Cuaca lebih cerah pagi ini. Arini mengikuti seminar bertema kewirausahaan di hotel Cenderawasih. Di pertengahan acara seorang pria duduk di sebelah kursinya. Memang sejak awal acara kursi itu kosong. Mereka saling tersenyum kemudian kembali fokus pada acara.
"kamu tahu kemungkinan keberhasilan kita dalam berwirausaha tidak terlepas dari seberapa banyak relasi yang mungkin kita dapatkan."
Arini menoleh pria yang ada di sampingnya kemudian tersenyum.
"ya, semua wirausahawan juga berpikir tentang hal yang sama. Ilmu yang kita dapatkan di sini juga sama..."
"benar. Tapi moderator di depan sana membawakan acara dengan menarik, dan pembicaranya juga terlihat santai tetapi tidak bisa di anggap remeh." Pria di sampingnya menimpali dan seakan tersadar oleh sesuatu, ia mengulurkan tangannya. "kita belum berkenalan, saya Bagas"
"saya Arini," wanita itu menerima uluran tangan Bagas.
"seorang wirausahawan atau bekerja di suatu perusahaan? Bekerja di bidang boga?"
"sebenarnya saya hanya memenuhi undangan dari seorang teman untuk datang di sini,"
"teman?" ulangnya.
"iya, seseorang yang sedang berbicara di depan sebagai pembicara itu sahabat saya."
Keduanya melihat ke arah depan, Bagas terlihat mengangguk-angguk. Merasa harus berbasa-basi, Arini melontarkan pertanyaan sederhana walaupun sebenarnya dirinya adalah pribadi yang pendiam dan tidak terlalu peduli dengan hal-hal disekitarnya.
"anda seorang cheff?"
"oh," Bagas menoleh, "kebetulan saya menginap di hotel ini. Calon ipar saya bekerja di sini jadi saya bisa mengikuti beberapa acara di sini. Saya hanya seorang arsitek di sebuah perusahaan kecil di Singapura."
"Arsitek?" mata Arini berbinar. Ia sangat menyukai profesi itu, dari dulu dia memiliki banyak obsesi tentang interior dan desain rumah, "berapa rumah yang anda desain, atau sudah bermain dalam skala perusahaan? Apa saja yang dilakukan oleh seorang arsitek...?" Arini mengatupkan kedua bibirnya setelah menyadari bahwa ia telah banyak bicara. Dia baru saja mengenal seseorang dan dia tidak bisa menahan keingintahuannya.
Bagas tertawa ringan. Sekarang fokusnya bukan tentang materi yang dibicarakan oleh pengisi acara melainkan pada wanita di sampingnya. Sebentar kemudian pembicaraan mengalir dengan hangat dan lancar. Arini tidak pernah mengira bisa bertemu dengan seseorang yang humble seperti Bagas, terlebih mereka baru bertemu selama belum genap satu jam.
***
Setelah acara berakhir mereka melanjutkan obrolan di cafe hotel tidak jauh dari lokasi acara. Ketika Arini menengok jam tangannya ternyata sudah lewat dari tiga puluh menit.
"bagaimana kalau kita makan siang bareng?" ajak Bagas ketika mengantar Arini sampai di depan hotel. Sebenarnya Arini juga menginginkannya, ia bisa mengobrol dengan Bagas sampai besok apabila diperlukan karena Bagas dapat memberi tahu Arini tentang pengalaman sebagai arsitek yang menarik baginya. Tetapi ia terlanjur ada janji dengan Arian, pembicara yang ada di podium ballroom hotel Cenderawasih waktu acara tadi.
"mungkin lain kali, saya sudah ada janji dengan seseorang." Kata Arini sambil melihat ke arah mobil merah tidak jauh dari tempatnya dan Bagas berdiri. Bagas ikut menoleh, seorang pria bersandar pada kap mobil sambil menyilangkan kedua tangan ke depan yang juga sedang melihat ke arah mereka.
"sayang sekali," Bagas tampak kecewa. "ya, mungkin lain kali"
Mereka berjabat tangan dan mengucapkan salam perpisahan, kemudian Arini melangkah menuju mobil itu, menghampiri seorang pria berkacamata tipis yang menampilkan kesan dewasa, sangat match dengan hidung mancungnya. Bintang yang ada di atas panggung tadi. Arian.
"sepertinya acaraku sudah selesai sejak satu jam yang lalu, bagaimana ini...aku tidak pernah menunggu siapapun selama hidupku."
Arini mengganti permintaan maafnya dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin. Pria itu memandang dibalik bahu Arini. "siapa pria yang bersamamu tadi?"
Arini mengangkat bahu. "seorang kenalan, sudahlah jangan menginterogasi lagi. Gara-gara ulang tahunmu ini aku harus meminta Naura untuk menggantikanku menemui klien." Katanya sambil masuk mobil, Arian mengikuti.
