Chereads / He Or Him? / Chapter 15 - My Future (Maybe)

Chapter 15 - My Future (Maybe)

Aarrrrrggghhh!!! Aku bergelung dalam selimut dan.... Duk! Duk! Awww!!!

Aku terjatuh ke lantai kamar. Untungnya aku masih memakai selimut tebal, alhasil tubuhku tak sakit sama sekali ketika jatuh tadi.

Haaah!! Aku ingin bermalas-malasan hari ini. Aku tak ingin bangun. Aku tak ingin bekerja. Bekerja?? Shit! Sudah berapa lama aku absen kerja? Ah, pasti Raynar akan marah kepadaku. Tapi, aku kan bertunangan dengan adik kandungnya, mana mungkin dia bisa marah? Hehehehe... Aku pasti bisa mengatasinya.

Aku bangun dari tidurku di lantai kamar. Agak kesusahan karena selimut tebal masih membungkus tubuh mungilku. Setelah selesai melepas selimut, aku berjalan malas menuju kamar mandi. Huh, hari ini benar-benar melelahkan.

Satu jam sudah aku mandi sekaligus merias wajahku, setelah itu aku keluar dari kamar dan menuju ke lantai bawah.

Aku menuju meja makan untuk sekedar meminum jus. Hari ini aku sedang malas untuk makan. Ternyata seluruh anggota keluarga sudah pergi bekerja, yah aku memang bangun terlalu siang. Hanya Mbok Romlah yang kutemui di dapur dekat meja makan.

"Pagi, Mbok. Mama dan Papa sudah berangkat kerja ya?" tanyaku sambil mengambil gelas kosong.

"Eh, Non Maya. Pagi juga, Non. Tuan dan Nyonya sudah berangkat pagi tadi. Mau sarapan apa, Non? Biar Mbok buatin," tanya Mbok Romlah, sangat ramah seperti biasa.

"Maya lagi malas sarapan, Mbok. Ntar aja sarapan di restorannya Kak Rei. Maya minum jus jeruk aja," jawabku.

"Tadi Tuan dan Nyonya berpesan kalau Non Maya disuruh sarapan. Biar nggak sakit katanya," ucapnya dengan nada lembut.

"Iya, Mbok. Maya pasti sarapan kok tapi nanti. Hehehehehe," ucapku setelah selesai menghabiskan segelas jus jeruk buatan Mbok Romlah. Cukup mengenyangkan bagiku.

"Maya berangkat sekarang ya, Mbok." Aku berjalan menuju parkiran rumah. Namun, belum juga sampai parkiran aku bertemu dengan Raynar yang baru turun dari mobilnya dan akan masuk ke dalam rumah.

"May, kau mau kemana?" tanyanya dengan ekspresi kaget.

"Ya jelas kerja lah, Kak. Menurut Kakak?" Hahaha orang ini sungguh lucu. Apa dia pikir etos kerjaku menurun setelah menjadi tunangan adiknya?

"Kukira kau akan libur hari ini. Kau mau berangkat bersamaku? Kebetulan aku pulang untuk mengambil berkasku yang tertinggal," tawaran yang bagus. Dengan begitu aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk naik angkot ataupun taksi.

"Dengan senang hati, " jawabku dengan tawaku yang mengembang.

"Maya berangkat bersamaku!" tiba-tiba suara pria muncul dari belakangku. Tepatnya dari arah kamar Lingga. Yah, siapa lagi kalau bukan si pemilik kamar itu sendiri.

"Kau urus saja Ara-mu!! Biar Maya bersamaku!" ucap Raynar dengan setengah berteriak.

Aku sangat terkejut dengan emosi Raynar yang meledak-ledak. Aku tak tahu mengapa Raynar begitu emosional dengan Lingga.

"Sudah cukup kalian berdua. Jangan bertengkar! Lingga, kau tidak ada rencana kencan dengan Ara-mu?" tanyaku.

"Ti... Tidak. Tentu saja tidak. Makanya kau pergi bersamaku saja. Aku yang akan mengantarmu," ucapnya. Sikapnya yang memohon tapi masih saja terlihat angkuh. Dasar aneh!

"Baiklah, aku bersamamu. Kak Rei, maaf ya. Lain kali aku akan berangkat bersamamu. Hari ini aku bersama Lingga," ucapku kepada Raynar. Kulihat ekspresinya seakan tidak terima dengan keputusanku.

"Tidak ada lain kali. Untuk seterusnya kau akan selalu bersamaku!" tegas Lingga. Kalimatnya sontak membuat hatiku bahagia. Bahkan sangat bahagia. Seakan rasa lelahku tadi pagi hilang begitu saja.

"Apa maksudmu? Apa hakmu?" tanya Raynar dengan membusungkan dada dan berjalan mendekati Lingga. Kedua matanya melotot tajam dan kedua tangannya mengepal seakan siap untuk meninju sesuatu.

