Sebelum pergi, aku sempat melirik ke arah Maya. Aku tak jika ia masih marah kepadaku. Ia mencoba untuk tidak menghiraukanku dan terus mengobati luka di wajah Kak Rei. Kulihat juga di wajahnya, bekas air mata. Matanya dan hidungnya memerah dan bengkak khas orang menangis.
Hatiku sangat sakit. Dulunya, aku tak pernah peduli dengan gadis lain selain Ara. Saat Maya datang ke rumah kami, aku tak pernah memperdulikannya. Aku menganggapnya sebagai benalu yang wajib dibasmi.
Yah, dulunya aku sangat ingin mengusirnya dari rumah. Tapi tak pernah bisa, karena Papa dan Mama sangat menyayanginya. Saking sayangnya, hingga Kak Ana membenci Maya. Sangat iri hingga membullynya di acara ulang tahunnya.
Harusnya aku bisa menghalangi rencana Kak Ana. Harusnya aku yang melindungi Maya. Tapi, itu semua tinggal penyesalan.
Maya POV
Aku terkejut mendengar keributan yang terjadi di depan kamarku. Seperti suara Raynar dan..... Lingga? Untuk apa dia ke kamarku? Hah! Untuk menertawakanku? Atau menggombaliku lagi? Menerbangkanku lalu menjatuhkanku lagi?
Aku mencoba untuk tidak memperdulikan mereka, namun semakin lama keributan itu semakin menjadi-jadi. Terdengar juga seperti suara pukulan dan seseorang yang jatuh ke lantai. Sontak aku membuka pintu kamarku dan terkejutnya diriku melihat mereka berdua babak belur karena saling adu pukul.
Wajah mereka berdua sama-sama memerah dan berdarah. Ya Tuhan! Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Lingga, wajahnya terlihat sangat marah dengan mata yang memerah dan rambut yang acak-acakan. Kemejanya digulung sampai siku dan kancing atasnya tak dikaitkan. Ujung bibirnya terluka dan tangannya terlihat memerah.
Sebenarnya aku sangat ingin menolong Lingga, tapi hatiku masih sangat sesak dan terluka karena dirinya. Alhasil, Raynarlah yang kutolong. Kuobati luka-lukanya tanpa menghiraukan tatapan tajam Lingga. Aku meliriknya sekilas dan menangkap sinar matanya yang kecewa. Seakan ia mengharapkanku untuk mengobati lukanya tapi tidak terkabul. Biarkan saja! Masa bodoh dengan tatapan melasnya!
Ia kemudian berdiri dengan gontai karena fisiknya yang masih lemah karena adu pukul tadi dan berjalan ke luar rumah. Aku menghela napas panjang sambil memberi plester luka ke pipi atas Raynar.
"Terimakasih, May." ucapnya sambil tersenyum dan menatapku dalam.
"Iya sama-sama, Kak." jawabku singkat dengan tidak menatap matanya lama-lama. Tatapannya terlihat sangat menginginkanku dan aku tak suka itu. Aku merasa tak nyaman dengan tatapan itu.
Akhirnya aku pun masuk ke dalam kamar. Fisik dan batinku begitu lelah. Di waktu sebelumnya ketika aku seperti ini, aku akan mencurahkan segala kesulitanku kepada Cyntia. Namun sekarang ia telah pergi ke negeri yang jauh. Uhhh!! Lebih baik aku tidur saja. Mungkin saat aku bangun besok, aku akan segar kembali.
Hingga larut malam tiba, mataku tak juga terpejam. Sepi dan sunyi suasana rumah. Hanya detak jam yang terdengar. Aku sudah mencoba untuk memejamkan mataku tapi selalu gagal. Aku juga mencoba membaca buku agar maAkhirnya aku pun bangkit dari tidurku dan berjalan menuju balkon kamarku. Malam ini sangat dingin. Angin malam berhembus lembut mengenai wajahku. Lembut tapi mampu membacok tulang oleh dinginnya.
Aku masih teringat dengan keganasan Ana yang membullyku habis-habisan di pesta ulang tahunnya tadi. Sangat menyakitkan. Aku masih teringat dengan ekspresinya yang sangat membenciku dan sangat senang ketika semua tamu menertawakanku. Aku juga masih teringat dengan sikap mesra Lingga kepada Ara saat pertama datang. Dan juga ekspresi bahagia Ara yang seakan menang dariku.
Hari ini begitu banyak kesialan yang terjadi padaku. Entah itu kesialan atau ujian, aku tak tahu. Kupejamkan mataku dan kuhirup udara malam itu dalam-dalam.
