Chereads / He Or Him? / Chapter 13 - Am I Happy?

Chapter 13 - Am I Happy?

"Aku sangat gugup, Cyn. Apa tidak kelihatan aneh?" tanyaku kepada Cyntia. Sedari tadi aku memang sangat gugup. Aku takut jika acara ini tidak sesuai dengan yang diharapkan.

"No no no. Kau terlihat sangat sempurna. Tak ada yang perlu kau khawatirkan, May. Aku yakin setelah melihat penampilanmu, Lingga akan segera berpaling padamu dan meninggalkan boneka Annabelle itu." ucapnya dengan meyakinkan.

Aku sedikit merasa lega sekaligus terhibur dengan sifat jenakanya itu.

"Namanya Arabella. Bukan Annabelle. Jika ia tahu bisa-bisa tinjunya akan mendarat mulus di pipimu. Hahaha," ia pun ikut tertawa mendengar ucapanku itu. Suasana tegang pun terasa agak berkurang di ruangan ini.

Aku pun sejenak melupakan rasa cemasku akan acara pertunangan ini. Semuanya serba pertama kali. Pertama kalinya aku tunangan, pertama kalinya aku melakukan sesuatu yang besar tanpa orang tuaku, pertama kalinya aku didandani dengan begitu hebohnya dan banyak hal yang pertama kali kulakukan. Jika kupikir-pikir memang sejak aku datang di rumah ini.

**********

Acara pun berjalan dengan lancar dan begitu khidmat. Tak ada yang spesial. Hanya saling memasangkan cincin di jari manis kemudian berbincang-bincang dengan para tamu. Tak banyak tamu yang kukenal. Semuanya berasal dari keluarga Adiwilaga beserta relasi bisnis Papa dan Mama.

Teman Lingga pun hampir tak ada yang hadir. Begitu pula Ara. Mungkin dia terpaksa tidak mengundangnya.

"Selamat ya, Bro. Gue nggak nyangka akhirnya lu tunangan juga. Tapi, yang gue kaget tuh tunangan lu bukan Ara. Bukannya dulunya lu tergila-gila sama Ara ya? But, she's better than Ara. Lebih manis," ucapan teman Lingga sontak membuatku malu.

Aku juga melihat ekspresi yang ditunjukkan Lingga. Hmm.. Seperti tidak suka. Entah ia tidak suka karena temannya menyinggung Ara atau tidak suka karena aku dipuji manis oleh temannya. Tapi, kupikir pilihan pertama jauh lebih cocok.

"Pikirkan saja nasibmu sendiri! Jangan melirik wanita sembarangan, termasuk Maya. Ingat, dia adalah tunanganku sekarang!" ucapnya dengan nada tegas dan matanya yang tajam menatap temannya itu.

Jujur, aku bahagia bahkan sangat bahagia sekali ketika ia mengatakan kalimat terakhirnya itu. Tapi, aku tak mau terlalu bahagia mengingat kejadian yang kualami beberapa minggu yang lalu. Aku berspekulasi bahwa mungkin saja akan terjadi sesuatu yang lebih daripada itu. Entah apa. Aku hanya pasrah menjalaninya.

Raynar yang sejak tadi menatapku tajam membuatku tak nyaman. Entah dia menatapku atau menatap Lingga atau bisa saja kami berdua. Entah apa sebabnya ia terlihat begitu emosional dengan pertunangan kami.

Sedangkan Ana hanya sekilas menatapku. Ia masih tidak pernah suka dengan keberadaanku, meskipun aku selalu berusaha bersikap baik kepadanya. Ah, aku lelah. Sangat lelah. Lelah batin dan lelah fisik.

"Kau lelah, May? Duduklah dulu." tanya Lingga dengan ekspresi khawatirnya. Hari ini kau terlihat lebih tampan dari biasanya. Memakai jas hitam dengan kemeja coklat tua dan rambut yang disisir rapi. Terlihat sangat fresh dan maskulin.

"Yah sedikit," jawabku dengan tersenyum. Jujur saja, rasanya kakiku sudah akan putus jika tidak kududukkan. Cukup lama aku berdiri dengan memakai sepatu high heels warna putih. Walaupun tidak terlalu tinggi, tapi cukup membuat kakiku kesemutan. Mungkin setelah ini aku akan berendam air hangat agar otot-ototku kembali rileks.

"Kalau begitu duduklah dulu. Atau kalau perlu istirahatlah di dalam. Urusan tamu, serahkan padaku. Sudah sana masuk saja," suruhnya.

Sikap otoriternya yang seperti itulah yang kuinginkan. Perhatian dan khawatir. Ah, aku berharap sikapnya yang seperti itu tidak akan hilang selamanya. Apa aku pantas berharap? Apa aku pantas bahagia? Bersamanya?

Kuturuti ucapannya dan aku pun masuk ke ruang make up. Aku berada di dalam ruangan itu bersama dengan Cyntia. Ia membantuku melepaskan hiasan rambut yang kukenakan. Kulepaskan juga high heels putih itu dan kupijat sedikit pergelangan kakiku. Uh, pegal sekali.

