"Iya, Bu Ning. Kami sekeluarga juga masih sangat terkejut dan merasa kehilangan atas meninggalnya kakek. Tapi semuanya sudah takdir," ucap Lingga dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya. Oh, jadi Tuan Tirta itu adalah almarhum kakeknya Lingga.
Setelah reuni singkat itu, aku memesan makanan dan minuman. Hanya aku yang memesan makanan, sedangkan Lingga hanya memesan secangkir kopi panas.
Hari ini, Lingga berubah menjadi pria yang perhatian. Ia membasuh tangan kananku dengan air setelah makan, kemudian mengelapnya hingga kering. Ia juga yang mengelap keringat di dahiku saat aku masih makan. Sepele namun terasa bahagia.
Apakah aku boleh bahagia? Kuharap ia benar-benar melakukannya dengan tulus. Aku harap dialah yang menjadi masa depanku kelak.
Aku takut. Aku takut jika semua yang kualami hari ini akan hancur seperti kemarin.
Kuharap ia tidak berubah menjadi dingin kembali. Kuharap ia tidak akan berpaling dariku.
Maya POV
Di perjalanan dari restoran sederhana itu aku meminta Lingga untuk menurunkanku di restoran milik Raynar. Bagaimanapun juga aku harus profesional. Walaupun awalnya Lingga menyuruhku untuk berhenti bekerja di sana, tapi aku tidak setuju dengan perintah Lingga. Aku menyukai suasana di sana, pegawainya yang ramah dan terlebih aku tidak akan mati karena kebosanan di rumah.
Selama perjalanan menuju restoran Raynar, kami berbincang banyak. Mulai dari sejarah restoran sederhana itu, tentang kakek dan segala warisannya bahkan tentang hal-hal yang tidak penting pun. Aku juga mengetahui bahwa baru-baru ini Lingga telah menerima warisan dari almarhum kakeknya yakni sebuah pabrik sepatu kulit yang ada di Tangerang.
"Lingga. Hmm.... Tentang restoran yang tadi. Apa Ara pernah kau ajak ke sana?" tanyaku. Pertanyaan sialan yang tiba-tiba muncul dari mulutku. Itu sama saja dengan bermain api. Shit!
"Ara? Tentu tidak pernah. Kau adalah orang asing pertama yang kuajak ke sana. Ara tidak akan mau makan di restoran sederhana itu. Ia sangat menyukai restoran mewah," ia menjawab pertanyaanku dengan mata yang berbinar-binar. Seakan-akan hatinya bahagia ketika membicarakan Ara.
Dapat kulihat bahwa masih ada rasa cinta yang sangat terlihat mencolok di binar matanya. Aku merasa terbakar oleh pertanyaanku sendiri. Damn! Perasaan yang tadinya sangat bahagia, kini berubah menjadi sesak. Serasa habis diterbangkan kemudian jatuh kembali.
Aku terdiam membisu setelah pernyataan Lingga. Aku hanya terdiam mendengar Lingga berbicara. Membicarakan apa saja yang ingin dikatakannya. Seakan ia tidak peduli denganku. Dengan perasaanku.
Yah, aku memang harus terbangun dari mimpi. Aku harus ingat bahwa akulah yang baru di sini. Sementara Ara adalah tokoh utama dari kehidupan Lingga. Sebelum ada aku, Ara lah yang telah mengisi hati Lingga.
Aku hanya tersenyum kecut menyadari fakta itu. Mengapa aku dengan mudahnya terbawa perasaan? Ah, ini membuatku gila!
************
Author POV
Beberapa menit pun terlalui. Maya dan Lingga pun akhirnya tiba di parkiran restoran milik Raynar.
Lingga dengan sigap membukakan pintu mobil untuk Maya dan membantunya turun dari mobil. Dari dalam restoran, Raynar melihat semua yang mereka lakukan. Atau lebih tepatnya dengan apa yang Lingga lakukan.
Mereka berdua pun masuk ke dalam restoran dengan bergandengan tangan. Maya terlihat sangat malu dengan apa yang ia lakukan itu. Berbeda dengan Lingga, ia terlihat sangat bangga dan justru memamerkan kebersamaanya dengan Maya kepada pelanggan di sana.
"Kau sudah tiba? Darimana saja kau?" tanya Raynar kepada Maya.
