Tapi, aku sadar kalau aku juga bodoh. Sangat bodoh bahkan. Aku tak berhak marah atau bahkan cemburu. Karena di saat dia bersama dengan pria lain, aku malah bermesraan dengan wanita lain. Apakah memang aku sebrengsek yang dikatakan Kak Rei? Apakah benar? Entahlah.
Hari ini adalah ulang tahun Kak Ana dan Ara memaksakan diri untuk hadir di acara itu. Sebenarnya aku tak mau patuh hadir. Aku takut jika itu menyakiti perasaan Maya. Tapi, pagi tadi Ara menyeretku pergi ke suatu butik terkenal di Jakarta Selatan. Ia memaksaku untuk membelikannya gaun. Aaah! Lagi-lagi uangku terkuras untuknya.
Ia juga memilihkanku kemeja yang sewarna dengan gaunnya. Semuanya ia yang mengatur. Aku hanya menurut saja.
Malam pun tiba. Acara telah dimulai beberapa menit yang lalu. Kami terlambat karena Ara yang terlalu lama berdandan. Aku sedari tadi hanya melamun, memikirkan apa yang akan terjadi jika Maya tahu kedatangan kami. Aku takut ia akan sakit hati lagi. Aku takut ia akan kecewa lagi.
Mengingat malam ini adalah pesta ulang tahun Kak Ana, yang tak pernah menyukai Maya dari awal. Aku takut jika Kak Ana akan membully Maya, mengingat Papa dan Mama sedang berada di luar kota malam ini.
Ya Tuhan! Apa yang harus kulakukan?
Kami pun tiba di rumah, tempat acara ulang tahun Kak Ana. Ara mulai menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam rumah dan sontak para tamu yang melihat kami langsung bersorak dan menyambut kami dengan gembira.
Aku tersenyum membalas sorakan para tamu itu. Sesekali aku mencium pelipis Ara. Yah, itu menambah rasa khawatirku pada Maya. Aku takut jika ia melihat apa yang baru saja kulakukan tadi.
Dan apa yang kukhawatirkan terjadi. Ia melihatku, menatapku dengan tatapan terkejut dan sedikit berkaca-kaca. Shit! Aku benar-benar merasa bersalah sekarang!
Aku semakin khawatir ketika Kak Ana mendekatinya dan merampas kado yang dipegangnya. Kak Ana langsung menghina Maya sambil membuka kado itu dengan kasar kemudian menenteng isi kado itu yang ternyata adalah sebuah snickers putih. Ia menentengnya sambil menertawakan snickers itu yang dibilangnya barang murahan.
Jujur, aku semakin tak tahan dengan situasi ini. Aku ingin membelanya tapi tak bisa karena ada Ara di sampingku. Aku hanya terdiam dan menatap iba ke arahnya.
Ia hanya menunduk dan menahan tangis. Tangannya memegang erat gaunnya. Sungguh! Aku tak mau melihatnya bersedih.
"Rasakan itu!" ucap Ara yang seketika membuatku menoleh ke arahnya. Aku melihat Ara tersenyum menang atas Maya.
Ku tolehkan lagi ke arah Maya berdiri. Aku semakin tak tega melihatnya. Persetan dengan Ara dan para tamu! Aku memutuskan untuk pergi ke tempat Maya. Aku akan melindunginya. Tak peduli dengan para tamu apalagi Ara.
Tapi, saat aku akan ke sana, aku melihatnya dipeluk oleh seorang pria dari belakang. Pria yang sangat kukenal. Memakai kemeja putih dengan tatapan tajamnya melihat ke arah para tamu dan Kak Ana. Shit!! Kenapa harus Kak Rei lagi? Kenapa harus dia yang membela Maya? Damn! Aku kurang cepat.
Aku semakin terkejut ketika ia mengumumkan bahwa Maya adalah gadisnya dan melarang siapapun untuk mengganggunya, termasuk adiknya sendiri. Double shit!! Maya adalah tunanganku!
Arghhhhhh!! Kenapa harus dia? Otakku serasa mampet. Aku hanya menganga melihatnya dipeluk oleh Kak Rei. Mereka pun akhirnya masuk ke dalam dengan tangan Kak Rei yang menarik lengan Maya. Shit! Mereka bersentuhan.
"Kau kenapa, honey?" tanya Ara. Aku hanya menoleh dan meliriknya tajam.
"What?! Ada apa? Tadi itu tontotan terbaik yang pernah kulihat, sayang." ucap Ara sambil tertawa.
Tak kupedulikan ucapan Ara. Aku ingin menyusul Maya yang saat ini sedang bersama kakak sialanku itu. Saat aku akan pergi, lengan kiriku tiba-tiba digandengnya erat oleh Ara. Bukan hanya itu saja, banyak tamu yang tiba-tiba mendekati kami untuk bertanya-tanya tentang hubungan kami. Aku pun tak bisa menyusul Maya.
