Chereads / Sedang Ingin Bersamamu / Chapter 7 - Dia yang Tak Pernah Kutahu

Chapter 7 - Dia yang Tak Pernah Kutahu

Jika Rendra yang membuat bintang bersinar terang malam ini, maka support dari pembaca yang membuat penulis semangat melanjutkan cerita!

selamat membaca :)

.

.

.

Kenapa kita membuang waktu untuk merasa sedih dan kesepian?

Kita bisa saling memandang itu sudah cukup

Kenapa memusingkan segala logika ketika hati telah memutuskan jawaban?

Jangan menyalahkan keadaan yang memilih jalannya sendiri untuk mengkhianati mimpi

Aku tidak membencimu meskipun tidak bisa mencintaimu

.

.

.

Aku datang pagi ini... temui aku di bawah. Rendra.

Arini melihat ponselnya sekali lagi dengan pandangan tidak percaya. Apakah benar ini nomornya Rendra? Sejak beberapa tahun Arini memang tidak memiliki nomor pria itu tapi bukan berarti dia mempercayai kalau Rendra mengirim pesan kepadanya dan pesan itu mengatakan bahwa ia sudah berada di lantai bawah kantornya.

Arini meletakkan ponselnya di meja dan mencoba mengendalikan jantungnya yang mendadak berdetak sangat kencang. Ia memandang keluar melalui dinding kaca, awan gelap dan hujan memenuhi jalan. Dia datang kemari meski hujan selebat itu? Astaga, ia sama sekali tidak tahu cara kerja otak pria itu.

Arini menuruni anak tangga dan melihat Rendra yang berdiri membelakanginya. Pria itu memandang air mancur yang ada di tengah kantor Arini, di sampingnya tertanam tanaman bunga kertas yang sedang kembang. Rendra berbalik ke arah tangga yang membuat Arini terhenti sejenak, gadis itu merasa detak jantungnya juga ikut berhenti. Ia mencoba bertingkah senormal mungkin. Arini meneruskan perjalanannya menuruni tangga hingga ke lantai dasar. Rendra tersenyum, hal yang membuat Arini terkejut heran.

"Sebenarnya anda tidak perlu datang kemari,"

"Saya hanya ingin melihat sejauh mana persiapan pernikahan kami."

"Akan saya kirim melalui email."

"Entahlah. Tapi waktu itu saja anda berani meninggalkan klien anda di tempat katering, kenapa saya harus tidak yakin anda akan bersantai dengan tugas ini. Saya di sini untuk memastikan semua berjalan tepat waktu, you know that i will marriage with models." Kata Rendra ringan. Arini mengerutkan kening, tunggu...apakah pria ini sedang meragukan keprofesionalitasannya? Entah kenapa ia menjadi kesal. Bersabarlah. Ia memutuskan untuk tidak menanggapi kata-kata Rendra.

Arini melangkah menaiki tangga, "kamu mau ke mana?"

Arini menengok, "mengambil laporan pernikahan kalian untuk anda periksa."

"Kalau begitu saya ikut."

Apakah itu pernyataan? Karena tanpa ragu Rendra melewatinya menuju tangga. Arini memicingkan mata.

"Hei, kamu tidak lelah naik turun tangga? Akan lebih efektif kalau saya ikut naik jadi lebih cepat saya menerima laporan darimu." Kata Rendra sambil mendaki anak tangga, "atau kamu menyembunyikan sesuatu di atas sana sehingga saya tidak boleh naik?"

Rendra berbalik dengan tiba - tiba membuat Arini terkejut . Pria itu menatapnya.

"Apa?" tanya Arini gugup.

"Kamu benar menyembunyikan sesuatu?"selidik Rendra.

"Tidak,"

"Aku tahu kita satu sekolah waktu SMA. Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Apa itu mengganggumu?"

Entah kenapa suasana menjadi tegang, tapi Arini menggeleng,

"Bagus," Rendra kembali berjalan menaiki tangga. Setidaknya kamu ingat

Tunggu sebentar, sejak kapan Rendra pintar bicara? Bukankah selama ini dia hanya diam saja?

Arinipun menyusul Rendra yang telah jauh ke atas.