"Ia habis sarapan bersamaku. Di restoran favorit kakek," jawab Lingga dengan santai. Ia memang sengaja menjawab pertanyaan yang dilontarkan Raynar kepada Maya agar tidak ada interaksi antara Maya dengan Raynar.
"Aku bertanya kepada Maya. Bukan kepadamu!" Raynar begitu marah dengan Lingga. Tapi buru-buru ia tahan karena ia harus menjaga image ketika di depan pelanggan.
Ia menghela napas panjang kemudian menatap Maya dengan lembut.
"Kau masuklah dulu, May. Aku perlu bicara dengan tunanganmu ini. Kau bocah, ikut aku ke ruanganku!" mereka berdua lalu masuk ke ruangan Raynar.
Semua pegawai pun mulai berbisik-bisik membicarakan atasannya itu. Mereka tak pernah sekalipun melihat atasannya begitu emosional.
**********
Di dalam ruangan, Raynar menggebrak meja dengan tangan kanannya. Matanya memerah menahan emosi. Rahangnya menguat seakan giginya akan patah.
"Apa yang kau rencanakan?! Kau akan menyakiti Maya dengan bualanmu?!" tanyanya dengan tatapan tajamnya.
"Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika aku mengatakan kalau aku.... mulai.... mencintai.... Maya?? Hahahaha!!" ucap Lingga disertai dengan tawanya yang menggelegar.
Raynar yang mendengar pernyataan Lingga sontak semakin membuatnya emosi. Wajahnya memerah dan kedua alisnya saling bertautan. Sebelum ia mengatakan sesuatu, Lingga terlebih dulu menyela pembicaraan.
"Dan Kakak tidak berhak atas Maya. Kakak juga tidak akan memiliki Maya. Hanya aku, Kak. Hanya aku yang bisa membahagiakannya," ucap Lingga dengan nada santai. Seakan tidak peduli dengan kemarahan Raynar yang sudah di ubun-ubun.
"Kuberitahu kau, bocah. Jangan sekali-sekali kau bermain api. Jika kau melakukannya, kau akan terbakar oleh api yang kau ciptakan sendiri. Kau harus bisa melepaskan salah satu dari mereka. Ara atau Maya, itu yang harus kau pilih!" ucap Raynar sembari melangkahkan kakinya menuju ke luar ruangannya sendiri meninggalkan Lingga yang masih berdiri termenung memikirkan kalimat yang baru saja ia ucapkan itu.
Author POV
Di dalam kamar dari sebuah rumah yang sangat sederhana nampak seorang gadis berambut cepak berwarna pirang yang menatap kesal layar ponselnya. Wajahnya nampak cemberut dengan bibir yang dimanyunkan.
Berulang kali ia menelfon seseorang, namun berulang kali pula ia mendapati telfonnya tidak dijawab. Emosinya pun semakin meledak-ledak ketika mendapati Papanya baru pulang setelah tiga hari pergi tanpa pamit. Papanya pulang dalam keadaan mabuk parah, mulutnya komat-kamit seperti mengatakan sesuatu namun tak jelas apa yang dikatakannya.
Sesekali ia nenjambak rambutnya sendiri karena kesal dengan keadaannya yang semrawut. Entah keadaan asmaranya maupun keadaan keluarganya yang berantakan.
Mamanya telah tiada ketika ia masih anak-anak dan hanya Papanyalah satu-satunya keluarga yang ia punya. Papa yang sebenarnya malas untuk ia anggap sebagai orang tua, karena memang setiap hari pekerjaanya hanya mabuk dan judi. Menghabiskan uang gadis itu tanpa belas kasihan.
"Ara!!! Kau punya uang, anak Papa yang manis?? Hm? Cepat berikan pada Papa," ucap pria tua dengan tubuh yang gontai karena efek mabuk.
Yup, gadis itu adalah Arabella Floyd. Kekasih Lingga yang tidak begitu ia cintai. Sebenarnya tujuan awal Ara mendekati Lingga hanya karena status sosial Lingga.
"Aku tidak punya uang! Kalaupun aku punya, aku tidak akan memberikannya padamu! Dasar brengsek!" umpat Ara kepada orang tua kandungnya sendiri.
"Dengan caraku mendekatinya, aku akan punya uang! Dan uang itulah yang kuberikan kepadamu. Dasar orang tua tidak berguna!! Carilah pekerjaan! Jangan hanya judi dan mabuk saja!" ucap Ara dengan mata berubah merah karena emosi dan menangis.