"Kesalahanmu adalah kau tidak peka dengan perasaanku, May," batin Raynar dalam hati.
"Tidak ada kesalahan. Tapi, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Aku ingin kau menemaniku memberikan hadiah untuk Ana," ucapan Raynar memang tak sepenuhnya bohong. Sebentar lagi adalah ulang tahun Ana, adik perempuannya. Dan ia pasti akan membelikannya.
"Kak Ana akan berulang tahun, Kak? Kapan?" tanya Maya dengan antusias. Bagaimanapun juga Ana adalah kakak tirinya dan ia merasa harus selalu berbuat baik meskipun selalu dibalas buruk oleh Ana.
"Besok lusa. Jadi, kau mau menemaniku?" Raynar sungguh tidak sabar mendengar jawaban Maya.
"Tentu saja, Kak. Tapi aku tidak tahu apa yang disukai Kak Ana. Ah, tenang saja. Nanti sesampainya di Mall aku akan dengan sepenuh hati memilihkan hadiah untuk Kak Ana. Kita akan ke Mall kan, Kak Rei?" tanya Maya.
Raynar sangat bahagia melihat sikap antusias Maya. Itu artinya selangkah lagi ia bisa menyatakan perasaannya kepada Maya.
"Iya, May. Kita berangkat sekarang yuk," Raynar kemudian mengambil kunci mobilnya dan berjalan menuju parkiran restoran bersama dengan Maya.
************
Ternyata Mall yang menjadi tujuan mereka "berkencan" cukup jauh dari restoran.
Sesampainya di Mall itu mereka turun dari mobil dan berjalan berdampingan. Sesekali mereka bersendau gurau membicarakan sesuatu yang lucu. Mereka terlihat cukup dekat hingga tak sadar bahwa ada dua pasang mata yang melihat mereka dari kejauhan.
Hingga semakin dekat pun sejoli itu tak juga sadar dengan apa yang ada di depannya. Hingga sebuah suara muncul.
"Maya! Kau bersamanya?" suara pria itu cukup mengagetkan Maya sekaligus Raynar. Mereka sama-sama memandang pria yang ada di depannya beserta gadis yang digandengnya.
"Apa urusanmu? Maya bersamaku karena memang she's mine. Not Yours!" tegas Raynar disertai dengan memicingkan matanya. Menatap tajam ke arah adik kandungnya sendiri.
"Apa kau bilang? She's not yours!! Dan selamanya tak akan menjadi milikmu, Kak!" Lingga sangat emosi dengan apa yang baru saja Raynar katakan.
Ara yang menyadari Lingga mulai berpaling darinya, langsung digenggamnya tangan Lingga.
"Biarlah Maya menjadi milikmu, Kak. Kalian sangat serasi kok. Selamat. Dan aku juga akan memberitahu kalian bahwa Lingga is mine. Forever!" ucap Ara yang membuat Lingga terkejut.
Maya yang mendengar pernyataan Ara, sangat terpukul. Baru saja ia merasa bahagia tapi mengapa selalu sirna karena gadis itu. Ia tak habis pikir kenapa di antara banyaknya Mall harus bertemu dengan mereka. Mereka yang sedang berkencan.
Maya hanya menunduk sambil menahan tangisnya. Ara yang mengetahui kemenangannya tidak langsung merasa puas. Ia merasa masih kurang untuk membuat Maya terluka. Diraihnya dagu Lingga, kemudian dikecupnya bibir tipis Lingga dalam-dalam dan lama. Maya sontak membelalakkan matanya melihat adegan di depannya.
Raynar dengan reflek menutup mata Maya dengan tangan kirinya erat agar Maya tidak melihat adegan itu. Ia tahu bahwa Maya akan sakit hati jika melihatnya. Namun, semuanya terlambat. Maya sudah mengetahuinya sebelum matanya ditutup oleh tangan besar Raynar.
Maya POV
Benar kata orang, bahwa jangan terlalu berharap pada seseorang terlalu tinggi karena nantinya akan kecewa. Yah, seperti itulah yang kurasakan.
Aku terlalu dibutakan oleh perhatian Lingga sehingga melambungkan harapanku. Tapi semuanya jatuh dan hancur berantakan setelah melihat adegan tadi di depan Mall.
