Kenapa bintang terlihat terang malam ini?
Karena aku sudah melihatnya. Dia alasan kenapa bintang terlihat terang. Tanpa disadarinya dialah alasan untuk seseorang terbangun di esok hari, tanpa disadarinya dialah alasan seseorang tersenyum meski awan mendung menaungi.
Apa kamu pernah melihat pelangi yang indah?
ya...
Benarkah, dimana?
dimatanya, didalam setiap senyumnya...
.
.
.
Mobil Rendra melaju dengan perlahan menuju dataran yang lebih tinggi di perbatasan timur kota. Dataran yang dipenuhi dengan gemerlap cahaya lampu dan kerlip bintang di langit. Ia menghentikan laju mobilnya, di sebelah kanan jalan tampak beberapa rumah makan yang berjajar dan tampak ramai. Hiruk-pikuk orang-orang memeriahkan suasana tempat itu. Rendra tidak terlalu peduli dan memutuskan untuk menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi.
Ia menutup wajahnya dengan lengan kanannya. Sangat melelahkan untuk pergi bersama Alena, tapi tetap saja dia tidak ingin menolak wanita itu. Sekarang yang ia rasakan adalah seakan isi kepalanya ingin mendesak keluar yang artinya bisa terjadi ledakan besar.
Tiga bulan lagi Rendra akan menikah dengan Alena. Rendra tidak pernah tahu seberapa siap dirinya untuk hal tersebut. Segalanya terjadi begitu saja dan ia tidak pernah berani untuk menolak apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia menyayangi Alena? Ya. Untuk cinta pertama terdapat ruang khusus di dalam hatinya dan sangat mudah bagi Rendra untuk menerima kembali Alena di dalam hidupnya. Hanya saja sesuatu mengganggunya. Sesuatu yang datang dari memori yang seharusnya telah ia lupakan sepuluh tahun yang lalu. Bahkan itu bukanlah suatu ingatan yang begitu penting sehingga Rendra harus merasa terganggu seperti ini.
Selamat ulang tahun...
Selamat ulang tahun...
Selamat ulang...
Selamat ulang...
Selamat ulang tahun...
"suara apa sih itu?"
"anak-anak itu, sedang merayakan ulang tahun teman-temannya. Kebetulan ulang tahun mereka saling berdekatan."
"ohh...pantes mereka nggak berhenti-berhenti nyanyinya."
"Ndra, lu udah tahu siapa yang suka perhatian ke elu lewat sms itu?"
Rendra termenung kemudian menggeleng. "ada diantara anak ekskul teater"
"lah itu mereka...yang mana?"
Sekali lagi Rendra menggeleng.
Rendra terkesiap dan perlahan menegakkan punggungnya sembari memegang setir mobilnya, ia mengalihkan pandangan ke arah kanan. Beberapa orang sedang duduk di sebuah rumah makan , mereka tampak akrab dan tertawa sesekali. Cahaya lampu rumah makan yang memang terbuka itu menyinari wajahnya. Wajah-wajah itu, kebahagiaan itu?
Cekrekkk...Rendra tersentak. Seorang pria tinggi mengarahkan lensa kamera digitalnya ke dalam kaca depan mobil. Pria itu tersenyum kemudian masuk ke dalam mobil.
"nebeng ya, mas? Mau pulang kan?" tanyanya ringan.
"besok gak kuliah?" tanya Rendra, pria itu menggeleng.
Rendra hanya bisa mengangkat bahu kemudian melajukan mobilnya mengikuti jalur jalanan beraspal. Tidak. Ia tidak bisa membiarkan pikiran ini mengacaukan hidupnya. Hal ini sangat mengganggu, akan lebih baik apabila ia terus berpikir normal dan tenang. Ya, setelah malam ini dia akan baik-baik saja.
*
"niiih,,,!!!!pisang goreng coklat keju buat Arini, kejunya sedikit.."seru Arian sambil duduk dan meletakkan sepiring pisang keju.
"ehemmm...kayaknya yang ulang tahun Arian, kenapa Arini yang serasa jadi ratu," ujar salah satu wanita di lingkaran itu. Ketiga temannya yang lain tertawa.
"sudah sudah,,,mending kita langsung makan aja, makin malam makin ngelantur nih obrolannya. Besok aku harus ke Surabaya nih...cari kain" timpal Arini sedikit salah tingkah.
"wkwkwk,,,iya iya yang juragan kain." Sahut yang lain dan disambut dengan gelak tawa mereka.
