Ding...Ding....
Arini terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba rasa pusing menyerang kepalanya dan kedua matanya sangat berat untuk terbuka. Ia mendudukkan diri di sofa dan melepaskan selimut putih tebal dari badannya. Pandangannya menyapu sekeliling. Ia tertidur di kantor semalaman. Bayangan cerita semalam menghantam ingatannya, menyebabkan nyeri kepala dan dadanya.
Ia melihat layar ponselnya yang menyala. Terdapat pesan suara group ekstrakurikuler SMA yang masih aktif hingga saat ini.
Arini menyalakan pesan suara itu kemudian berjalan menuju kaca besar dihadapannya. Disibaknya tirai dan tampak langit biru dan gerimis tipis menyambut pagi.
Diva: happy birthday, cantik....kamu sudah bangun?
Arian: kau sudah gila? Biarkan Arini tidur, jangan kirimkan pesan
Sherli: Arian kamu juga mengirim pesan
Ray: Bulan apa ini?
Diva: Desember. Tapi musim hujan
Ray: Tapi aku sudah booking vila om ku
Sasa: Arini banguuunnnn, ayo ke vila om nya Ray! Kau harus ikut! Arian akan membawa banya ice cream.
Sherli: Tutup mulutmu! Ini musim hujan.
Tidak terdengar suara lagi.
Kau tahu bagaimana aku menghabiskan waktu sepuluh tahun tanpa dirimu?
Dengan berhenti memikirmu.
Arini tersenyum. Disambarnya tas dan ponsel di meja kerja, berlari menuruni anak tangga dan keluar kantor. Tidak dipedulikan nya gerimis yang semakin deras membasahi bagian kepalanya.
Pim pim....
Sebuah minibus berhenti di pinggir jalan raya dan Arian berada disampingnya. Pria itu melihat kedatangan Arini.
"Kupikir kau sudah lupa dengan rencana kita." Arian membukakan pintu. Arini terkekeh kemudian menaiki minibus itu.
Baru kusadari aku terlalu angkuh belakangan ini, aku berpikir bisa mengatasi semua masalahku sendiri dan mengatakan bahwa aku tidak membutuhkan cinta. Tapi lupa bahwa sahabat-sahabatku selalu ada bersamaku dan mereka semua memberikan cinta yang berlimpah kepadaku. Mungkin saja aku akan hancur tanpa mereka. Menghancurkan diri sendiri oleh cinta yang bahkan tidak berani kuungkapkan padanya.
"Hei cengeng, aku sudah lama menunggumu!" Ray menggerutu.
"Lupakan orang gila itu dan duduk disini, Arini." Sherli menepuk-nepuk kursi disampingnya. Arini menurut. Arian sudah masuk ke dalam minibus dan duduk disamping pak sopir. Dialah yang paling dewasa diantara kita. Dia menyelesaikan semua formalitas dan perlengkapan. Dia istimewa.
.
.
.
Arini terisak disebuah ruang kelas yang kosong. Arian duduk didepannya dengan bertopang pada punggung kursi yang ia duduki.
"Aku tidak tahu ke...kenapa aku menangis ja...gan tanya!" Arini sesenggukan. Arian mengusap salah satu pipi Arini yang basah oleh airmata.
"Menangis saja, tapi cepatlah atau Ray akan segera masuk dan mengejekmu lagi.
"Hnggg.." tangisnya bertambah kencang. Arian terkejut,
"Hei hei.."
.
.
.
Semua yang ada di dalam minibus itu bernyanyi-nyanyi selama perjalanan. Arian, Ray, Sasa, Diva dan Sherli adalah bukti bahwa masa remajaku yang manis pernah ada. Kita bisa tertawa hanya dengan saling menatap mata, kita saling berangkulan.
*
_aku berangkat ke Singapura malam ini. Mungkin tidak akan sempat merayakan malam tahun baru disini._
_ok. Aku akan mempersiapkan laporan selama itu. Kamu bisa memeriksanya setelah kembali._
Diva melempar pandangannya keluar jendela, tenggelam kembali dalam ingatannya lima hari yang lalu.
.
.
.
