, melihat pelajaran yang sedang diterangkan oleh guru Matematika.
"Maaf ya," lirih Della. Sungguh, ia sangat merasa bersalah. Seandainya saja Della tidak menanyakan hal itu kepada Azka. Seandainya saja ia....
Ah, sudahlah. Menyesal tidak ada artinya. Tugasnya sekarang hanya satu. Menghibur sahabatnya itu.
"Iya, nggak masalah kok," jawab Aira kemudian.
"Tapi, Del..."
Della terdiam, menunggu kelanjutan perkataan Aira.
"Yang dikatakan Azka benar kok, aku sudah nggak mempermasalahkan hal itu. Untuk apa kamu menanyakan itu?"
Della tertegun mendengar pertanyaan Aira. Dirinya juga heran dengan sikapnya tadi. Untuk apa ia menanyakan sesuatu yang sudah bukan menjadi suatu masalah?
"Maaf, Ra. Aku nggak tahu kalau jawabannya seperti itu." balas Della sembari menundukkan kepalanya. Ia tidak sanggup menatap pandangan sayu dari Aira.
Aira tersenyum tipis melihat respon sahabatnya. "Terkadang, nggak semua masalah bisa diselesaikan dengan permohonan maaf. Ada beberapa masalah yang diselesaikan oleh waktu. Let it flow aja, Del. Lain kali jangan gitu ya?"
Della mengangkat kepalanya, lantas mengangguk mantap. Sesaat kemudian, mereka kembali memperhatikan pelajaran. Tanpa sadar ada yang mendengarkan pembicaraan mereka dari belakang.
'Maaf, Ra..'
***
"Jef, boleh minta tolong?"
Jefan menoleh ke arah Naomi yang menghampirinya. "Minta tolong apa, Sha?"
Naomi terdiam sebentar. Barulah ia ingat dengan panggilan Jefan untuknya, Reysha.
"Tadi kan ada PR tuh, bantuin aku kerjain dong, mau ya?" bujuk Naomi.
Jefan berpikir sejenak. Seharusnya, saat ini ia menjemput Lena, mengantarkan gadis itu pulang. Namun sepertinya, rencananya harus dibatalkan. Lagipula ini kegiatan yang positif, tidak mengapa bagi Jefan.
"Aku kabari Raka dulu ya, harusnya kami ke sekolah teman kami sekarang, tapi karena kamu ngajak ngerjain PR bareng, jadinya aku nggak bisa bareng Raka," terang Jefan yang membuat Naomi sedikit merasa bersalah.
"Kalau kamu ada janji. Nggak apa-apa kok, Jef. Aku kerjain sendiri aja," ucap Naomi tidak enak.
Jefan menggeleng. "Nggak apa-apa, kok. Sekali-kali lah, Sha. Lagian Raka juga pasti nggak masalah," tutur Jefan menenangkan.
Naomi akhirnya tersenyum. "Makasih."
"Jef! Jadi kan kita?" seru Raka tiba-tiba.
Sontak, Jefan menoleh ke arah Raka yang berada di belakangnya. Ia melirik Naomi yang sedang tersenyum canggung.
"Aduh, maaf ya, Rak. Aku mau ngerjain PR bareng sama Naomi. Kalau kamu mau ke sekolah Aira sendiri nggak apa-apa deh."
Raka menatap Jefan kesal setelah mendengar perkataan sahabatnya. Namun akhirnya, ia membiarkan Jefan mengerjakan PR bersama Naomi. Dan dirinya tetap ke sekolah Aira, SMA Zalicsa.
"Hati-hati, Rak," ucap Naomi begitu Raka pamit kepada mereka berdua. Raka melambaikan tangannya, sebagai respon atas ucapan Naomi.
Butuh sekitar 6 menit perjalanan bagi Raka untuk tiba di sekolah gadis yang akhir-akhir ini menyita perhatiannya. Suatu keuntungan untuk Raka ketika melihat Aira dan ketiga sahabatnya berada di gerbang depan sekolah.
Namun, sepertinya ada yang aneh. Aira tidak bergabung dengan Lena, Della, dan Nayra. Melainkan dengan sahabat laki-lakinya, Ryan. Tampak Aira menaiki motor yang Ryan kendarai, dan akhirnya mereka berdua pergi meninggalkan yang lainnya.
Karena penasaran, Raka akhirnya mendekati Lena, Della dan Nayra.
"Loh, Raka? Ngapain disini?" tanya Nayra begitu melihat Raka melepaskan helmnya.
"Aira mana?"
Seketika sebuah senyuman menghiasi wajah ketiga gadis itu.
"Jadi kamu kesini hanya untuk cari Aira?" Della mecoba memastikan.
Raka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung harus menjawab apa.
"Dia barusan pergi sama Ryan, nggak tahu sih kemana, tapi sepertinya nggak langsung pulang," tutur Lena menjelaskan.
Raka manggut-manggut paham. Akhirnya ia memakai helmnya kembali. "Aku duluan ya, makasih infonya," pamitnya.
Lena menggangguk mengiyakan.
Satu menit kemudian, motor Raka sudah melaju di jalanan.
Kegia sahabat itu berbincang kembali. Namun, mata Nayra menangkap sesuatu.
"Itu bang Gavin bukan sih?" tanya Nayra memastikan.
Lena dan Della ikut-ikutan menoleh. Della menyipitkan matanya, berusaha mengenali seorang perempuan yang berada di motor Gavin.
"Itu kan..."
Lena dan Nayra mengalihkan kepalanya ke arah Della. Menunggu kelanjutan perkataannya.
"Itu Fiona."