Beberapa saat kemudian Arian menuju besi pembatas jalanan, Arini mengerlingkan mata ke arah teman-temannya kemudian berjalan menyusul Arian yang memandang ke bawah. Mobil-mobil yang berjalan di bawah sana tampak sangat kecil dari atas sini.
"indah ya, Ar," kata Arini ikut memegang besi pembatas jalan.
"Mi,,kamu di sini?" Arian tampak terkejut dan dengan refleks melepas jaketnya dan memakaikannya pada tubuh Arini.
"Ar...nggak dingin,"
"suutt..orang udara sudah kayak es gini kok" katanya sambil memakaikan tudung jaket di kepala Arini. Arini sewot sebentar namun ceria kembali.
"tutup mata"
"apa?"
Arini menutup mata Arian dengan telapak tangannya, sedetik selanjutnya teman-teman yang lain sampai dan mengelilingi Arian. "selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang selamat ulang, selamat ulang tahun...!!!!"
Arini melepas tangannya dari mata Arian. Cahaya lilin di atas kue tart menyinari enam orang sahabat yang berkumpul di keremangan malam. Arian tertawa bahagia. Dan tradisi tiup lilin dan potong kue memeriahkan malam ini. Selamat ulang tahun, Arian!
"oke, selanjutnya ulang tahun siapa?"
***
Malam yang panjang telah berganti pagi. Meninggalkan kenangan yang sekali lagi terabaikan. Apakah benar ada takdir yang menghubungkan kita, sedangkan aku merasa jarak kita malah semakin menjauh? Lalu apakah maksud dari detak jantung yang mengganggu ini?
Ponsel Rendra berbunyi terus-menerus sejak lima belas menit yang lalu. Pria itu belum bisa membuka kedua matanya, ia masih terlelap di sebuah ruang kamar yang gelap. Satu-satunya cahaya hanya secercah cahaya lampu tidur di samping ranjangnya. Ponsel Rendra kembali berdering. Ia menyerah dan merambat menuju asal suara. Terdengar suara Alena di seberang ketika Rendra menekan tombol terima dan mendekatkan ponsel pada telinganya. Rendra tersenyum walau matanya masih terpejam dan bergumam sesekali menjawab pertanyaan si penelpon, "iya Len. Aku tahu"
Fotomodel ini selalu menelpon Rendra setiap pagi. Mengingatkannya bahwa sudah ada Alena dalam kehidupan Rendra. Wanita yang energik, supel, ceria, dan naif. Rendra kembali tersenyum mendengar celotehan-celotehan Alena hingga wanita itu lelah dan memutuskan sambungan telpon. Setelahnya Rendra melempar ponsel itu dan kembali tidur.
*
Alena meletakkan ponselnya di atas meja. Walaupun sudah menelpon Rendra ia masih sangat merindukannya. Bagaimana tidak? Pria itu selalu menjawab seperlunya, tidak pernah balik bertanya. Tapi tetap Alena tidak bisa berpaling darinya. Tidak mudah mendapatkan pria itu. Biarkan saja Rendra bersikap seperti itu, ia yakin Rendra akan berubah dengan seiring waktu.
Manager Alena memanggilnya untuk sesi pemotretan selanjutnya. Wanita itu mengangguk. Ia melihat dirinya di depan cermin untuk memastikan penampilannya sempurna. Seharusnya Rendra sadar karena telah memiliki wanita secantik dirinya. Jika ia menyia-nyiakannya maka dia akan sangat menyesal.
Alena muncul dan menempatkan diri ke lokasi pemotretan. Posenya sangat memukau, para crew yang ada di sana tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya terhadap Alena. Tidak akan ada yang terjadi Alena, ketakutan kehilangan Rendra tidak beralasan. Semua orang menyukaimu, dunia mendukungmu. Kamu harus ingat, Alena. Wanita itu kembali tersenyum ke arah kamera.
***
Arini mendatangi restoran Arian pagi ini sebelum dia memulai pekerjaannya, Arian adalah chef muda paling terkenal di penjuru kota dengan cita rasa masakannya yang memiliki nilai plus tersendiri sehingga setiap orang yang mencicipinya tidak akan mendapati sedikitpun cela.
"jaket kamu,,"sahut Arini sambil menyampirkan benda itu ke punggung kursi di sebelahnya ketika chef itu meletakkan segelas besar ice cream coklat kemudian duduk.Arini memandang ice cream itu dengan mata berkilat-kilat. Arian tahu Arini tidak akan membiarkan ice ceram itu tersisa. Ia melihat Arini dengan pandangan ringan dan tersenyum sesekali melihat kepolosan Arini memakan ice cream.
