Yah, memang inilah jalan takdirku. Ia memang dari keluarga yang cukup kaya, sedangkan aku? Hanyalah seorang yatim piatu yang diangkat sebagai anak di keluarga Adiwilaga. Tak ada yang perlu dibanggakan dari seorang anak tiri.
"Maafkan aku, Cyn. Maaf untuk semuanya. Sebenarnya aku ingin mengantarmu ke bandara, tapi aku benar-benar tidak bisa. Aku sungkan dengan Mama jika aku egois," ucapku. Sungguh, aku merasa sangat bersalah kepadanya.
"Ah, itu tidak masalah, May. Aku paham kondisimu kok. Lagipula tidak enak juga jika kau memaksakan diri untuk mengantarku jika sedang ada acara di rumah. Nanti jika aku sudah akan berangkat ataupun sampai di sana, akan kukabari. Pasti," ucapnya dengan semangat.
Sepertinya memang ia sangat menginginkan ini. Ah, senangnya punya banyak yang. Bisa pergi kemanapun kita suka tanpa memikirkan berapa biaya yang dibutuhkan.
"Hati-hati di jalan, Cyn. Jaga kesehatan dan selalu kabari aku. Paham?" sungguh berat rasanya untuk melepasnya.
"Hm! Aku paham, sayang. Sudah dulu ya. Aku mau melanjutkan packing barang-barangku. Bye, Maya." aku membalas ucapannya lalu menutup telefonnya.
Hah! Aku menghela napas panjang. Sungguh, rasanya hatiku begitu kosong. Aku hanya duduk melamun. Pikiranku entah kemana. Cyntia adalah moodmaker-ku, tapi sekarang ia pergi ke negara yang begitu jauh. Walaupun kami masih bisa saling berhubungan, tapi bagiku sedikit agak sulit mengingat jarak kami yang terlalu jauh.
*************
Malam pun tiba. Aku pulang bersama Raynar. Sebenarnya aku tak mau satu mobil dengannya, tapi terpaksa kuterima tumpangannya karena aku tak mau terlambat pulang. Lagipula, sudah lama aku menunggu tak ada satupun taksi kosong yang lewat.
Kami pulang sekitar pukul enam sore. Kemudian aku bersiap diri dan membantu untuk menyiapkan acara pesta itu. Aku juga sudah menyiapkan sebuah kado untuk Ana yang kubeli beberapa waktu lalu bersama Raynar. Semoga saja Ana menyukai kadoku.
Acara pun dimulai. Ternyata banyak sekali relasi ataupun teman Ana yang hadir. Semuanya dari keluarga terpandang. Melihat siapa saja yang datang, aku merasa tak percaya diri. Mereka semua berasal dari keluarga kaya, sedangkan aku? Aku menunduk sambil berdiri dengan membawa sebuah kado.
Aku merasa tempat ini bukanlah tempatku. Mereka terlalu tinggi untuk digapai. Kehadiranku di sini tidak berarti apapun selain hanya dijadikan sebagai pembantu. Aku memutuskan untuk mundur dari tempatku berdiri. Mungkin sebaiknya aku ke dapur saja, bersama dengan Mbok Romlah.
Ketika aku akan berbalik menuju dapur, terdengar suara riuh tamu yang menyambut kedatangan dari sepasang kekasih. Para tamu nampak sangat senang menyambut sejoli itu, begitu pula Ana. Aku yang penasaran akhirnya kuurungkan niatku untuk kembali ke dapur.
Aku melihat siapa yang mereka maksud. Dan terkejutnya diriku, ternyata sejoli itu adalah Lingga dan Ara. Mereka tampak serasi dengan setelan kemeja berwarna hitam untuk Lingga dan gaun selutut berwarna hitam untuk Ara. Sangat cocok.
Mereka berdua juga nampak sangat bahagia. Berjalan bergandengan tangan seperti suami istri. Raut wajah gembira yang tak pernah pudar dan sesekali Lingga mengecup pelipis Ara. Sangat mesra.
Kemesraan itulah yang membuatku panas dan sesak. Sepertinya memang tak ada lagi alasanku untuk datang ke pesta ini. Seharusnya aku mengantar Cyntia tadi. Kekecewaan mulai menggerogoti hatiku. Rasa sesak dan panas mulai mendominasi perasaanku.
Aku mulai goyah. Aku butuh pegangan. Aku butuh Cyntia sebagai moodboaster-ku. Tapi sekarang ia telah pergi ke negeri yang jauh. Meninggalkanku sendirian di sini.
"Kau tidak apa-apa? Kalau kau sakit, istirahatlah dulu di dalam. Jangan dipaksakan," tiba-tiba Raynar muncul dari belakangku. Mengagetkanku dengan pertanyaannya. Bukan, perhatiannya.