**********
Pesta pun selesai. Setelah mengantar Ara ke depan rumah, aku masuk ke dalam. Aku sengaja tidak mengantar pulang Ara ke apartemennya karena malas dan ingin cepat-cepat memeriksa keadaan Maya. Aku hanya beralasan kepada Ara bahwa aku kurang enak badan. Aku memesankannya taksi dan mengantarnya hanya sampai halaman rumah.
Ketika ia sudah masuk ke dalam taksi, aku langsung masuk ke dalam rumah. Aku yakin Maya saat ini sedang berada di dalam kamarnya. Kulangkahkan kakiku menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Ketika sudah sampai depan pintu kamarnya, tepat saat aku akan membuka pintu itu Kak Rei keluar dari kamarnya.
Ia terkejut dengan kedatanganku, namun ekspresinya berganti marah. Mungkin ia masih kesal dengan kejadian tadi.
"Untuk apa kau kemari?" tanyanya sinis.
"Harusnya aku yang bertanya. Untuk apa Kakak kemari?" tanyaku dengan tatapan tajamku.
"Untuk apa katamu? Asal kau tahu saja! Aku selalu ada untuknya! Di saat ia terluka karenamu, aku selalu datang untuk memeluk dan menghiburnya! Dan yang paling penting, aku mencintainya! Aku sudah mengatakannya kemarin lusa. Ingat itu!" ucapnya. Sontak, hatiku terasa panas. Kuarahkan tinjuku mengenai pipi kirinya. Ia tersungkur ke lantai.
"Dan, asal kau tahu, Kak! Aku adalah tunangannya! Dan aku berhak atas dirinya! Kau bukan siapa-siapanya selain hanya kakak tiri, jadi sebaiknya kau diam saja dan urus saja dirimu!" teriakku kepadanya yang masih tersungkur dan memegang pipi kirinya.
Tiba-tiba ia membalas tinjuku dengan meninju pipi kiriku. Aku punya tersungkur ke lantai.
"Tunangan katamu?! Sebagian besar waktumu kau habiskan untuk jalangmu itu dan selalu menyakiti hati Maya! Dan kau menyuruhku untuk mengurus urusanku? Dengarkan kata-kataku dengan baik. Urusan Maya akan selalu menjadi urusanku!! Sebaiknya kau mundur, kau tak cukup pantas atau bahkan sama sekali tak pantas untuknya!" ucapan Kak Rei semakin membuat emosiku menjadi-jadi.
Kami akhirnya saling adu pukul, hingga Maya membuka pintu kamarnya dan melihat kami sedang babak belur akibat adu pukul.
"Ya Tuhan!! Stop semuanya! Stoooop!!!" ia berteriak yangmana memancing semua orang yang ada di rumah mendengar dan menghampiri kami. Termasuk Kak Ana.
Setelah lama beradu pukul, kami pun akhirnya bisa dipisahkan. Aku merasakan nyeri di wajah, terlebih di bagian bibirku. Tangan kananku terasa nyeri dan perih karena meninju tulang wajah Kak Rei yang keras.
Kulirik Kak Rei dan hatiku menjadi panas lagi. Kulihat Matanya terlihat sangat khawatir dengan Kak Rei. Ia memegang wajah babak belur Kak Rei dengan tangan kanannya. Raut wajahnya terlihat sangat khawatir dan seperti akan menangis.
Hei! Kau tunanganku! Aku juga kesakitan di sini! Aku juga korban di sini! Kenapa malah hanya kakakku yang kau perhatikan? Lihatlah wajahku! Aku juga babak belur! Aku juga ingin kau obati!
"Kau tidak apa-apa? Hah!! Semenjak kedatangan Maya, semuanya menjadi kacau! Keluargaku menjadi berantakan! Apa yang akan dilakukan Papa jika sampai tahu kalian bertengkar demi satu gadis tak tahu diri ini?!! Dan, Kak Rei. Kenapa harus Maya? Kau bisa menyuruhku untuk mencarikan gadis yang dengan tipemu kepadaku. Maya sudah menjadi milik Lingga, walaupun aku tak pernah menyetujuinya," ucap Kak Ana.
Yah, memang benar apa yang dikatakan Kak Ana. Mengapa harus Maya?
Kepalaku semakin pusing ketika memikirkan apa yang akan dilakukan Papa jika tahu kejadian ini? Ah, aku kan korban di sini dan pelaku sebenarnya adalah Kak Rei. Pasti Papa tidak akan memarahiku.
Tapi bagaimana jika ada yang mengadu bahwa aku masih berhubungan dengan Ara? Damn!! Apa sudah waktunya aku memutuskan hubunganku dengan Ara? Tapi aku masih belum ingin. Bagaimana ini?!
"Aku tidak akan apa-apa, Kak." kataku kepada Kak Ana. Aku berdiri dan melangkahkan kakiku ke luar rumah. Aku ingin merefresh otakku sejenak. Benar-benar memuakkan.
"Hei! Kau mau kemana?! Kau masih harus diobati!" teriak Kak Ana.