"hanya kamu satu-satunya manusia yang meminta ice cream di pagi hari dengan alibi mengembalikan jaket. Kau tidak pernah sakit gigi?"
"tenanglah, aku anak sehat..."jawab Arini sekenanya sambil menyuapkan sesendok ice cream ke mulutnya, Arian tertawa kecil sambil mengaduk kopi dihadapannya lalu menyesapnya pelan. Arini memperhatikannya. Matanya yang tajam, hidung yang mancung, bibir tipis yang selalu tersungging manis dihadapannya membuatnya teringat dengan kata-kata Dea sewaktu mereka makan siang di restoran ini.
"percaya padaku, Arian menyukaimu."
Arini mendesah dan menggeleng, Dea tidak terlalu mengenal Arian jadi pasti Dea salah paham dengan sikap Arian kepada Arini. Ya seperti itu. Suara cangkir yang Arian letakkan membuat Arini terkesiap. Arian memicingkan mata.
"ada apa?"
Arini mengangkat alis, "apa?"
"kamu terlihat bingung."
Arini tersenyum dan melupakan pikirannya yang melantur tadi.
"Yan, kerjasama yuk...ada model yang mau pakai jasaku."
"kamu datang kemari hanya untuk mengatakan itu?"
"tentu tidak, aku hanya sedikit merindukanmu..."sahut Arini seperti sudah mengerti tanggapan Arian. Pria itu melihat jam di tangan kirinya.
"aku tidak akan membiarkan diriku menjadi anak buahmu,"
"bukan begitu, kita akan kerjasama."
"sejauh yang kulihat kamu yang mengatur segala urusan kerjasama dengan para klienmu. Sudah pergi sana..restoranku akan segera buka." Kata Arian sambil beranjak dan mengenakan apronnya. Arini mendesah pelan kemudian ikut beranjak
"baiklah, Pak!!! Aku memang tidak pernah berguna di tempat ini. Aku pergi dulu..." kata Arini kemudian berbalik. Arian tersenyum mendengar candaannya.
"Rin,," panggil Arian dari balik punggung gadis itu. Arini menoleh.
"hati-hati..."
***
Mendung
Gerimis
Guntur bergemuruh
Ini pertama kalinya aku menyukai hujan
Pertama kalinya hujan begitu berarti di dalam hidupku
Pertama kalinya tetesan air hujan sampai ke hatiku
Cuaca berubah dengan sangat cepat siang ini. Dan kalimat itu kembali membuat pikiran Rendra buntu dan tidak menyadari bahwa ia dan Alena telah sampai di teras perusahaan wedding organizer yang kemarin mereka datangi. Alena mengkibas-kibaskan pakaiannya yang terkena gerimis dengan kesal sementara Rendra tidak terlalu peduli dengan keadaan jasnya. "kak, Alena ke kamar mandi dulu, bentar lagi kak Arini turun kok."
"Arini?" ulang Rendra dengan perasaan ragu.
"iya, pemilik perusahaan ini." Kata Alena kemudian berlalu. Ponsel Rendra berdering. Telpon dari kliennya. Ia mengangkat telpon sembari menghadap pada taman kecil di tengah-tengah ruangan. Ia berbicara dengan kliennya sambil menatap bunga-bunga kertas yang sedang bermekaran di dekat air mancur.
Ada yang salah di dalam hatinya ketika ia mendengar derap langkah kaki menuruni tangga marmer di belakangnya. Jantung Rendra seakan berhenti berdetak dan ia tidak lagi mendengar suara kliennya, tidak mendengar rintik-rintik hujan di luar sana. Namun ia masih bisa merasakan udara dingin bercampur air hujan yang semakin mencekam.
"Selamat siang!" Arini menyapa tamunya ketika kedua kakinya mencapai dasar tangga. Ragu Rendra melepas pandangannya dari bunga kertas dan berbalik ke asal suara. Rendra dapat melihat kilatan terkejut di mata Arini yang membuatnya sedikit gugup.
"Saya Arini, senang bertemu dengan anda," Ia mengulurkan tangannya setelah sekian detik mereka berdiam diri. Sekian detik yang cukup lama. Rendra menghapus keraguannya dan membalas uluran tangan Arini.
"Saya Rendra" kata Rendra.
"Rendra?" Arini tergagap. Banyak yang terlintas dikepalanya namun tidak ada satupun kata yang mampu ia keluarkan. Tidak ada.