"Apa hakku? Akan kuingatkan jika kau lupa, Kak. Maya adalah tunanganku! Dan aku berhak atas dirinya! Camkan itu!" tegasnya sembari menarik tanganku berjalan melewati Raynar yang akan mengatakan sesuatu. Aku yang terkaget hanya bisa berjalan mengikuti Lingga.

Sesampainya di parkiran rumah, Lingga mulai mengendorkan genggamannya. Kemudian tanpa banyak bicara, ia lalu membukakan pintu mobil untukku. Dan mobil pun berjalan.

Selama perjalanan aku hanya terdiam karena bingung mau bicara apa. Tak banyak yang kutahu tentang Lingga. Ingin bertanya pun rasanya takut jika dibalas dengan sikap dinginnya, walaupun tadi seakan ia begitu cemburu ketika tahu aku akan pergi bersama Raynar.

"Kau..... Sudah sarapan?" akhirnya ia membuka pembicaraan pertama setelah belasan menit.

"Belum," jawabku singkat. Jujur, aku sangat gugup saat ini. Berdua dengannya dalam satu mobil.

"Sepertinya Mbok Romlah tadi memasak. Kau tidak makan?" tanyanya.

"Aku tidak berselera makan pagi ini. Tadi sebelum keluar, aku sempatkan dulu meminum jus jeruk. Itu cukup membuat perutku terisi," jawabku.

"Kau mau menemaniku sarapan? Kebetulan aku juga belum sarapan," tanyanya. Pertanyaan itu tak selaras dengan pernyataan Mbok Romlah yang mengatakan bahwa hanya aku saja yang belum sarapan pagi ini. Entahlah, mungkin Lingga hanya beralasan agar aku bisa sarapan.

"Baiklah. Kau mau sarapan di mana?" tanyaku.

"Nanti juga kau akan tahu," jawabnya. Baiklah, aku hanya menurut di sini. Biarlah dia yang menentukan, toh juga dia yang mengajak.

*************

Setelah menempuh perjalanan lumayan lama, akhirnya sampai juga kami di sebuah restoran di daerah pedesaan. Restoran itu jauh dari kata mewah. Terkesan sederhana namun mampu membangun rasa hangat akan kekeluargaan.

Lingkungan sekitarnya pun sangat asri dan menyegarkan. Banyak pohon rindang di sekitar restoran itu. Jujur, aku sangat merindukan suasana pedesaan seperti ini.

Lingga turun dari mobilnya duluan, lalu membukakan pintu mobil untukku.

"Kita sudah sampai. Kuharap kau suka," ucapnya sambil menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam restoran.

"Aku sangat menyukainya. Ini sangat asri dan begitu menyegarkan. Ah, sudah lama aku tidak pergi ke tempat seperti ini," ucapku dengan senyum lebarku.

"Syukurlah kau senang. Ini adalah restoran favorit keluarga kami. Dulu, aku sering kemari bersama almarhum kakekku," ucapnya sambil mendudukkanku di salah satu kursi di sana.

Restoran favorit keluarganya? Dan sekarang aku diajak kemari. Itu artinya aku sudah mulai "dianggap" oleh Lingga? Haha senangnya.

"Kenapa kau senyum-senyum sendiri?" tanyanya yang sontak membuyarkan lamunanku. Aku tak sadar jika sedari tadi Lingga terus mengamatiku.

"Tidak. Aku tidak apa-apa," jawabku.

"Kita akan pesan apa?" tanyaku mencoba untuk mengganti topik pembicaraan.

"Menu andalan di sini adalah ikan bakar. Kau pesan saja sesuai keinginanmu. Aku panggilkan pelayannya dulu," ia kemudian memanggil salah satu pelayan di sana. Mendekatlah seorang wanita paruh baya dengan baju seragam sederhana. Wanita itu tampak kaget dengan kehadiran Lingga.

"Lho, Nak Lingga. Sudah lama nggak ke sini. Gimana kabarnya? Tuan dan Nyonya sehat kan?" tanyanya dengan ekspresi terkejut sekaligus bahagia.

"Kabar Lingga baik kok, Bu Ning. Mama dan Papa juga baik. Akhir-akhir ini Lingga sedikit sibuk, makanya jarang ke sini," mereka terlihat sangat akrab. Jika kulihat, wanita tua yang dipanggil 'Bu Ning' itu hampir seusia dengan Bu Sri.

"Semenjak meninggalnya Tuan Tirta beberapa bulan yang lalu, keluarga kalian jarang kemari lagi. Saya masih kaget lho dengan kepergian Tuan Tirta yang mendadak itu," Tuan Tirta? Siapa dia? Aku bertanya-tanya dalam hati.