"Proyek pembangunan rumah susun diharapkan bisa mendekatkan pemerintah daerah dengan masyarakat. Sudah banyak perintah penggusuran yang telah dilaksanakan, itu sangat memprihatinkan ketika mereka merasa pemerintah tidak memperdulikan mereka."
"Ternyata bapak Bupati memiliki hati yang sangat lembut ya?" Diva menimpali dengan guyonan tipis. Pak Bupati tertawa, pintu terbuka dan seorang ajudan masuk. Ia membisikkan sesuatu kepada pak Bupati. Beliau mengangguk, tidak lama ajudan itu kembali keluar.
"Berhubung temanya saling berkaitan, saya ingin memperkenalkan anda dengan teman saya. Dia akan membantu dalam proyek kali ini. Nak Indriana bisa mewawancarainya juga..."
Diva hanya bisa tersenyum ramah, akhirnya dia datang...dia benar - benar datang
Krek...
Diva ikut berdiri menyambut tamu pak Bupati, seorang pria tinggi yang berkarisma. Seorang arsitek dermawan yang tidak menerima sepeserpun uang untuk kerja kerasnya dalam proyek ini. Setelah bertegur sapa dengan pak Bupati ia menyapa Diva.
"Lama tidak berjumpa, apa kabar Ibu Indriana..." ~Diva~
Diva menerima uluran tangan Bagas.
"Lama tidak berjumpa,"
Saat seorang wanita bermimpi dengan mata terbuka, saat itulah dunianya tidak lagi sama...
~Rab Ne Bana Di Jodi~
.
.
.
"Kamu terlambat," kata Diva sambil cemberut. Arini hanya memandangnya datar sambil meletakkan tas di sofa ruang tengah Diva.
"Jadi hal penting apa yang ngebuat aku harus ninggalin klien aku?" tanya Arini. Reaksi wajah Diva berubah cerah.
"Randy baru pulang dari Rusia tadi malam..."
"Habis perang?" tanya Arini sekenanya, Diva mendadak bete, namun tidak berlangsung lama, wajahnya ceria kembali.
"Lupakan soal perang. Dia mengajakku makan malam romantis nanti malem, dan kamu harus ikut ke salon, ke butik, toko sepatu...eh bukannya di butik ada sepatu ya? Atau di perusahaanmu saja. Eh iya..."
Celotehan Diva terdengar semakin kabur di telinga Arini, tiba-tiba saja pandangannya juga ikut mengabur. Tak terasa setetes air mata meleleh menyentuh pipinya, Arini menghapusnya cepat.
"Rin, you ok?" entah sejak kapan Diva menyadari perbedaan suasana hati sahabatnya. Arini terkesiap.
"Apa?" berpikirlah, "Kamu harus membayar dua kali lipat kalau mau menyewa gaunku karena kamu sudah membuatku dimarahi klienku hari ini."
Diva menyipitkan matanya, namun akhirnya ia membulatkan matanya dan berpikir ulang. "Ok, kita ke butik tantenya Randy saja."
***
Dua hari semenjak mereka taster makanan untuk resepsi, Alena kembali bertemu dengan Arini. Namun kali ini tanpa Rendra, pria itu masih disibukkan dengan urusan pekerjaan. Kali ini mereka membicarakan kontrak kerjasama di restoran sekalian makan siang.
"Dari awal aku merasa kak Rendra dan kak Arini saling mengenal." Kata Alena ketika makanan baru saja datang. Arini melihat ke arah Alena.
"Rendra bilang begitu?"
"Enggak, kak Rendra nggak bilang apa-apa."
"Kalau begitu kami nggak saling mengenal,," gumam Arini tanpa sadar. Sepertinya Alena menyebutkan kata 'apa?' dan itu membuat Arini tesentak. Ia meminum jusnya melalui sedotan.
"Bagaimana kalian bisa bertemu?" Arini mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kak Rendra kakak kelasku sewaktu SMP, namun kami sempat kehilangan kontak sampai akhirnya karena keperluan syuting aku menginap di hotel tempat kak Rendra bekerja. Di sana kami mulai akrab kembali. Dan kak Arini tahu, kami sudah berpacaran dari SMP, dan lucunya saat kita sama-sama lost kontak belum pernah sekalipun kami saling mengatakan putus."
Arini terkesiap. Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan pada gagang sedotan yang dari tadi ia tusuk-tusukkan ke dasar gelas. Dadanya terasa sesak demi mendengarkan cerita bahagia Alena.
Sekali lagi hatiku menjadi hancur entah menjadi berapa keping. Tapi walaupun kepingan itu tidak cukup banyak tetap akan terasa sakit. Sepertinya aku telah menanyakan hal yang seharusnya tidak aku dengar.
