Aira tetap menatap Lena dalam. Sementara yang ditatap hanya terdiam. Berusaha mengalihkan pandangannya.
"Len, jawab dong," bujuk Aira.
Lena masih terdiam, tidak berniat menggubris sahabatnya.
Aira putus asa. Sejak pagi, Lena terus mendiamkannya. Awalnya Aira hanya berpikir Lena hanya sedang badmood. Namun semakin lama terlihat jelas bahwa Lena sedang menghindarinya.
Aira mengalihkan pandangannya. Menatap sebuah bunga yang berada tak jauh darinya. Pikirannya sibuk memikirkan alasan Lena mendiamkannya.
"Halo, Len."
Aira dan Lena kompak menoleh sumber suara. Terlihat Jefan berjalan mendekati mereka.
"Hai, Ra."
Aira tersenyum. membalas sapaan Jefan. Sementara Lena segera bangkit. Menggenggam tangan Jefan. Lantas menariknya. Namun, baru dua langkah Lena berjalan, Jefan menahan tangannya. Menghentikan langkah gadis itu. Lena berbalik menatap Jefan datar. Seolah protes akan tindakan yang Jefan lakukan.
"Kamu belum pamit sama Aira," ucap Jefan yang membuat Lena jengah.
Lena melirik Aira sekilas, "Gak penting."
Aira yang masih dapat mendengar pembicaraan dua sejoli itu tertegun. Tidak menyangka akan sikap Lena yang berubah seratus delapan puluh derajat itu. Ia menatap Lena yang berjalan menjauh. Lantas mengalihkan pandangannya ke arah Jefan yang sedang menatapnya juga. Jefan mendekat sembari tersenyum.
"Ucapan Lena tadi gak usah masukin ke hati, ya," hibur Jefan ke Aira yang sedang tertunduk.
"Dia lagi gak mood aja, nanti juga baik lagi kok."
Aira mengangkat kepalanya. Menatap Jefan dengan tatapan sendu. "Tapi kenapa harus menghindar sih, Jef?"
Jefan menatap Aira dalam. Menghela nafas berat. Ia juga tak mengerti mengapa Lena tampak menjauhi Aira. Yang Jefan tahu, sikap Lena sebenarnya tidaklah benar. Namun begitulah Lena. Selalu membiarkan dirinya dikendalikan oleh mood.
"Kamu tenangin diri dulu, ya," saran Jefan yang diikuti anggukan dari Aira.
Jefan melirik handphonenya sekilas. Terdapat pesan dari Lena.
'Kamu dimana sih? Lama banget.'
Lagi-lagi, Jefan menghela nafas. Menatap Aira yang terdiam. Menenangkan diri.
"Aku duluan ya, Ra. Aku telponin Raka buat nemenin kamu, ya?" tawar Jefan.
Aira menggeleng cepat, "Gak usah Jef, aku gak apa-apa, kok."
Jefan tersenyum, lantas mengangguk mengerti.
"Aku duluan," pamit Jefan.
"Hati-hati."
Aira menatap punggung Jefan yang semakin lama semakin menjauh. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jalanan yang lumayan ramai. Kini ia memang sedang berada di taman kota. Aira sengaja mengajak Lena kesini untuk membahas masalah mereka. Nayra dan Della sedari tadiĀ sudah pulang ke rumah.
***
"Aku cerita-cerita sama Aira. Mungkin aku kebawa suasana terlalu akrab sama dia. Makanya, aku sampai post foto dia di akun aku. Kamu jangan childish gini dong."
Lena terpaku mendengar penjelasan Jefan. Senyum miring perlahan terbentuk di wajahnya.
"Childish? Kamu bilang aku childish? Aku cuma cemburu, Jef! Memangnya salah?" Lena tersulut emosi sekarang.
Jefan tergelak mendengar perkataan Lena. Setahunya, Lena tidak pernah merasa cemburu terhadap sahabatnya. Namun sekarang?
"Tapi, Len. kamu tahu kan, aku sama Aira itu cuma teman."
"Kita juga dulu teman, kan?"
Jefan tertegun, "Kamu curiga sama sahabat kamu sendiri, Len?"
Lena terdiam mendengar pertanyaan Jefan. Hati kecilnya memberontak atas rasa curiganya kepada sahabat baiknya itu. Lena menatap Jefan dalam. Mencari kebohongan di bola matanya. Namun, nihil.
