Bagaimana jika yang kita genggam selama ini hanyalah kenangan, jarang ada dua orang yang memiliki ingatan yang sama. Jika itu yang terjadi, kapan ingatan itu akan menghilang selamanya?
.
.
Saat kita mengingat kenangan lama yang indah, saat itulah sebuah hubungan akan benar-benar berakhir. ~translate~
.
.
.
Maaf keseringan baper...:(
.
.
.
Malam telah larut ketika Rendra memandang keluar dari jendela ruangannya di hotel. Pria itu mengusap wajahnya yang pucat. Ia terlihat kelelahan. Untuk beberapa hari ia melupakan waktu istirahatnya, hidupnya hanya berputar untuk pekerjaan dan persiapan pernikahan.
Tangannya memainkan sebuah buku agenda dengan corak floral berwarna coklat. Mungkin ini gila, tetapi ia tidak bisa berpura-pura tidak tahu. Saat-saat bersama gadis itu membuatnya kembali tersenyum, cara Arini berbicara sangat menyenangkan dan menggemaskan, ia tidak bisa mengalihkan perhatian ketika Arini bicara, ia tidak bisa menghentikannya berbicara, ia tidak bisa berhenti menyunggingkan senyuman ketika Arini berbicara.
***
"Kamu pernah ke bukit bintang?" tanya Rendra sambil bersandar pada almari kaca yang tertutup. Arini menata baju-baju di almari yang terbuka disebelahnya. Ia tidak bisa membaca isi kepala Rendra yang rumit.
Arini terhenti sejenak kemudian meneruskan aktivitasnya.
"Ayo kita ke sana!" tambah Rendra ketika Arini tak menjawab pertanyaannya.
"Aku sudah pernah kesana!"
"Kalau begitu temani saya, saya sedang ingin ke sana."
"Kamu tidak bosan, kamu selalu pulang lewat sana kan?"
"Hm?" Rendra tak mengerti, rumahnya bukan lewat sana.
Ia melihat lewat mata Arini dan merasa ada kilat dan petir bergemuruh disana, apakah gadis itu mengetahui sampai sejauh itu?
"Kamu tahu?" selidik Rendra.
Arini terlihat gugup mendengar pertanyaan Rendra. Jelas dia salah bicara. Tidak seharusnya Arini berkata seperti itu. Dari nada bicaranya Arini tahu, bahwa Rendra sudah mengetahui sesuatu.
"Aku harus pulang," kata Arini sambil melalui Rendra. Pria itu menangkap lengan Arini.
"Saya anggap kamu setuju,"
"Sudah gelap, dan saya tidak ingin terlambat pulang ke rumah."
"Sebentar saja," mereka bertatap. Dengan perlahan Rendra melepas cengkeraman tangannya kemudian meneruskan menggenggam jemari Arini. Rendra membimbingnya keluar kantor. Seharusnya Arini menolak, tetapi dia tidak melakukannya. Ini bukan hal yang baik, tetapi ia tetap menerimanya. Ini salah..tetapi dan masih banyak penyangkalan di dalam pikirannya untuk membenarkan apa yang dia lakukan. Pemikiran-pemikiran itu membuat Arini frustasi.
***
"Maaf, saya menggenggam tanganmu tadi," nada penyesalan terdengar dari ucapan permohonan maaf Rendra. Rendra menatap ke bawah, pada rumah-rumah dengan cahaya lampu yang berkelap-kelip. Arini merasakan ketidakberdayaan di setiap kalimatnya. Apa yang terjadi pada pria ini?
Mereka berdiri di depan pagar pembatas tebing. Menikmati dinginnya angin malam dan berjuta bintang terhampar luas di hadapan mereka. Arini menatap ke bawah. Ia tak tahu apa yang harus ia katakan.
"Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?"
Arini menoleh dan mengangkat alis tak mengerti. Rendra menghela napas perlahan. "Pertanyaan saya sewaktu di kantormu tadi, kamu tahu tentang rumah orang tuaku."