"Kakak tahu?" Alena melanjutkan, "Setiap orang dilahirkan dengan cara yang sama, dengan menangis. Yang membedakan adalah beberapa saat setelah tangis itu reda, saat kita benar-benar bisa memandang dunia, dengan pandangan optimis atau pesimis. Dan kak Rendra adalah duniaku, bagaimana aku bisa bersikap pesimis terhadapnya?"
"Kenapa? Pesimis?" Arini tak mengerti. Alena hanya tersenyum penuh misteri. Namun di sisi lain Arini melihat Alena adalah seseorang yang kuat, bukan secara fisik tetapi secara akal, prinsip, dan pendapatnya. Apakah ia terlalu lancang ketika ia berpikir bahwa Alena dan Rendra adalah pasangan yang serasi, apakah kenyataan itu tidak melukai hatinya lagi? Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada diri Arini, pada hati Arini?
"Kakak sudah menikah?"
"Apa?" Arini terkejut ketika Alena mengalihkan topik pembicaraan secepat itu. Tidak ada yang bisa menebak apa yang dipikirkan foto model ini. Alena melanjutkan kata-katanya.
"Aku punya kakak sepupu, dia baru datang ke kota ini. Kelihatannya kalian akan cocok."
Oh tidak, cukup! Arini tidak akan berhubungan lagi dengan orang-orang yang berkaitan dengan Rendra setelah ini. Lagipula Alena akan pergi selama seminggu untuk syuting videoklip, jadi untuk sementara waktu ia akan terbebas dari mereka.
***
Alena tiba di kamarnya, meletakkan tasnya dan mengambil sebingkai foto lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ia mengusap bingkai fotonya dengan Rendra. Ia akan mneninggalkan Rendra dalam waktu yang lama dan itu membuatnya sangat tidak tenang. Tetapi ia memiliki impian sebagai model videoklip. Setelah ini ia berjanji bahwa Rendra adalah prioritasnya. Selamanya. Ingatan Alena merambat ke beberapa tahun silam.
.
.
.
Alena berdiri di tengah guyuran air hujan. Semua penghuni hotel melihatnya dari dalam lobi. Rendra melihat gadis itu dari jendela, ia mendecakkan lidah, "Gadis itu benar-benar" Rendra menyambar payung dan segera keluar. Ia memayungi Alena tapi gadis itu menangkis kasar. Rendra ikut kebasahan dan refleks menatap tajam ke arah Alena. Gadis itu tetap tidak peduli. Rendra hendak pergi tetapi Alena menahan lengannya.
"Aku sungguh mencintaimu, kak. Seberapapun dinginnya kamu aku nggak peduli. Aku akan tetap berdiri di sini sampai kakak sadar seberapa besar cinta aku ke kakak"
Alena mulai kedinginan ketika pria itu melepaskan cengkeraman tangannya. Rendra hendak meninggalkan Alena ketika suara riuh penghuni lobi menyentakkan telinganya, Rendra berbalik dan mendapati tubuh Alena tersungkur di tanah. Rendra berlari mendekatinya dan dengan sigap menggendong Alena menuju kamar hotel. "Dokter, cepat hubungi dokter....!!!"
"Dia emang kayak gini, Ndra!" sahut sepupu Alena. "Sejak kecelakaan yang dialami om dan tante setahun yang lalu Alena jadi sering pingsan. Kondisi tubuhnya kurang stabil karena syok yang ia terima." Dokter keluar dari kamar hotel dan berbicara banyak hal kepada sepupu Alena kemudian berlalu pergi. Ia menghampiri Rendra yang menatap ke dalam kamar dan menepuk bahu Rendra. "Saya nggak bisa selalu ada di Jogja, Ndra. Kamu tahu kerjaan saya. Titip Alena ya, Ndra."
Rendra menunggui Alena semalaman tanpa tidur. Tepat pukul tiga pagi gadis itu membuka mata saat Rendra akan beranjak. "Jadi?" tanya Alena lemah.
"Apa?" kata Rendra geram, air mata membayang di matanya. "Om dan tante...bagaimana bisa?" Rendra mengusap lelehan air mata yan sempat keluar. Alena mengusapnya.
"Kak,,,Alena kuat. Tapi dengan kakak...Alena akan lebih kuat. Jangan tinggalkan Alena lagi."
Rendra beranjak, langkahnya terhuyung, pusing karena tidak tidur semalaman.
"Aku mencintaimu kak,"
Rendra tercekat, suara itu bagai mimpi baginya. Namun ia memutuskan untuk keluar dari kamar itu, "Aku ambilkan air," hiburnya.
.
.
.
***
Sepasang kekasih itu duduk di kursi panjang bandara. Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya kata-kata biasa. Perlahan Alena menatap Rendra. "Kakak akan menungguku pulang kan?" tanya Alena.
Rendra hanya mengangguk pelan, Alena menghela napas. "Perempuan seperti kak Arini bukan tipe kakak kan?"