"Tunggu, Diva..." Bagas mengejar langkah Diva menuju lokasi parkir di depan kantor walikota. "Bisa kita bicara sebentar?"
Bagas berhasil mengejar Diva. Mereka saling berhadapan. Pria itu menaungi atas kepalanya untuk menghalau rintik gerimis.
"Aku sudah menikah, Bagas. Jangan mencoba untuk berbicara denganku lagi!" Mereka saling bertatap.
"Aku hanya..."
"Dan jangan mencoba menjelaskan sesuatu. Aku sangat mengapreasi jika kita hanya bekerja secara profesional."
.
.
.
"Di, you ok? Kamu diam hari ini." Sasa duduk di samping kursi Diva. Diva menoleh begitu melihat Sasa kemudian menggeleng dan tersenyum.
"i am ok," Diva mengarahkan pandangan pada Arini di depan sana. Meski samar, mata sahabatnya itu masih sedikit merah. You ok, Arini?
Cinta pertama, tahukan hatiku terkoyak begitu mendengar berita tentangmu. Baru aku mengerti kenapa kepercayaan diri ini begitu mudah goyah oleh kehadiranmu. Bahwa meski hanya sedikit, sudut terkecil hati ini masih ada gaungan namamu didalamnya. Bahwa dalam setiap airmata yang mengalir, masih ada molekul kenangan yang berlomba dengan waktu. Aku tidak membencimu, meski tidak bisa mencintaimu.
***
Aku tidak melihat langit, karenanya aku tidak tahu apakah bulan berada disana. Sinar lampu sudah cukup untukku berjalan di sebuah restoran tradisional. Begitu memasuki ruangan aku sudah bisa melihat segerombolan orang-orang yang kukenal sangat ramai mengabaikan pengunjung yang lainnya.
"Oeyyy, Rendra... what's up bro? Lama nggak kelihatan?" Rendra menyalami tema-temannya satu persatu dengan salam kebanggaan mereka. Malam tahun baru akan segera tiba, Rendra berencana makan malam bersama dengan teman sekelasnya dulu sambil menikmati euforia akhir tahun. Sisa-sisa aksesoris natal masih terlihat dimana-mana dan orang-orang mulai menjajakan kembang api serta terompet disepanjang jalan. Rendra menikmati obrolan dan cemilan dengan teman-temannya. Ia bisa bercerita dan tertawa lepas. Sudah lama ia tidak begadang untuk bersenang-senang. Ia selalu begadang untuk bekerja.
Mereka memiliki alasan untuk terus berjalan dan berbahagia. Kita bisa menyisihkan dahulu cinta yang menyakitkan dihati. Orang-orang di sekitar kita tidak perlu tahu alasan akan airmata yang mengalir di setiap malamnya. Disini kita bercerita, bercanda dan tertawa. Mengisi hari-hari menjadi lebih bermakna dan bermakna lagi.
Semakin larut hingga hampir tengah malam setelah beberapa menit. Cemilan mereka sudah hampir habis.
"Gue bakal mengekspansi perusahaan wisata gue, diseluruh kota, tidak, di luar kota juga bisa...diseluruh dunia."
"Alah, lu aja tidur terus. Gimana mau ekspansi?"
"Hahha..."
"Kalau lu apa, Ndra? Apa yang bakal lu lakuin setahun ke depan?" Pandu, si ketua kelas berbicara. Semua mata mengarah pada Rendra.
Rendra terdiam, ia meminum secangkir kopi yang ada ditangannya, setelah itu diletakkannya cangkir itu dimeja.
"Aku ingin menikah. Aku akan bekerja keras agar bisa menikah dengan baik." Terawangnya nanar, ia mengucapkan setiap kata dengan hati-hati.
Aku ingin melihatnya tersenyum, ingin melihat gadis cengeng itu tersenyum.
Seharusnya teman-teman bersorak untuknya, tapi entah kenapa mereka terdiam melihat ekspresi wajah Rendra.
Menikah dengan baik apanya? Mana ada orang yang akan menikah dengan mempertimbangkan kebaikan?
Peletak pletak Duarrr...