Hatiku benar-benar hancur tapi mau bagaimana lagi, memang sudah dari awal aku kalah. Kalah dari Ara yang telah lama hadir di kehidupan Lingga. Kalah dari fisik Ara yang mempesona. Kalah dengan apapun yang dimiliki Ara.
Jujur, seketika itu aku ingin menangis, berteriak dan mengumpat. Namun, kuurungkan karena aku tak mau merusak suasana. Lagipula saat itu aku berada di tempat umum. Saat aku masih sangat terkejut, tiba-tiba tanganku sudah ditarik oleh Raynar. Pergi dari tempat itu, meninggalkan sejoli yang sedang dimabuk asmara.
Selama di Mall, aku hanya melamun. Rasanya malas sekali untuk beraktifitas. Ingin sekali aku menenggelamkan wajahku di bantal dan berteriak sekencang-kencangnya.
Semua perkataan Raynar hanya kujawab singkat bahkan tak jarang hanya kudiamkan begitu saja karena hatiku masih sangat sesak. Aku berusaha untuk tidak mengingatnya. Ingin sekali kubenturkan kepalaku pada troli ataupun eskalator atau apa sajalah yang bisa membuatku amnesia.
Hari ini begitu menyesakkan bagiku. Aku memilih kado untuk Ana dengan sembarangan. Aku tak memikirkan apakah Ana akan suka atau tidak dengan kado pemberianku. Ah, masa bodoh. Persetan dengan Ana. Aku ingin cepat-cepat pulang dan mengurung diriku di kamar seharian.
Kakiku begitu berat untuk melangkah lagi, tapi tetap kulakukan karena Raynar.
"Kau tidak apa-apa, May? Kau masih kepikiran tentang mereka?" tanya Raynar. Sebenarnya pertanyaan Raynar tak perlu kujawab, karena mungkin ia juga sudah tahu jawabannya. Kuperlihatkan senyumku walau terpaksa.
"I'm fine, Kak. Mereka tampak serasi ya, Kak? Hahahaha," aku tahu mungkin Raynar merasa aneh dengan sikapku yang terkesan dipaksakan. Ah, masa bodoh.
Setelah selesai belanja, kami akhirnya keluar dari Mall itu dan kembali ke dalam mobil. Raynar melajukan mobilnya tanpa banyak bicara. Yah, lagipula semua yang ia bicarakan tak banyak yang kurespon. Setelah lama perjalanan, aku mulai sadar bahwa ini bukan rute menuju rumah ataupun restoran. Ya Tuhan! Mau kemana lagi memangnya?
"Kak, kita akan pergi kemana? Ini bukan jalan ke restoran ataupun ke rumah kan?" tanyaku kepadanya.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Lagipula aku sangat jenuh di restoran terus. Hehehehehe," jawabannya dengan senyum konyolnya.
Jenuh di restoran? Hahaha. Sangat menggelikan melihat tingkah laku orang kaya yang kelebihan uang. Di keluargaku tak ada kata jenuh saat bekerja. Dengan munculnya jenuh, akan mempengaruhi pemasukan keuangan keluarga kami.
Aku hanya tersenyum mendengar cuitan Raynar.
"Kau tersenyum? Apa ada yang lucu?" tanyanya dengan ekspresi bodohnya. Aku sungguh heran dengan Raynar. Kata Mama, Raynar adalah lulusan Oxford University namun kelakuannya seperti orang bodoh. Dan terkesan cupu. Berbeda dengan Lingga yang juga lulusan dari kampus yang sama.
"Pikir saja sendiri," jawabku dengan tersenyum dan menjulurkan lidahku. Mengejeknya.
"Oh, jadi sekarang kau sudah berani mengejekku?" Entah kenapa dengan mudahnya aku tertawa saat bersama Raynar tapi berbeda rasanya saat bersama Lingga. Aku sangat nyaman ketika bersama Raynar, mungkin karena aku adalah anak tunggal di keluargaku.
Setelah menempuh perjalanan yang agak panjang, akhirnya kami tiba di sebuah gang sempit. Mobil Raynar pun dititipkan di salah satu rumah warga setempat dan kami pun berjalan kaki menyusuri jalan sempit. Selama perjalanan, kami hanya menemui ilalang dan semak belukar. Tak jarang juga kami menemukan pohon-pohon rindang yang menutupi langit. Aku bertanya-tanya dalam hati.
"Kak, sebenarnya kita mau kemana sih?" tanyaku setelah sekian lama berjalan.