"Ya..." berpikirlah Arini. "sebagai seorang pengusaha aku harus tahu informasi tentang klienku, asalnya, nama, jenis pekerjaan. Saya tahu kamu seorang manager hotel."
Apakah ia sedang mengarang cerita, apa itu termasuk berbohong?
"Kenapa?" Rendra tidak mengerti.
"Saya harus tahu siapa yang ada di dalam kehidupan dan bisnis saya...do you know, apa yang sering kita sebut koneksi?"
"apa itu tidak terlalu berlebihan?" Rendra menajamkan matanya, kenapa gadis ini selalu membicarakan tentang keuntungan.
"Saya pikir kamu berbeda,"
Arini tertawa kecil, seakan ada duri yang menusuk jantungnya...duri apa yang bisa sampai ke sana?
"Berbeda? Siapa saja yang kamu bandingkan denganku?"
"Bukan itu maksud saya,..I mind, apa kamu benar-benar hanya memandangku sebagai klien?"
"Kenapa tidak? Kamu berpengaruh..."
"Bagaimana kalau saya tidak berpengaruh?"
"Apa yang sedang kita bicarakan?"
"Selama beberapa hari ini..."
"Kita bekerja," Arini menjelaskan, "apa lagi?"
"Apa semua yang terjadi dalam hidupmu adalah pekerjaan???" suara Rendra meninggi, "apakah kamu tidak pernah tulus berhubungan dengan seseorang?" Rendra menatapnya tajam. Arini tersentak, Rendra terlihat sangat kesal.
"You know...that..." Arini tampak ragu membuat Rendra heran.
"What?"
"Jangan marah, kamu terlihat sangat manis saat marah..."
"Wait...sorry, what do you say?" Rendra tertawa. Kekesalannya luruh bahkan menjadi salah tingkah. Ada sedikit kebahagiaan yang menyelinap dibalik senyumnya. Hening sesaat. Arini melihat ke bawah.
"Tentu aku bisa, tapi bukan dengan kamu...kita adalah rekan kerja. Aku bukan tipe orang yang bisa berteman begitu saja dengan rekan kerjaku."
"Terlepas dari hubungan profesional ini. Sepuluh tahun yang lalu?" tanya Rendra. Arini menoleh cepat. Pandangannya tampak cemas, membuat Rendra tidak tega. Tapi dengan begitu ia tahu bahwa Arini masih ingat. "kamu mengirimiku pesan singkat, mengatakan kamu memiliki perasaan kepadaku. Kenapa kamu melakukan hal itu? Kita sama sekali belum pernah saling berbicara."
Arini tertawa pendek walaupun ia tidak memungkiri jantungnya berdetak sangat kencang, "bukan, kurasa kamu salah orang." Rendra mengeluarkan sebuah buku agenda dari balik jasnya.
"Ananda Arini Bunga Putri, kurasa ini milikmu." Kata Rendra sambil menyerahkan buku itu kepada Arini. Arini menerimanya dan merasakan seluruh tubuhnya menjadi beku. Ia tidak sanggup bernapas.
.
.
.
"Belum ketemu juga?" tanya Arini. Arian melongok-longok ke laci meja ruang kelas teori 212.
"Kamu yakin bukunya ketinggalan di sini. Di ruang kelas jurusanmu mungkin."
"Beneran di sini, coba lihat meja belakang." Kata Arini cemas. Arian menghela napas pendek.
"Nggak ada."
.
.
.
Arini membukanya, ya ada nama panjangnya yang tertera di halaman pertama buku itu. Segala kenangan yang pernah ia tulis di sana perlahan mulai menguak kembali. Ia pikir buku ini telah benar-benar menghilang.
"Seperti yang kamu bilang," Arini mencoba mengatur napasnya. Ia masih mencoba untuk tenang. "kita belum pernah saling bicara. Jadi itu bukan masalah besar, itu hanya..."
"Apa kamu benar menyukaiku?" Rendra memandang wajah Arini. Gadis itu tergagap. Hening sesaat. Terasa rintik gerimis mengabutkan pandangan mereka. Cahaya bintang di langit dan lampu berkerlap-kerlip di bawah sana semakin memburam.