Mereka sampai di atas, Rendra melihat hamparan karpet warna biru langit sekitar empat kali tiga meter, di tepi kiri dan kanan ruangan terdapat rak buku yang tinggi menjulang. Di sudut ruangan ada meja kerja, beberapa langkah dari tangga ada sebuah sofa yang menghadap ke dinding kaca besar yang terpasang tirai dua lapis berwarna putih.

Arini mengambil map di atas meja, "anda suka warna biru? Kenapa kamu memilih karpet warna biru?"

"Apa itu penting?" Arini melihat Rendra dengan kesal.

"Emm jadi itu tidak penting, lalu apa yang penting?" tatap Rendra datar. Kekesalan Arini luruh. Sejenak mereka hanya bertatap. Akhirnya Rendra hanya menunduk dan tersenyum sebentar kemudian mengambil map dari tangan Arini dan duduk di sofa.

Arini melangkah menuju meja kerjanya. Astaga, Rendra hanya tersenyum tapi seakan-akan pria itu memberikan seluruh pagi yang cerah untuk Arini. Seulas senyuman kecil terlukis di wajah Arini.

.

Sekitar lima belas menit Rendra membolak-balik laporan perkembangan pernikahannya. Ia mulai merasa bosan dan menoleh ke arah Arini yang duduk tenang di mejanya. "hei, kamu tidak bosan?"

"Saya sedang sibuk," jawabnya datar, sama sekali tidak melihat Rendra.

Pria itu menghampirinya dan melihat Arini sedang mendesain pakaian.

"Itu baju pernikahanku?" tanyanya tepat di samping wajah Arini, Arini yang tidak memperhatikan menoleh dan tersentak ketika wajahnya dan wajah Rendra begitu dekat, Rendra melihatnya. Arini berdiri. Rendra ikut menegakkan tubuhnya. Seolah dapat mendengar detak jantungnya sendiri, ia hanya berharap Rendra tidak mendengarnya.

"Hei,,kamu tidak kembali bekerja? Ini sudah lewat jam makan siang."

"Kamu bosku?"

"Bukan."

"So, that not your business. Jangan jadikan itu alasan untuk menghindar dari tugasmu mengurus pernikahanku"

"Heiii!!!!" teriak Arini kesal. Rendra mengangkat bahu. Ia berkeliling ruangan itu, "Katakan padaku. Di mana baju pengantinku."

"Tidak di sini, di lantai bawah"

"Hei, kenapa kamu selalu memisah-misahkan letak barang-barang. Apa bedanya di atas atau di bawah?" teriak Rendra. Arini mendadak kesal dengan teriakkan Rendra.

"Saya sudah mengatakan sejak awal, jangan naik. Semua pekerjaan berada di bawah."

"Lalu kenapa laporannya ada di atas?"

"Saya baru memeriksanya..."

Klontang....suara benda jatuh di lantai dasar. Arini melihat dari pagar kayu setinggi pinggang yang dapat melihat ke bawah ruangan. Tampak Ranti dan Naura juga beberapa klien berhamburan pergi. Wajah Arini bersemu merah. Apa suaranya dan Rendra terlalu keras?

***

Rendra keluar dari ruang ganti di lantai dasar. Ia mengenakan setelan jas putih dan celana putih yang Arini sodorkan padanya. Gaya rambut spike nya tidak terlalu mengganggu. Matanya yang canggung berbinar indah. Arini menghampirinya dan menatap setelan yang membungkus tubuh Rendra dengan seksama.

Pria itu membiarkan Arini merapikan bentuk kerahnya, meratakan bentuk bahunya hingga saat gadis itu meniti lengan hingga ujungnya. Dan selama itu Rendra tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Arini, "apa lengannya terasa nyaman?" gumam Arini lalu mendongak ke wajah Rendra. Pria itu tersentak kemudian mengangguk. Arini tersenyum kemudian kembali merapikan detail-detail kecil pada jas yang Rendra kenakan.

"Kamu penjahit?" tanya Rendra tanpa melepaskan pandangannya.

"Hm.." gumam Arini lirih, ia masih fokus.

"Kupikir kamu pemilik Wedding Organizer,"

Arini mendongak kembali dan menyipitkan matanya. Rendra menahan senyumnya. Ia mulai menyukai reaksi Arini yang seperti itu.