"Aku tidak apa-apa, Kak. Sungguh," jawabku dengan senyum yang kupaksakan.
Kami hanya mengobrol sebentar tapi nampaknya para tamu salah paham. Mereka mengira bahwa aku adalah kekasih Raynar.
"Oh, jadi gadis itu pacarnya Kak Raynar. Pantas saja mesra," ucap salah satu tamu.
What? Mesra? Apa dia sudah buta? Raynar hanya menanyaiku sambil memegang pundakku. Dan itu dianggap mesra?
Bukan hanya satu tamu itu saja yang menganggapku sebagai kekasih Raynar yang sengaja disembunyikan, hampir semua tamu satu pendapat. Jujur, aku bingung dengan situasi ini. Aku hanya tersenyum kecut sambil melihat ekspresi serius Raynar. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku berharap ia akan menyangkal semua tuduhan tamu-tamu itu.
Aku melihat ke arah Lingga yang menatap ke arah kami. Bukan, lebih tepatnya ke arahku. Sedangkan Ara, ia hanya menyeringai. Ekspresinya kali ini seperti melihat rusa yang akan dimangsa singa.
Saat diriku kebingungan, Ana tiba-tiba berjalan ke arahku dan menyambar kado yang kubawa.
"Untukku?" tanyanya.
"I... Iya, Kak. Aku harap Kakak suka," jawabku dengan tertatih-tatih.
"Kubuka sekarang ya," ucapannya sontak membuatku kaget. Ini belum saatnya buka kado tapi ia sudah akan membuka kado dariku. Apa maksudnya? Apa lagi yang akan direncanakannya?
Dibukanya dengan tidak sabar dan ia sangat terkejut dengan isi kado yang kupilihkan untuknya. Sebuah snickers putih yang memang tidak terlalu mahal baginya.
"Barang murahan! Iyuh! Lihat! Gadis ini tidak cocok bersanding dengan keluarga Adiwilaga! Ia tidak cocok menjadi kekasih Kak Rei! Hahahaha," ucapannya setengah berteriak. Ia mengucapkannya sambil menenteng snickers dariku.
Sakit hati? Itu jelas. Kecewa? Sangat. Malu? Sudah pasti. Seumur hidupku, aku tak pernah dipermalukan. Ini yang pertama kali dan sangat sadis! Aku hanya menunduk. Malu bercampur sedih kurasakan bersama.
Tiba-tiba tubuhku dipeluk Raynar. Wajahku berhadapan langsung dengan dada bidangnya. Sangat hangat.
"Gadis ini milikku! Siapapun yang menghinanya akan berhadapan langsung denganku! Termasuk adik kandungku sendiri!" ucapannya tegas. Aku mendongak, melihat ke arah. Kulihat rahangnya menegang dan matanya menatap tajam ke arah para tamu. Terlebih ke arah Ana.
Raynar lalu menarik tubuhku menuju ke dalam rumah untuk menenangkanku. Sebelum meninggalkan tempat terkutuk itu, aku sempat melirik ke arah Lingga. Ekspresinya sulit untuk kuartikan. Mulutnya menganga dan tatapan matanya seperti marah dan kecewa secara bersamaan. Entahlah. Sedangkan Ana, ia masih tetap pada ekspresi menyeringainya.
Tanganku terus digenggam dan ditarik oleh Raynar. Ternyata ia membawaku ke kamarku. Sesampainya di kamarku, ia langsung memelukku erat dan mengelus punggungku dengan lembut. Aku mulai merasa nyaman kembali.
Tak sengaja air mataku tumpah ruah saat dipelukannya. Aku merasa menemukan lagi tempat untuk berlindung. Aku menangis meraung di dalam pelukannya. Aku tak peduli dengan kemejanya yang basah karena air mataku ataupun telinganya yang tak kuat mendengar raunganku.
Aku ingin menumpahkan segalanya saat ini.
Lingga POV
Aku tak tahu dengan apa yang kurasakan. Bingung? Itu jelas. Marah? Mungkin. Cemburu? Entahlah. Yang pasti aku tak pernah suka melihat Maya bersama dengan Kak Rei.
Aku ini tunangannya. Jadi, yang seharusnya bersamanya adalah aku. Yang melindunginya harusnya aku. Yang menghiburnya harusnya aku. Bukan Kak Rei!
Tapi, aku sadar kalau aku juga bodoh. Sangat bodoh bahkan. Aku tak berhak marah atau bahkan cemburu. Karena di saat dia bersama dengan pria lain, aku malah bermesraan dengan wanita lain. Apakah memang aku sebrengsek yang dikatakan Kak Rei? Apakah benar? Entahlah.