"Hm?" Rendra mengerutkan kening. Kenapa jadi Arini?
"Berjanjilah kakak akan menungguku pulang" Alena mengacungkan kelingkingnya. Rendra melihat Alena sejenak lalu mengikuti permainan janji kelingking itu. Entah berapa kali ia melakukannya.
*
Lebih dari tiga puluh menit melepas kepergian Alena. Rendra masih mendengar suara desing pesawat yang membawa Alena pergi dari eskalator menuju pintu keluar bandara. Ia sampai di atas dan melihat seseorang terhuyung dihadapannya, "Heiii," Rendra mencengkeram lengan gadis itu guna menopangnya. "Kamu baik-baik saja?" gadis itu menoleh dan Rendra baru menyadari siapa yang telah ia selamatkan barusan, Arini. Ada kilatan terkejut di mata gadis itu. "Kamu nggak pa-pa?" ulangnya.
Arini menggeleng, perlahan Rendra melepaskan cengkeramannya lalu melihat ke bawah. "Kita bisa terguling di eskalator tadi,," Rendra tertawa kecil. Arini mengerutkan kening yang membuat senyum Rendra hilang.
"Terimakasih, saya permisi," kata Arini berbalik pergi.
"Tunggu..." sahut Rendra, Arini menoleh ketika beberapa langkah.
"Arini...!!"
Rendra menghentikan langkahnya untuk mendekati Arini. Tentu saja Arini tidak menoleh ke arahnya, suara Rendra terlalu kecil untuk dapat gadis itu dengar. Seorang pria melewati Rendra dan berdiri di hadapan Arini. Rendra hanya berdiri mematung melihat mereka berbicara dan menjauh meninggalkannya. Rendra menggelengkan kepala pelan, ia merapikan jas yang ia kenakan kemudian melangkah ke arah yang berbeda.
Entah kenapa waktu kita tak pernah tepat?
.
.
.
10 tahun yang lalu
"Hujan, Yan" Arini menengadahkan sebelah tangannya di pinggir koridor dan merasakan tetesan air hujan mengenai telapak tangannya. Rendra melirikkan matanya sedikit demi mendengarkan kata-kata Arini.
"Iya, aku tahu ini hujan. Terus..?" ujar Arian sambil menyilangkan kedua tangannya ke depan.
"Aku pulangnya gimana...?"
"Astaga," Arian menepuk jidatnya, Arini melihatnya. "Aku lupa ngembaliin buku di perpustakaan, Rin tunggu sini! Sebentar aku balik lagi" Arian meninggalkan Arini tanpa berkata-kata lagi.
"Rin,"
"ya?" Arini menoleh cepat, tersenyum cerah ke arah lawan bicaranya sebelum ia terlihat gugup ketika melihat Rendra disampingnya.
"bolpoin kamu jatuh..." katanya datar. Arini melihat ke lantai kemudian memungut bolpoinnya.
"terimakasih," kata Arini sambil tersenyum ke arah Rendra. Rendra hanya melihatnya datar kemudian menoleh ke arah lain. Arini memutuskan untuk melihat hujan lagi.
Rendra menoleh Arini kembali, "emm.."
"Rend, ketua OSIS nyariin kita sekarang." Beberapa orang teman Rendra datang dari arah kantin dan menghampiri Rendra,
"sebentar,"
"ayok, sepuluh menit lagi kita juga harus latihan."
Arini melihat lima sekawan itu pergi menjauh, termasuk Rendra. Dan tiba-tiba saja Arian menubruk Arini sambil terengah-engah.
"Yan, santai.."
"gawat, gue lupa kalau ada rapat OSIS. Pinjem bolpoin..." Arian merebut bolpoin di tangan Arini kemudian berjalan ke arah kepergian Rendra dan teman-temannya tadi.
"Yan.." panggil Arini. Pria itu berbalik.
"Apa lagi?"
"Bolpoinnya udah nggak ada tintanya, udah habis,,"
"Hah,?"
Aku hanya pernah salah membuka pintu hatiku untuk seseorang, membiarkan ruhnya terbang namun tak pernah sampai pada tujuannya. terombang-ambing entah di udara, laut lepas atau terseret ombak ke tepi, aku tak pernah tahu. Aku tak pernah tahu nama dari perasaan itu.
.
.
.
Arini kembali menoleh ke arah kliennya setelah cukup lama memandang kepergian Rendra. Entah harus ia apakan perasaan yang tertancap kuat di hatinya sejak sepuluh tahun yang lalu. Dan kedatangan Rendra kembali dalam hidupnya merusak kembali tatanan di hati Arini. Ia seakan tidak bisa mengendalikan perasaannya, sampai kapan ia akan seperti ini? Sedangkan ia juga harus siap ketika nantinya Rendra akan kembali pergi setelah pernikahannya dengan Alena.