Selesai. Arini mengemasi barang-barangnya sementara Rendra berganti pakaian. Arini kelaparan setelah bekerja seharian ini. Ranti dan Naura, pegawainya sudah pergi sejak tadi. Ia menengok ruang ganti, ia berpikir untuk ke dapur dahulu. Pria itu mungkin masih lama.

Sepertinya Ranti meninggalkan satu kotak puding di kulkas, Arini tersenyum melihatnya. Ia mengeluarkannya dan mengambil sepotong puding kemudian memakannya sambil melepaskan wedges dari kedua kakinya.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Rendra tiba-tiba. Arini terkejut membuat kotak pudingnya mencelat dan jatuh berserakan di lantai. Mereka jongkok untuk membersihkan puding-puding yang telah hancur. Dengan sigap Rendra berdiri dan membuang puding-puding itu ke tempat sampah.

"Heiii.." teriak Arini kesal.

"Apa? Kamu benar-benar ingin memakan puding yang sudah jatuh?" tanya Rendra tanpa merasa bersalah.

"Aku sangat lapar. Sekarang aku harus keluar dalam keadaan hujan untuk makan," Arini melalui Rendra tetapi pria itu menahan sikunya, Arini terbelalak.

"Lupakan. Kamu akan mati kelaparan di jalan." Rendra melepas tangan Arini dan membuka kulkas. "kamu tidak alergi nasi kan? Bagaimana dengan nasi goreng?"

"hei, apakah ini rumahmu?" Arini menyipitkan matanya. Rendra dapat melihat dari sudut matanya. Ia tersenyum sambil tangannya mencari-cari sesuatu yang dapat dimasak.

Rendra mendekat ke kompor. Arini memperhatikan dengan seksama gerakan tangan Rendra. Pria itu meliriknya, "kamu terkesima denganku?"

Arini mengalihkan pandangan, "tidak. Saya hanya heran kenapa pria sekarang sangat handal dalam memasak."

"Itu karena wanita jaman sekarang tidak dapat diandalkan dalam urusan makanan."

"Aku..." Arini menahan kalimatnya. Itu benar, ia tidak pintar memasak, sukapun tidak. Rendra tersenyum seperti tahu apa yang Arini pikirkan. Kenapa ia lebih sering tersenyum sekarang?

"Aku punya teman. Namanya Mas Abe..."

"Abe, pakai 'mas'?"

"Dia lebih tua dariku..." Rendra menutup mata karena kesal, entah mengapa ia juga menjelaskan hal ini. Ia menoleh kemudian menodongkan pisau ke arah Arini. "Kamu..."

"Iya iya, lanjut..."

"Dulu kami sering nongkrong bareng, dia yang mengajariku memasak nasi goreng."

Arini mengangguk-angguk sambil terus memperhatikan Rendra yang asyik meracik bumbu. Seharian ini ia seperti baru berkenalan dengan Rendra. Entah Rendra yang berubah atau dulu ia hanya mengimajinasikan bagaimana karakter pria itu. belum lagi ia memang belum benar-benar mengenal Rendra.

Mereka duduk berhadapan setelah dua porsi nasi goreng matang. Arini menyendok suapan pertamanya, ia merasakan suatu menyentak tenggorokannya. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Rendra nanar. Masakan Rendra,

***

Seminggu kemudian Arini membawa laporan rencana pernikahan, hanya itu yang membuatnya sadar setiap keakraban ini tidak berarti apapun. Pertemanan? Arini belum menerima sepenuhnya, "menu makan kita siang ini?" Arini menjajali setiap nama makanan yang tertera di buku menu. Rendra melakukan hal yang sama sampai akhirnya ia melihat ke arah Arini.

"kamu yang pilih." Kata Rendra sambil menutup buku menunya. Arini mengangguk-angguk. Ini aneh. Perasaannya semakin kacau. Tanpa disangka banyak hal yang membuatnya bahagia bersama Arini.

"Bagaimana dengan taman di utara areal persawahan. Dekat dengan kantor polisi. Apa namanya...saya lupa." Arini mulai dengan konsepnya.

"Apa yang sedang kita bicarakan?" Tanya Rendra santai sambil menikmati makan siangnya.