"aku kan hanya bertanya." kata pria itu sambil menegakkan tubuhnya dari kap mobil, ia menurunkan silangan tangannya.
Bagas menatap mobil Arini yang berjalan menjauh. Kelihatannya Arini adalah wanita polos dan mudah percaya dengan orang lain, Bagas menjadi sedikit merasa bersalah karena terlanjur melibatkan wanita itu ke dalam permasalahannya.
Ponselnya berdering membuat lamunan Bagas buyar.
"ya?" serunya ketika ia menempelkan ponsel pada telinganya. Ia berbalik langkah memasuki hotel itu lagi "aku di hotel kekasihmu sekarang. Sebaiknya cepat carikan aku tempat tinggal yang layak, kalau tidak jangan harap kalian bisa menikah."
***
"Astaga orang ini..." Alena menutup telponnya dengan kesal. Orang itu tidak pernah membuat hidupnya merasa tenang. Alena menoleh pria di sampingnya yang fokus antara kemudi dan jalan. Ia mendengus pasrah. Apakah semua pria memang secuek ini?
"Kak..." rengeknya. Pria di sampingnya menoleh sebentar. "ada tawaran bagus untuk aku, tapi aku masih perlu memikirkannya..."
"apa?"
"masih sama..."
"tentang syuting videoklip itu?"
"Kak Rendra masih ingat??" Alena bersemangat, namun semangatnya luntur ketika reaksi wajah pria itu bertambah datar. "apa tanggapan kakak, aku harus pergi kan?" tanyanya hati-hati.
"Lalu kenapa kita pergi bersama sekarang? Seharusnya kamu bersiap untuk syuting bukan?"
"kak Rendra...." rengek Alena sekali lagi. Pria yang dipanggil Rendra itu menggelengkan kepala.
Mobil silver itu parkir di areal yang cukup luas sebuah gedung wedding organizer. Gedung tersebut tampak sederhana akan tetapi terasa nyaman dan asri. Lokasi yang strategis untuk menjalankan usaha yang ramah lingkungan. Rendra dan Alena keluar dari mobil. Beberapa pohon rindang berjajar seakan mengantar setiap tamu yang datang untuk memasuki gedung.
Setelah mereka masuk melalui pintu kaca, sebuah taman kecil berdiameter satu meter menghiasi teras ruangan. Tanaman bunga kertas yang jarang mereka lihat tumbuh di samping air mancur yang mengalirkan air pada parit kecil yang mengelilingi taman.
Ruangan ini memiliki lay out yang sempurna. Di tepi ruangan terpajang karangan-karangan bunga dan foto-foto pernikahan. Di sisi sebelah kiri pintu masuk ada sebuah almari kaca di mana terpajang aneka macam pernak-pernik aksesoris, sedangkan disisi kanan beraneka macam gaun pengantin terpasang pada manequine dengan indahnya.
Lebih masuk ke dalam ruangan, namun masih dapat terlihat dari pintu masuk ada jajaran anak tangga marmer yang meliuk ke lantai atas. Alena dan Rendra terkesima sejenak.
"seleranya lumayan." Kata Alena. Rendra menoleh.
Sesaat kemudian seorang wanita muda muncul dari ruangan di balik tangga dan melangkah mendekati mereka. "permisi, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah.
"iya tentu, saya Alena Larasati. Ingin bertemu dengan Ibu Arini. Kami sudah membuat janji dengannya."
"oh astaga...iya mbak Alena" wanita itu tampak baru menyadari siapa yang ada di hadapannya. Rendra sudah terlalu sering melihat ekspresi seperti ini saat sedang bersama Alena. Siapa yang tidak mengenal fotomodel itu sedangkan fotonya terpapang jelas di setiap majalah fashion dan kecantikan.
"saya Naura yang akan menjelaskan perjanjian kerjasama hari ini, kebetulan pemilik Wedding Organizer ini sedang ada keperluan di luar. Tapi lusa dia akan menemui kalian." Jelas wanita itu. Rendra dan Alena mengangguk paham.
Mereka memasuki ruang tamu dan mulai mendiskusikan beberapa hal dalam kerjasama ini. Naura tampak sangat terampil dalam menjelaskan tentang tema yang ditawarkan dan detail acaranya. Rendra termenung sesaat ketika menyaksikan Alena dan Naura membahas sesuatu yang tidak ia mengerti. Selanjutnya ia hanya melihat ke sekeliling ruangan.
***
Senja,
Jingga ini menguap tanpa satupun kisah tentangnya
Namun rindu ini tak lantas hilang
Petang telah meyakinkanku untuk melepasmu pergi
Perlahan saja
Walau semburat warna nila dan oranye masih tetap ada
Perlahan saja
Walau jejak-jejak kenangan masih terngiang di dalam jiwa
Perlahan saja
Walau logika terus melukai asa
Asa dalam cinta
Rendra
.
.