Chereads / He Or Him? / Chapter 9 - Sweet Girl

Chapter 9 - Sweet Girl

"Bukankah ini yang kau mau? Memutuskan pertunangan ini agar kau bisa menikahi Ara-mu itu?" Tanyaku dengan menahan emosi agar tidak meledak-ledak.

"Yah, aku memang ingin sekali menikahi Ara tapi tidak ada salahnya kan kita coba jalani dulu. Bagaimana? Katamu pertunangan atau perjodohan ini adalah permintaan terakhir dari almarhum ibumu?" Seketika aku ingat kembali dengan surat wasiat dari Ibu.

Aku sempat ragu dengan hatiku. Apa yang harus kupilih? Apakah aku harus melanjutkan perjodohan ini? Sudah benarkah keputusanku ini?

"Kenapa kau ingin sekali melanjutkan perjodohan ini? Apa kau punya maksud tertentu? Beberapa saat yang lalu saja kau telah mempermalukanku di restorannya Kak Rei. Dan sekarang kau tiba-tiba ingin melanjutkan perjodohan ini." Agak aneh memang menurutku.

"Aku..... Hanya ingin saja." Katanya sambil menggaruk-garuk rambutnya.

"Akan kupikirkan lagi. Sekarang aku mau tidur dan selamat malam." Kututup pintu kamarku dengan cepat. Kutinggalkan Lingga yang masih berdiri di depan kamarku.

Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menerima perjodohan ini? Jujur, aku tidak tahan jika harus terus menerus menerima perlakuan Lingga.

Lingga POV

Ditutupnya pintu kamar itu setengah membanting. Mungkin ia sedang emosi dengan perlakuanku tadi. Kulihat juga bekas air mata, pasti ia sakit hati dengan kata-kataku dan Ara tadi di restoran milik Kak Rei.

Wait! Kenapa tadi dia bersama Kak Rei? Sejak kapan mereka kenal? Dari yang kulihat, mereka sangatlah dekat dan akrab. Kak Rei memang tak pernah seakrab itu dengan gadis yang baru ditemuinya. Apakah hanya formalitas saja karena gadis itu anak dari teman Mama? Kurasa bukan itu alasannya.

Semenjak kedatangannya beberapa hari yang lalu, keadaan rumah terasa lebih "hidup". Senyum cerianya tak pernah lepas dari wajah imutnya. Yah, kuakui jika dia memang imut.

Maya. Sebelum gadis itu datang, Mama dan Papa selalu membicarakannya. Mereka selalu mengatakan bahwa akan dijodohkan denganku. Sontak aku pun menolak keras perjodohan itu karena aku masih mempunyai Ara.

Mereka berdua selalu menentang hubunganku dengan Ara karena memang kelakuan Ara tak pernah berubah. Sudah sering aku menasihatinya agar merubah tingkah lakunya ketika di depan keluargaku tapi tak sedikitpun ia merubahnya.

Jujur saja, semakin lama aku semakin bosan jika terus bersamanya. Apalagi sifat centilnya yang membuatku semakin muak.

Tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Walaupun memang etikanya kurang baik kepada keluargaku, entah kenapa aku masih saja mencintainya. Dia bukan cinta pertamaku tapi dialah yang membuatku menjadi diriku yang sebenarnya.

Aku bertemu dengannya ketika masih berkuliah di Oxford University. Saat itu ia bekerja di kasir sebuah restoran. Aku berkenalan dengannya dan ia juga mengaku bahwa berkuliah di universitas yang sama denganku. Yah, walaupun aku tak pernah sekalipun melihatnya di kampus.

Maya. Semakin sering Mama dan Papa menceritakan tentang dirinya, semakin penasaran diriku terhadapnya. Seperti apa gadis itu? Apakah semenarik yang diceritakan Mama dan Papa? Kata mereka, Maya adalah lulusan Cambridge University beberapa hari yang lalu dan mengambil jurusan Astronomi. Itu artinya kualitas dirinya memang tak serendah yang kupikirkan.

Di hari itu ia datang. Dengan wajah lelah habis menangis dan rambut pendeknya. Aku bisa melihat wajah kusutnya seperti banyak beban dalam hidupnya. Tapi walaupun tertutupi dengan keadaannya yang semrawut, wajah imutnya tak bisa hilang begitu saja.

Kata Mama, Ibunya meninggal setelah ia sampai ke rumah setelah perjalanannya dari Inggris. Aku turut berduka cita atas itu. Ada sepercik rasa iba menyelimuti hatiku.

Semakin lama aku semakin tertarik dengan gadis mungil berambut pendek itu. Senyum manisnya ketika berbicara dengan orangtuaku dan Mbok Romlah, nada bicaranya yang selalu sopan dengan siapa saja dan tangannya yang sigap membantu pekerjaan rumah. Ia juga gampang akrab dengan siapa saja penghuni rumahku. Termasuk dengan kakakku sendiri, Kak Rei.