Alena datang dari arah kamar mandi. Perkenalan berlangsung singkat dan merekapun tidak membuang waktu untuk membahas konsepan acara dan segalanya. Rendra lebih banyak diam ketika Alena dan Arini membahas tentang rencana pernikahan sehingga kedua wanita ini menjadi semakin akrab. Rendra menatap Arini. Banyak hal yang berkecamuk dipikirannya. Banyak pertimbangan, banyak pertanyaan.
"kita pakai tema yang ini aja deh, kak..outdoor, kayaknya menarik. Untuk tamu nggak usah banyak-banyak. Cukup kerabat dekat saja. Saya dan kak Rendra sama-sama sibuk jadi baru sekarang ini bisa menghubungi kak Arini, saya harap tidak terlalu merepotkan." Kata Alena ketika mereka berjalan menuju pintu keluar. Arini tersenyum.
"nggak pa-pa, lagipula temanya juga sederhana jadi nggak perlu persiapan yang ribet." Hibur Arini.
Mereka sampai di teras. Tiba-tiba Alena menyelipkan tangannya pada lengan Rendra. Pria itu terkesiap dan refleks memandang Alena.
"gimana, kak? Kami serasi kan?" tanya Alena riang. Rendra mengikuti arah pandang Alena, Arini terlihat gugup dan hanya mengangguk, pandangan gadis itu seolah menikam jantung Rendra. Oh tidak...perasaan macam apa ini?
***
Arini berusaha sekuat tenaga untuk mendaki anak tangga lantai dua kantornya. Ia merasakan seluruh anggota tubuhnya dingin membeku. Sunyi, gelap, sepi. Ia memeluk tubuhnya yang menggigil oleh gerimis sore ini, pertanyaan muncul di dalam benaknya, kemana lagi ia harus mencari jiwanya, dan kini raganya seolah lenyap tak berbekas. Haruskah ada perpisahan? Ia rindu.
Sosok itu bagaikan mimpi indah yang melekat ke dunia nyata. Satu-satunya orang yang dapat membuatnya merasa senang dan sedih secara bersamaan, ya memang sedikit gila. Tapi itulah yang terjadi. Hanya saja mimpi indah tak seharusnya merasuk ke dunia nyata, karena mimpi tidak akan bertahan selamanya, bagaimanapun juga ia tetap harus terbangun.
Berkali-kali ia mencoba melupakannya dan bersikap rasional, hal tersebut malah semakin menyakiti nuraninya. Cinta semacam apa yang diberikan Tuhan sehingga untuk mengingat nama manusia yang satu itupun hatinya terasa sangat nyeri?
Percakapan itu masih saja terngiang. Wanita itu memandang mobil pria itu menjauh lewat dinding kaca lantai dua ruangannya. Sudut matanya menghangat dan air matanya mendesak keluar. Bagaimana Rendra bisa setenang itu? Pria itu tidak tahu dunia ini terasa berhenti tepat saat dia ada di hadapannya. "seharusnya kamu tidak lagi muncul"
***
"apaaaa???" Rendra menginjak rem mobil secara mendadak, terdengar bunyi decitan keras yang memekakan telinga. Alena menjadi terguncang. Pria itu menatap Alena tajam. Tatapannya sangat menakutkan. Wajahnya yang putih mulai tampak memerah, menyeramkan.
"jangan melihatku seperti itu, kakak menakutiku." Ucap Alena pelan. Rendra memindahkan pandangannya ke depan mobil dan menghela napas panjang. Alena menoleh ke arah Rendra.
"kak, jangan marah. Aku memang salah karena tidak memberi tahu kakak sebelum ini kalau syutingnya di luar kota. Tetapi aku juga tidak bisa menolak job ini. Bayangkan, model videoklip. Ini impian aku dan aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."
"walaupun harus kehilangan aku?" tanya Rendra. Alena merangkul lengan Rendra cepat. Air matanya mendesak keluar.
"kakak mengenalku dengan baik,modelling adalah hidupku dan Rendra Haryakusuma adalah duniaku. Aku nggak bisa kehilangan keduanya."