Tak beberapa lama kemudian, aku mendengar suara mobil yang datang. Apakah Mama dan Papa datang? Kata Mbok Romlah, Papa dan Mama ada acara keluarga di Depok dan dengan terpaksa tidak bisa hadir di acara ulang tahun Ana.
Yah, mungkin saja itu Mama dan Papa yang baru datang. Tapi, setelah kulihat lagi hanya satu orang yang keluar. Seorang pria. Seketika aku ingat bahwa tadi Lingga pergi ke luar. Yah, itu mungkin Lingga.
Ia keluar dari mobilnya dan tak sengaja melihat ke arah kamarku. Mata kami pun tak sengaja saling bertatapan. Aku memalingkan pandanganku karena aku masih marah dengannya. Tak kuhiraukan dirinya dan memilih untuk masuk ke dalam kamar karena dingin yang semakin menjadi.
Kututupi seluruh tubuhku dengan selimut tebal. Kupaksa pejamkan mataku tapi tak bisa. Aku teringat dengan tatapan Lingga yang seperti merasa bersalah. Aku ingat lagi luka-luka di wajahnya belum juga diobati. Kukira ia pergi menemui Ara, tapi sepertinya bukan.
Duk! Duk! Duk!
Tiba-tiba pintu kamarku digedor oleh seseorang.
"May, buka!! Aku tahu kau belum tidur! Buka!" aku mengenali suaranya. Lingga. Dari suaranya, ia seperti sedang mabuk.
"Maya!! Rismaya! Cepat buka pintumu!" teriaknya dengan suara khas orang mabuk.
Aku takut jika semua penghuni rumah menjadi terbangun karena suaranya. Akhirnya dengan terpaksa kulangkahkan kakiku menuju pintu kamarku dan kubuka. Saat pintu kubuka, tiba-tiba tubuhku dipeluk erat olehnya. Karena terkejut, aku memundurkan tubuhku dan kami berdua pun masuk ke dalam kamarku.
Di dalam kamar pun ia masih saja memelukku, malah semakin erat hingga aku kesulitan bernapas. Ia memelukku sambil menciumi pipiku dan membisikkan kata maaf. Berkali-kali.
"Maaf, Maya. Maafkan aku. Aku benar-benar brengsek. Aku benar-benar bejat. Aku tak bisa membahagiakanmu. Aku tak mau kau bersama pria lain. Aku tak mau kau bersama Kak Rei!" ucapnya. Ia terisak dalam pelukannya.
Jujur, aku tak mengerti dengan sikapnya saat ini. Apalagi sekarang dirinya sedang dalam kondisi mabuk. Kucoba untuk melepaskan pelukannya, namun ia malah mengeratkannya kembali.
"Maafkan aku, Maya!" gumamnya namun masih sangat terdengar di telingaku.
"I... Iya aku maafkan. Sekarang lepas dulu," jawabku sambil berusaha melepaskan diri dari pelukannya.
"Tidak mau!! Nanti kau akan bersama Kak Rei lagi!" gumamnya. Hah! Anak ini kenapa berpikiran kalau aku juga menyukai Raynar? Dasar aneh! Dasar tidak peka!!
Karena tidak mau lepas, akhirnya kujambak rambutnya agar mau melepaskan pelukannya.
"Aawwww!!! Sakit, May! Shit!!" ia mengusap-usap kepalanya karena jambakanku lumayan kencang. Aku tertawa melihatnya kesakitan. Wajahnya semakin aneh saja.
"Kau tertawa? Tega sekali kau! Sakit tahu!" ucapnya sambil terus mengusap kepalanya.
Ia pun kemudian duduk di kasurku. Bukan duduk sih, tapi langsung berbaring. Aku memutuskan untuk keluar kamar sebentar untuk mengambil kotak obat di dapur.
"Kau mau kemana?" tanyanya sambil duduk kembali.
"Aku akan segera kembali," segera kulangkahkan kakiku menuju lantai bawah. Tak kuhiraukan suara Lingga yang terus bertanya kemana aku akan pergi. Ah, berbisik sekali dia!
Setelah kuambil, aku kembali ke kamar dan kulihat ia yang awalnya berbaring kemudian duduk kembali.
Aku duduk di sampingnya. Kuoleskan obat di wajahnya yang terluka dengan diam. Aku tak tahu apa yang harus kubicarakan.
"Kau masih marah?" tanyanya yang mungkin heran dengan sikap diamku.