"Lokasi resepsi pernikahan, bagaimana sih. Fokus dong!" wanita itu jadi sering merasa kesal dengan tingkah Rendra yang seakan mengabaikan pertemuan mereka.

"Oh, tidak ada rumput di sana." Jawab pria itu sekenanya.

"Kamu mencari rumput? Kita bisa gunakan lapangan sepak bola." Arini menyuap saladnya dengan cuek.

Rendra tersenyum tipis. Ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan "kamu sedang diet? Kenapa makan siangmu seperti itu?"

"Apa?" Arini melihat makanannya. "ohhh...aku tidak ingin terlalu kenyang, masih ada janji dengan Arian untuk mencoba resep barunya."

"Arian?" tiba-tiba selera makan Rendra hilang,

"Seorang pria?" tunggu..apa itu penting? Apa dia sedang bersikap posesif sekarang?

"Ya, dia seorang pria." Arini sedikit ragu menjawab pertanyaan Rendra. Mereka terdiam sejenak. Tahan Rendra, ujar pria itu dalam hati.

"Alena akan kepanasan, di kota sebesar ini apa kamu tidak bisa mencari tempat yang sesuai? Apa yang dikerjakan oleh tim mu sebenarnya?"

"Tunggu...apa yang kita bicarakan?" Arini mencoba menata pikirannya.

"Tentu saja lokasi resepsi pernikahan saya. Kenapa masih bertanya lagi?"

Baiklah. Arini meletakkan garpunya. "ada lokasi yang bagus, mungkin sekitar empat puluh lima menit dari tengah kota, atau bisa lebih."

"Kurasa cocok. Bagaimana penampilannya?" Rendra memandang Arini.

"Cukup bagus, sejuk dan banyak pemandangan yang indah juga kolam."

"Kau sangat suka dengan kolam? Bukannya di kantormu juga ada kolam kecil?"

"Segala yang berkaitan dengan air, kolam, ikan, sungai, air terjun, hujan...tidak semua hujan, hanya saja beberapa hujan memiliki cerita yang tidak terlalu menyenangkan. Bukan berarti aku menyalahkan hujan, aku tetap masih bisa berbicara dengan..."

Rendra mengerutkan kening ketika Arini berhenti bicara.

"Ada apa?"

"Apa saya terlalu banyak bicara? Saya minta maaf.." wanita itu meraih garpunya kembali dan mulai menusuk sayur di atas piringnya.

"Bicaralah, terkadang aku bisa menjadi pendengar yang baik. Kamu tidak akan pernah mendapatkan kesempatan sebagus ini,," ujar Rendra ringan. Arini tertawa.

"Kesempatan bagus?"

"Ya,,mencurahkan isi hati dengan pria tampan di depannya. Nah...apa kamu bicara tentang ikan tadi? Kebanyakan orang menyukainya untuk dimasak lalu dimakan, aku penasaran apa yang kamu lakukan saat menyukai ikan..."

Arini kembali tertawa, ia tak ingat kapan terakhir kali ia membicarakan hal-hal tak penting dengan seseorang. Ia membutuhkan seseorang yang bisa meringankan beban dibahunya. Yang bisa membalas apa yang Arini katakan dan segalanya tentang Rendra menjadi sedikit menyenangkan ketika pria itu melontarkan beberapa hal konyol. Mungkin ini makan siang terindah yang pernah ia miliki bersama cinta remajanya dahulu. Makan siang yang mungkin tidak akan terjadi setelah pria ini pergi lagi. Dan mungkin takdir memberinya kesempatan untuk mengukir secuil kisah yang dulu belum sempat terjadi.

Maaf Alena, ketika kucuri sedikit kebahagiaan bersama Rendra, tapi aku berjanji tidak akan lebih dari ini.

.

.

.

Next Chapter

Kamu meletakkan cinta ini kembali di dalam hatiku, bersama sakit yang masih tersisa. Aku tidak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiranmu dan aku tidak mampu menembus ke dalam bola mata gelapmu untuk mengetahui isi hatimu. Tapi kenapa aku terus merasakan kau memahami kehadiranku, dan kamu ada di setiap nurani ini berbicara kepadaku.