Beberapa saat kemudian, ketika aku sedang berbincang-bincang dengan Cyntia tiba-tiba datang seorang wanita dengan rambut cepak berwarna pirang mendekatiku lalu menjambak rambutku.

Tangannya yang lain juga menampar pipiku berkali-kali. Cyntia yang mengetahui hal itu langsung menjerit ketakutan sembari memisahkan kami.

"Dasar j*l*ng!!! Beraninya kau merebut Lingga dariku!! Mati kau!! Aarrrrrggghhh!!" segala umpatan yang disertai tamparan ia berikan padaku.

Aku tak sempat membela diri dan hanya berteriak. Mengaduh kesakitan.

"Stop, Ara! Sakit!!" teriakku.

Author POV

Lingga yang mendengar suara ribut dari dalam ruangan make up langsung bergegas menuju ke sana. Ia teringat jika tadi Maya masuk ke dalam ruangan itu. Ia sangat khawatir jika sesuatu yang tidak diinginkannya terjadi.

Dan benar saja. Di sana, ia melihat Ara sedang menganiaya Maya dengan sekuat tenaga. Bisa ia lihat bahwa Ara sangat emosional. Ia nenjambak sekaligus menampar pipi mulus Maya berkali-kali hingga berwarna merah.

"Ara, hentikan!! Stop it!!" teriak Lingga sembari menghentikan tamparan Ara kepada Maya. Ia memegang erat kedua tangan Ara dan menariknya ke luar ruangan.

"Ikut aku!" ucapannya sambil menarik keluar Ara.

Mereka berdua berjalan cepat menuju taman belakang rumah. Sesaat setelah mereka berhenti berjalan, Ara langsung memeluk erat Lingga. Ia memeluk sambil menangis begitu sesak. Lingga yang mengetahuinya pun tak tega dan membalas pelukan Ara.

"Aku tidak mau kehilanganmu! Kenapa kau tega meninggalkanku? Apa salahku? Apa aku kurang mencintaimu? Apa aku kurang cantik? Jawab, Lingga!!" tanyanya saat memeluk Lingga.

Lingga yang ditanya begitu cukup bingung untuk menjawabnya. Ia juga bingung dengan perasaannya. Di sisi lain ia begitu tak ingin kehilangan Ara dan di sisi lain ia mulai merasa nyaman ketika sedang bersama Maya.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, sayang," jawabnya.

"Ta... Tapi kenapa aku malah bertunangan dengan si j*l*ng itu?" tanyanya kembali. Jujur saja, Lingga begitu tak terima ketika orang lain menghina Maya. Padahal dulunya ia sangat membenci Maya dan sangat sering menghinanya.

"Hmm... Aku... Aku hanya terpaksa. Ya karena terpaksa," bohongnya. Pikirannya begitu kalut sehingga ia tak bisa berpikir jernih.

"Terpaksa bagaimana? Kulihat tadi kau bahagia saat bersamanya. Kau jangan membohongiku, sayang!" ucapnya setengah mengancam.

"Hmm... Aku terpaksa menerimanya karena Papa. Beberapa waktu yang lalu Papa menawariku pabrik sepatu kulit yang ada di Tangerang untuk diwariskan kepadaku. Aku akan menerimanya jika aku menerima pertunangan ini juga. Yah, jadinya aku menerima pertunangan ini dengan imbalan aku mendapat pabrik sepatu kulit," ucapan Lingga tak sepenuhnya bohong.

Beberapa waktu lalu Fusena menawarkan Lingga untuk mengelola pabrik sepatu kulit warisan orang tuanya, yah bisa dibilang kakek Lingga, yang ada di Tangerang. Namun, Fusena tak menjadikan pertunangan ini menjadi taruhannya. Dan lagipula, Lingga menerimanya dengan tanpa embel-embel apapun.

Ara yang mendengar fakta itu langsung kegirangan dan sangat bahagia. Ia bahagia karena masih memiliki Lingga sebagai kekasihnya dan juga ia bahagia karena akhirnya Lingga mempunyai warisan dari keluarganya. Yang artinya, kekayaan Lingga menjadi semakin diperhitungkan.

"Jadi, sekarang kau sudah mempunyai perusahaan sendiri?" tanyanya dengan mata yang berbinar-binar.

"Iya, sayang. Kau tidak usah khawatir akan kehilangan diriku. Aku akan tetap menjadi milikmu," jawabnya sambil mengeratkan pelukannya.

Di tempat yang sedikit jauh dari sana terdapat sepasang mata yang melihat tajam ke arah mereka berdua. Ia dengan jelas mendengar pembicaraan mereka. Pria dengan memakai kemeja hitam yang dua kancing atasnya tak dikaitkan itu mengepalkan tangannya sangat erat. Sangat erat hingga tangan itu berwarna merah.

"Awas kau, Lingga!" ucapnya dengan menahan emosi dan rahangnya menegang.