"Len," panggil Jefan kepada Lena yang sedang menundukkan kepalanya.
"Hmm?"
Jefan tersenyum, lantas meraih tangan Lena. Lalu menggenggamnya erat.
"Kamu percaya kan sama aku?"
Lena terdiam, pikirannya kalang kabut. Haruskah ia percaya kepada Jefan? Haruskah ia terus curiga kepada Aira? Haruskah ia cemburu kepada mereka berdua?
Dua menit kemudian, diisi oleh keheningan. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dan satu hal yang Lena sadari, Jefan belum melepaskan genggamannya.
Hingga akhirnya, Lena bersuara.
"Aku selalu berusaha untuk percaya sama kamu. Tapi kamu ngapain pakai ngepost foto segala? Aku gak pernah tuh," sungutnya.
Senyuman kini tampak di wajah Jefan. Ia kini paham alasan utama kecemburuan gadisnya ini. "Jadi kamu mau dipost juga?"
Seketika Lena menoyor lengan Jefan.
"Ih! Bukan gitu, maksudku-"
Jepret.
Lena membulatkan bola matanya. Terkejut akan tingkah laku orang yang disayangnya ini.
"Jefan!"
Tawa Jefan meledak. Ia memperlihatkan foto yang baru saja ia dapatkan. Lena yang tidak terima segera bangkit dari duduknya. Berjalan mendekati lelaki itu. Lantas menyerangnya dengan pukulan yang bertubi-tubi.
"Oke-oke aku hapus. Tapi foto ulang ya, biar aku post," pinta Jefan sembari menatap Lena yang kini sudah kembali duduk di tempat duduknya.
Lena tersenyum penuh arti. Rasa senang dan malu bercampur jadi satu. Namun akhirnya Lena mengangguk.
Jepret.
"Bagus gak?" tanya Lena begitu Jefan selesai memfotonya.
Jefan memperlihatkan hasil jepretannya, "Kamu mah selalu cantik."
Lena yang jengah akan tingkah Jefan segera memukul lelaki dihapannya dengan sendok yang sedang ia pegang.
"Len, sakit!"
"Biarin."
***
"Pulang yuk, Ra."
Aira menoleh ke arah Raka yang kini berada di sebelahnya. Sejak dua puluh menit yang lalu, Raka menemaninya di taman. Awalnya Aira terkejut dengan kehadiran Raka. Namun, ketika mengetahui alasan Raka datang menemaninya, Aira akhirnya membiarkan lelaki itu bersamanya.
Lagipula Aira sudah mengetahui siapa yang menyuruh Raka menemaninya. Siapa lagi kalau bukan Jefan.
"Nanti aja deh, Rak. Kalau kamu mau pulang, pulang aja. Aku gak apa apa kok," balasnya sembari tersenyum.
Raka menghela nafas. Ia sudah tahu masalah yang Aira hadapi. Sekitar sepuluh menit yang lalu, Aira bercerita semuanya. Dan kini, tugas Raka hanyalah mengembalikan senyuman Aira yang hari ini telah hilang.
"Ra,"
Aira melirik tangannya yang kini digenggam oleh lelaki di sampingnya ini.
"Aku yakin Jefan bisa jelasin ke Lena. Sekarang pilihannya ada di kamu. Pulang sekarang dan berbaikan dengan Lena, atau tetap disini dan terus meratapi masalah kalian."
Aira membalas tatapan Raka yang sedang menatapnya dalam. Ia mencerna tiap kata yang dilontarkan Raka. Perlahan, sebuah senyuman terbentuk di wajahnya.
"Makasih, ya."
Raka mengangguk. Lantas berdiri sembari menggenggam tangan Aira.
"Pulang yuk," ajaknya sekali lagi.
Aira diam sejenak. Lantas mengangguk mantap, "Yuk."
"Rak,"
Raka menoleh ke Aira yang berada di belakangnya.
"Nanti di motor aku boleh selfie gak? Biar keliatan goals gitu," cengirnya.
Wajah Raka seketika berubah menjadi datar. Ia menghentikan langkahnya. Lantas menatap Aira.
Aira yang ditatap hanya diam. Tidak berniat membalas tatapan Raka.
"Ya udah, gak apa-apa."