Gerombolan kelas itu menoleh keluar restoran, dilihatnya anak-anak kecil berlarian sambil membawa kembang api dan petasan diledakkan berkali-kali. Tawanya terdengar renyah seperti tidak merasakan kantuk sama sekali. Membuatku berpikir apakah aku pernah ada dimasa itu?
***
"Hei, aku mulai berpikir mencari istri kaya. Aku rela memasak dirumah. Lihat, betapa mahirnya aku memasak!" Ray membolak-balik kan daging dipanggangan dengan lihai. Arian menggeleng-geleng sambil mempersiapkan cemilan lainnya. Para wanita yang sedang ngobrol diteras tertawa melihatnya.
"Ayo kita menikah, Ray!" teriak Sherli.
"Tidak mau, aku ingin mengajak Arini saja. Ariniiiii...Will you marry me?"
"Wuuuuuu..." semuanya bersorak. Arian memukul kepala Ray. Pletak.
"Hahaha,"
Sebuah motor memasuki pekarangan villa. Sasa turun dari motor sambil membawa dua kantung plastik hitam.
"Makasih ya mas ojek ganteng." Ucapnya genit.
"Iya, Eneng yang cantik. Saya permisi dulu,"
Si ojek memundurkan motornya lalu pergi dari villa. Sasa mengangkat belanjaannya.
"Guysss, cola dan kembang api sudah sampaiiiii,"
"Ok!!!" sahut mereka berbarengan. Yang ada di teras mendekat ke pemanggangan. Sebagian makan daging, sebagian membongkar belanjaan.
"Kalian tahu ada kasir ganteng di minimarket bawah sana." Sasa bercerita dengan berapi-api.
"Kau sadar suami dan anakmu bakalan sampai sebentar lagi,"
"Tapi benar-benar ganteng."
"Lupakan dia, Arini bantu aku menggelar tikar disini."
Arini menoleh kemudian membantu Diva.
Sudah hampir tengah malam, dua buah mobil sampai dipekarangan villa. Randy, suami Diva, suami dan anak-anak Sasa.
"Hei, gimana perangnya bro? Menang?"
Randy mengacungkan jempol. Yang ada disana tertawa.
Suami Sasa keluar dari mobil dan anak-anaknya berlarian menuju tikar.
"Nih, mama tadi beli kembang api."
"Om Ray...minta korek."
"Ok, manis..."
.
"Lima..empat..tiga..dua...satu..."
Duarrrrr
Suara terompet terdengar kencang. Arini menutup kedua telinganya. Dan kembang api entah dari mana meledak bersusulan dilangit. Ledakannya sangat dekat hingga menggema didada mereka.
Hati Arini menghangat. Semua sahabatnya terpukau menatap langit. Arian juga tersenyum melihat ke atas.
Kita berikan jeda pada dunia dalam satu moment kebahagiaan ini. Bersama orang-orang yang kita sayangi.
Duarrr duarrr
Walau hanya sejenak, biarkan aku melupakanmu. Di dunia tanpa kamu yang kurindu. Saat aku tidak menyadari apa itu jatuh cinta, tempat dimana polosnya remaja dan udara yang kuhirup setiap detiknya.
Anak-anak mulai menyalakan kembang api dan belari-larian membawa seranting percikan api kecil berwarna oranye.
Ujung botol mengarah pada Arini. Wanita itu mengangkat kedua alisnya. Sejak setengah jam lalu mereka bermain truth or dare.
"Apa resolusimu tahun ini?" suara Arian yang rendah membuka pertanyaan pertama.
"Aku ingin membuat pesta pernikahan yang paliiing indah untuk semua klienku, siapapun itu. Bagaimana pun hubunganku dengan mereka aku ingin melakukan yang terbaik. Mereka tidak boleh kecewa." Ia memandang semua sahabat-sahabatnya yang terdiam. Arini tersenyum kemudian mengambil kaleng colanya.
Ada yang tidak ingin kukatakan, tapi mereka sudah mengetahui. Dan mereka mengerti. Suara kembang api dilangit masih jelas terlihat. Mungkin orang-orang di villa sebelah masih menyalakannya.
Permainan berlanjut. Arini memutar botol dihadapannya dan keriangan kembali pada jalurnya.