"A...apa?"
"Kalau kamu benar-benar menyukaiku kenapa kamu bersikap pengecut seperti itu? Kenapa kamu mengatakan hal sekonyol itu kemudian menghilang begitu saja?" sahut Rendra dengan raut wajah yang menakutkan. Airmata Arini menggenang demi mendengarkan perkataan Rendra. Jangan menangis sekarang! Rendra memegang pagar besi dengan kedua tangannya, "dan kamu mengganti nomor telponmu setelah itu,..." Rendra tersenyum sinis.
Terasa ada onak dan duri di rongga dada Arini, ia merasa kesakitan ketika mencoba bernapas. "ya, aku memang tidak seberani Alena untuk memperjuangkan cinta kamu,"
Rendra meremas pagar besi di telapak tangannya. "jangan mencoba membawa Alena di dalam masalah ini."
"Ok," Arini menghirup napas panjang demi menahan airmatanya. "aku bukan kamu, yang bisa mengungkapkan segala isi hati kamu. Dan dulu kamu tidak sedang dalam posisi mencintai seseorang. Kamu tidak pernah tahu bagaimana rasanya berjalan dalam keraguan...aku lahir dalam batasan yang tidak bisa aku langgar. Dan aku memiliki alasan sendiri kenapa aku tidak melanjutkannya."
"Begitu? Bukan karena kamu takut bila aku tolak?" kini Rendra berdiri tepat di depan Arini, seolah menodong jawaban dari gadis itu.
Arini memegang keningnya sejenak kemudian melihat wajah Rendra,
"Ya,,,kurasa kamu lebih memahami karakterku. Silahkan berpikir apa yang ingin kamu pikirkan aku tidak peduli lagi, tapi...kenapa kita membicarakan hal ini? saya tidak sedang mengganggu hubunganmu dengan Alena. kamu tidak perlu membawaku sejauh ini hanya untuk membicarakan semua ini. Atau...apa kamu tidak nyaman bekerja bersama saya? bukankah Alena sudah bilang kau tak perlu mengurus semua ini...oh, saya memiliki teman dari perusahaan wedding lain. Kamu mau.."
"Sudahlah. itu sama sekali tidak penting," Rendra memandang ke bawah pagar.
Air mata Arini yang sedari tadi menggenang mulai meleleh. Ia membuang wajahnya dan menghapus airmata itu. Tidak penting, ulang Arini dalam hati.
Kamu meletakkan cinta ini kembali di dalam hatiku, bersama sakit yang masih tersisa. Aku tidak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiranmu dan aku tidak mampu menembus ke dalam bola mata gelapmu untuk mengetahui isi hatimu. Tapi kenapa aku terus merasakan kau memahami kehadiranku, dan kamu ada di setiap nurani ini berbicara kepadaku.
.
.
.
"Apa nomor plat motornya?" tanya Diva antusias.
"AB6670MI," Arini tersenyum.
"Cie yang inget..."goda Diva.
"Tuh, atletnya berangkat sekolah pakai sepeda!" ujar Arian.
"Pak pak pak...tadi ada cowok yang masuk sini nggak pak?"
"Loohhhh siapa? Enggak dek..."
Dan ketika langkah kami bersliringan di koridor sekolah. Hanya kita berdua. Saat itu aku tidak bisa lagi menyembunyikan senyuman di wajahku.
***
Arini duduk di sofa dalam keremangan di lantai dua kantornya. Ia mengusap wajahnya lelah. Ia masih ingat ketika Rendra ingin mengantarnya pulang.
"Sudah larut, saya antar kamu pulang."
"Enggak.." Arini mengerjapkan matanya guna menghalau kabut yang menutup pandangannya, "maksud saya, tempat ini dekat dengan rumah saya. Saya sudah menelpon ojek langganan saya."
"Arini,"
"Maaf,,,pembicaraan kita akhiri sampai di sini."
Tubuh Arini menggigil, ia mengangkat kedua kakinya ke atas sofa dan memeluknya erat. Tubuhnya mulai gemetar dan isakan keras tidak bisa ia sembunyikan lagi. Arini mengira tidak akan pernah merasakan sakit ini lagi.