Jawaban Raka sontak membuat Aira menatapnya dengan senyuman, "Makasih, Rak."
***
Della menahan tangan Nayra yang ingin keluar dari kamarnya. Berniat menyapa kedua sahabatnya yang baru saja pulang.
"Jangan dulu."
Nayra menatap Della protes, "Kenapa, sih?"
"Mereka butuh waktu berdua."
Mendengar perkataan Della, Nayra menghela nafas. Lantas menghempaskan badannya diatas kasur empuk yang terdapat di kamarnya itu.
"Enaknya ngapain ya, Del?"
Della mengangkat bahunya. Tidak peduli. Ia melanjutkan aktivitasnya tadi. Mengerjakan soal yang diberikan oleh gurunya tadi siang.
Nayra yang tidak mendapat jawaban dari Della hanya mendengus kesal. Ia memperhatikan setiap sudut kamarnya. Pandangannya tertuju pada sekotak make up yang berada di meja riasnya.
"Del,"
"Hmm?"
"Make up, yuk!"
Seketika Della menoleh ke Nayra dengan tatapan tidak setuju. Nayra menghiraukannya. Ia mengambil kotak make up itu. Lantas duduk di sebelah Della.
"Sekali aja ya, Del?"
Della menggeleng cepat. Dirinya memang tak pernah suka make up.
"Ayolah," bujuk Nayra sembari mengguncang badan Della.
Akhirnya Della mengangguk malas. Kepalanya pusing akibat tingkah Nayra. Sementara Nayra bersorak kegirangan.
Nayra segera menarik tangan Della menuju kamar mandi yang berada di kamarnya. Menyuruh Della membersihkan wajahnya terlebih dahulu. Della hanya menurut. Walaupun dengan sedikit rasa malas.
"Scrub atau foam?" tanya Della pada Nayra yang berdiri di luar kamar mandi.
"Scrub aja."
Della segera membersihkan wajahnya. Hanya butuh waktu sekitar tiga menit, wajah Della sudah bersih dari scrub yang ia gunakan.
"Lap dulu," ujar Nayra sembari menyerahkan handuk kecil kepada Della.
Usai membersihkan wajah, Della dan nayra kembali duduk di karpet yang sebelumnya mereka duduki.
Nayra mengeluarkan barang-barang yang ia butuhkan. Tidak banyak. Hanya fondation, bedak padat, eye shadow, blush on, pelentik bulu mata, dan liptint. Tak lupa brush dan kaca. Della yang melihat Nayra sedang menyiapkan make up nya hanya bisa bergidik ngeri.
Nayra segera mengambil make up itu satu persatu lalu mengaplikasikannya ke wajah Della.
"Banyak banget, Nay! Nanti muka aku kayak mayat gimana?" protes Della ketika Nayra memberinya fondation.
"Nay, sakit! Bulu mata aku lepas nanti." Della menjauh dari Nayra yang sedang menjepit bulu matanya.
"Nay! Liptintnya jangan banyak banyak di bibir, ketelen nih," keluh Della yang membuat Nayra menutup telinganya.
Setelah tiga puluh menit berkutat dengan make up dan semua keluhan Della, akhirnya Nayra menyelesaikan maha karyanya.
"Yey, selesai!" sorak Nayra seraya berdiri dari posisinya. Merenggangkan ototnya yang sudah pegal.
Sedangkan Della kini bisa bernafas lega. Walaupun make up yang ia benci ini masih berada di wajahnya, setidaknya penderitaannya sudah berakhir sekarang.
Nayra memperhatikan wajah Della. Memastikan tidak ada yang tertinggal. Namun, sepertinya ada yang kurang.
Ia segera meraih kotak make up yang berada tak jauh darinya. Sesaat kemudian, nayra menemukan apa yang ia cari. Highlighter.
Della yang melihat Nayra memegang suatu alat make up hanya bisa merutuki temannya itu dalam hati.
Ya Tuhan, apa lagi ini?
***
"Permisi."
Aira dan Lena yang sedang bercengkrama seketika terdiam ketika mendengar suara dari luar rumah mereka.
Aira memutuskan untuk membukakan pintu. Sepertinya ia kenal suara ini, pikirnya.
"Hai. Aira kan?" sapa orang itu ketika Aira membukakan pintu.
Aira tergelak, "Bang Alvin? Ngapain disini?