Entah kenapa aku tidak suka ketika ia dekat dengan Kak Rei. Ia begitu akrab dan dengan mudahnya tertawa ketika bersamanya. Padahal denganku ia tak selalu sungkan bahkan terkesan ketakutan. Tapi anehnya, walaupun ekspresinya ketakutan, aku bisa melihat dari matanya betapa ia sangat memuja diriku. Yeah, gadis mana yang tidak suka dengan diriku?

Pagi itu saat aku akan pergi dengan Ara, aku tak sengaja mendengar Ara sedang memarahi Maya. Dari dalam lubuk hatiku, aku tak tega dengan Maya. Tapi, entah kenapa aku malah membuatnya lebih kasihan dengan membela Ara di depannya.

Dan malamnya, hatiku semakin geram melihatnya bersama Kak Rei di restoran milik Kak Rei. Kenapa mereka begitu akrab? Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Atau mungkin Maya adalah cinta lama Kak Rei? Aarrrrrggghhh!!

Tunggu! Kenapa aku sangat marah karena Maya dekat dengan Kak Rei? Bukan urusanku dia dekat dengan siapa saja. Bukan urusanku pula dia akan menyukai pria lain termasuk Kak Rei. Tapi, membayangkan dia bersama Kak Rei membuat hatiku semakin marah dan geram.

Dari yang kulihat, Maya dan Kak Rei sangatlah serasi. Sebagai sesama laki-laki, aku mengakui jika kakakku itu sangatlah tampan. Ini yang membuat hatiku semakin tak karuan.

Karena kesal melihat mereka bersama, ku layangkan kata-kata pedas untuk Maya. Sebenarnya dari awal aku hanya ingin mengerjainya. Tapi, Ara malah membuatnya semakin menusuk.

Aku bisa melihat raut wajah kesalnya. Hal itu membuatku senang, salah sendiri membuatku kesal duluan. Semakin lama, ia akhirnya pergi ke toilet. Aku sempat melihatnya dengan menoleh ke belakang karena kebetulan arah ke toilet ada di belakangku.

Ternyata, Ara dan Kak Rei sedari tadi mengamatiku yang sedang mengamati Maya. Aku terkejut namun buru-buru kututupi rasa terkejutku dengan melempar candaan.

Beberapa saat kemudian, aku melihat Maya keluar dari toilet dengan wajah yang basah karena habis dibasuh dengan air. Tapi, aku juga melihat bekas air mata di kedua matanya. Apakah kata-kataku tadi begitu kejam untuknya? Apakah begitu menyakitkan hingga ia harus menangis? Ah, itu juga salahnya sendiri dekat dengan Kak Rei.

Ia keluar dari restoran dan pulang ke rumah. Beberapa saat yang lalu hatiku sangat senang bisa mengerjainya tapi sekarang hatiku kembali geram karena ternyata ia pulang diantar oleh Kak Rei.

Arghhhhhh!! Ada apa dengan mereka berdua? Kenapa Kak Rei selalu perhatian dengannya?

"Honey, kenapa dari tadi kau terlihat tidak fokus?" Tanya Ara kepadaku. Jika ia tidak bertanya, aku mungkin sudah melupakannya karena pikiran kalutku.

"Aku... Hanya sedikit kepikiran tentang sesuatu, sayang." Yah, aku memang kepikiran tentang Maya dan Kak Rei.

"Aku tahu! Kau mungkin memikirkan bagaimana kelanjutan hubungan kita kan, sayang? Atau kau mungkin merencanakan untuk menyingkirkan Maya secepatnya. Ya kan, sayang?" Semua pertanyaannya salah besar.

Aku bahkan belum ada rencana untuk menyingkirkannya dari keluargaku. Entah bagaimana reaksi Mama dan Papa jika ia harus pergi. Mereka lebih menyayangi Maya daripada Ara yang bahkan sudah mereka kenal sebelum mengenal Maya.

Aku hanya tersenyum mendengar semua pertanyaan Ara. Hampir setiap hari, Ara selalu memintaku untuk menemaninya jalan-jalan ataupun belanja. Tapi entah kenapa aku selalu menuruti semua kemauannya yang membosankan itu.

Aku sangat mencintainya. Yah, kuakui itu. Tapi, semakin lama rasa cintaku kepada Ara terasa semakin berkurang. Apalagi semenjak kedatangan Maya, gadis pintar berpenampilan lugu itu membuatku agak melupakan Ara.

Jika Maya didandani dengan make up dan pakaian mahal mungkin akan secantik atau bahkan melebihi kecantikan Ara. Sayangnya, ia tak pernah atau mungkin tak mau seperti itu. Ia selalu berpenampilan sederhana dengan kaos oversize dan celana pendek di atas lutut. Rambutnya yang hanya sampai di bawah telinga pun hanya dibiarkan seperti itu. Make up yang ia gunakan pun sangat tipis atau bahkan tidak memakai make up sama sekali.

Tapi, entah kenapa ia sangat menarik walaupun hanya seperti itu tampilannya. Apakah ia juga semenarik itu di mata Kak Rei? Jujur, aku sangat penasaran.