"Kalau kau benar-benar menyukaiku kenapa kau bersikap pengecut seperti itu? Kenapa kamu mengatakan hal sekonyol itu kemudian menghilang begitu saja?" sahut Rendra dengan raut wajah yang menakutkan.
"Dan kamu mengganti nomor telponmu setelah itu,..." Rendra tersenyum sinis.
Tangis Arini menjadi,,,ia merasa sangat terluka. "Rendra...ponselku hilanggg. Bagaimana aku tidak mengganti nomorku? Aku tidak tahu kamu menghubungiku kembali," gumam Arini di sela-sela tangisnya. Ia membenamkan wajahnya di sela-sela kaki dan tangannya.
Terdengar nada dering telpon di samping tubuh Arini, Arini mengangkat wajahnya dengan mata sembab. Ia tidak memperdulikan nama di layar ponselnya dan langsung menjawabnya.
"Hallo, cantik...I have surprise for you..."
"Maaf, mas...saya sudah punya kulkas, tv, radio, springbed, bedcover.."
"Wait wait,,,kamu pikir ada sales yang menawarkan benda-benda seperti itu tengah malem. Ini aku, Arian."
"Aku tahu."
"So? Ada apa?" suara diseberang sana terdengar khawatir. Ya Arini tahu Arian sangat mengenalnya, meski sangat berusaha Arian bisa mendengar suara gadis itu parau.
"Apa?" Arini memain-mainkan jemarinya pada sofa.
"Ada masalah apa? What is problem, ono opo, piye kabare?" Arian terdengar putus asa.
"Hehe,,," Arini sedikit terhibur.
"Rendra tahu, kalau aku dulu suka sama dia."
"Terus?"
"Dia marah-marah sama aku, kamu tahu insiden hpku yang hilang itu? Ya..mungkin saat itu dia menghubungiku..meminta penjelasan atas kekonyolanku dulu tapi nomorku sudah tidak aktif. Sekarang aku sadar...mungkin apa yang kulakukan dulu terasa menyeramkan.."
"Kamu tidak mengatakan padanya kalau ponselmu hilang?"
"Untuk apa? Dia sudah marah..."
Hening sejenak.
"Rin, lu lagi di mana?" tanya Arian dari seberang.
"Kantor,"
"Lantai satu, dua?"
"Dua,"
"Duduk di sofa?"
"Hm.."
"Sekarang kamu tiduran, ada bantalkan di situ?"
"Sudah."
"Jangan bohong."
Arini melihat telponnya, kemudian menempelkannya kembali di telinga. Ia melihat sekeliling ruangan. "apa kamu memasang cctv di kantorku?"
"Just do it!" paksa Arian.
Arini menurut. Ia merebahkan tubuhnya di sofa, mengikuti apapun yang Arian katakan dari menghirup napas panjang, memejamkan mata hingga mendengarkan Arian bercerita tentang apa yang terjadi di restorannya hari ini, ia memasak apa saja dan yang lainnya. Mengobrol segala hal dengan Arian hingga pria itu tidak mendengar jawaban Arini lagi.
*
"Dia sudah tidur?" tanya pria di sebelah Arian. Ray. Arian meletakkan ponselnya di meja.
"Pasti matanya penuh dengan airmata sekarang, dan besok pagi matanya bakal bengkak..." kata Diva lesu.
"Dia hanya perlu sendirian sekarang." Ujar yang Sasa.
"Ini hari ulang tahunnya dan si Rendra itu memberikan kado yang sangat spesial.." sindir wanita di sebelah Diva, Sherli. Arian menatap kue tart di tengah meja. Ia hanya mendengarkan teman-temannya mengungkapkan segala yang ada dipikiran mereka.
"Di, kapan suami kamu pulang? Keluar negeri mulu."
"Di Afganistan sinyalnya jelek. Kita belum kontakan lagi..."
"Suamimu jual berlian apa perang sih, Di? Di negara-negara konflik mulu" protes Ray
Diva hanya mengangkat bahu.