Rendra terhenyak. Seberharga itukah dirinya? Ia tidak mengingat dirinya pernah melakukan sesuatu yang bisa membuat Alena sangat mencintainya. Ia tidak mengerti cinta apa yang merasuk di dalam diri Alena. Hampir saja Rendra lupa caranya bernapas. Alena tidak pernah seserius ini selama ia mengenalnya. "aku janji," Alena melanjutkan, "sebelum aku pergi, aku dan kak Arini akan bekerja keras untuk pernikahan kita, dan ketika aku pergi kakak nggak perlu terbebani dengan persiapan ini. Janji!" Alena mengacungkan kelingking tangan kanannya, Rendra melepas rangkulan tangan Alena kemudian mengusap deraian airmata yang membasahi pipi gadis itu dengan lembut. Sikapnya melunak,
"kamu membuatku tampak jahat, ini juga pernikahanku. Aku akan bekerja sama kerasnya denganmu." Kata Rendra. Alena berhambur memeluk Rendra. Pria itu terkejut walau akhirnya ia membiarkan Alena memeluknya sebentar.
***
Esok harinya...
"aku nggak bisa, De. Hari ini aku harus nemenin klienku ke tempat catering," kata Arini di dalam telpon..
"hati-hati...!!!"
"apa?" Arini sedikit terkejut, ia menyapukan pandangan kesegala arah sebelum akhirnya berbalik. Rendra.
Arini melihat Rendra yang sedang menatapnya, kemudian ia melihat lubang drainase tepat di depan hills yang Arini pakai.
"sepatumu bisa terjebak di situ." Tambah pria itu dengan suara tegas.
Arini menelan ludah. "ok ok..nanti aku ke sana," katanya kepada seberang telpon. Ia menutup telponnya.
"loh kok masih di luar, ayo kak masuk!!!" suara Alena yang riang menyelesaikan adegan di depan lokasi catering. Mereka bertiga memasuki area dapur dan mulai melihat-lihat sample makanan yang telah dipersiapkan untuk acara pernikahan mereka besok.
Alena menepati janjinya. Rendra melihat foto model itu bekerja keras untuk pernikahannya. Tidak, sebentar lagi dia akan menjadi model videoklip. Rendra membalas senyuman Alena saat mereka mengecek rasa makanan di hadapan mereka.
Arini tersadar dari lamunannya. Apa yang terlintas di dalam benaknya beberapa detik yang lalu? Sesaat ia berpikir bahwa senyuman pria itu menawan. Tidak, tak seharusnya ia seperti ini.
Arini melihat arlojinya kemudian memanggil karyawannya.
"iya, Bu?"
"tolong kamu gantikan saya untuk menemani mereka, catat apapun tambahan maupun kekurangan dari makanan di sini. Saya harus pergi sekarang" kata Arini. Rendra menoleh demi mendengar kata-kata Arini.
"anda akan meninggalkan kami?" tanya Rendra memastikan. Ia mulai berpikir bahwa Alena telah mencari partner yang salah.
"maafkan saya, tetapi.."
"apa ada alasan untuk hal semacam ini, saya rasa saya sudah membuat janji dari jauh-jauh hari dan anda tidak keberatan dengan hari ini," suara Rendra meninggi. Alena menoleh ke arah calon suaminya, "kami adalah klien kamu, seharusnya anda melakukan yang terbaik. Semua orang penting dalam bisnis. Kamu tidak bisa menganggap remeh satu di antara kami."
"kak, jangan seperti itu!" entah kenapa Alena merasa kata-kata Rendra terlalu berlebihan untuk hal kecil semacam ini.
"saya..."
"ini pernikahan kita, Len." Rendra memotong kata-kata Arini kemudian beralih menatap ke arah Alena, "hal terpenting dalam hidupku dan aku tidak ingin ada yang mengacaukannya!"
"mohon maaf," Arini menyela, Rendra dan Alena menoleh. "saya berusaha melakukan segala yang terbaik di dalam kerjasama ini, kita sudah memeriksa segala macam catering di sini dan tinggal keputusan dari Alena dan Pak Rendra memilih menu yang sesuai. Saya sudah memilih beberapa menu dan mengatakannya kepada asisten saya, Naura. Mungkin itu juga bisa dijadikan pertimbangan. Saya juga sudah mengobrol banyak dengan Alena tadi. Dari awal pertemuan Naura selalu ikut dalam pembahasan bukan, jadi tidak ada masalah."
"iya, mbak. Aku ngerti...ini Cuma salah paham aja kok." Alena menggenggam tangan Arini dan mengelusnya pelan. Kemudian ia beralih pada Rendra, "kakak nggak usah khawatir ya, semuanya masih diatur dengan baik kok. Jangan marah."
Alena memang menggenggam tangan Arini. Arini mengetahui maksud baik gadis itu, tapi entah kenapa ia merasakan tangannya tetap dingin, tidak ada kehangatan sama sekali. Ada waktunya ketika mimpi tidak akan pernah menjadi kenyataan, dan itu adalah hari ini.
.
.
.