Ervan memarkir mobilnya di halaman rumah Maura, acara jalan mereka telah selesai dan sekarang Ervan mengantar Maura pulang.
"mampir dulu gak"
"ga usah"
"ya udah duluan ya, makasih"
"ok, makasih juga"
Maura tersenyum dan turun dari mobil, Maura terdiam melihat kepergian Ervan.
"kemana aja sampai seharian"
Maura menoleh dan melihat Gilang diambang pintu, Maura menghembuskan nafasnya pasrah.
Baru saja Maura bisa melupakan kekesalannya tapi sekarang sudah muncul lagi bersamaan denga melihat sosok Gilang.
"kenapa diam, jalan sama siapa, jam segini baru pulang"
"sama Ervan"
"Ervan siapa"
"kembarannya Revan, tahu kan"
Gilang terdiam, Gilang ingat siapa Ervan, dia adalah orang yang hampir membuat perusahaannya merugi.
"kenapa sama dia, kamu lupa ...."
"apa, kalau dia korupsi dana kerjasama kamu sama Revan"
"ya itu tahu"
"ya tapi itu gak ada urusannya sama aku kan"
Maura melangkah memasuki rumahnya, tak peduli dengan panggilan Gilang.
"kamu ngapain masih disini sih"
"aku tunggu kamu dari tadi"
"untuk apa, dicariin Jessy nanti"
"Maura cukup ya"
"cukup apa, harusnya kamu yang cukup"
"aku kenapa"
"aku masih ingat jelas ya cerita kamu tentang Jessy Jessy itu, dia mantan kamu yang paling susah buat kamu lupakan, iya kan"
Gilang terdiam, Gilang memang menceritakan semua tentang perasaannya pada Jessy waktu dulu, Gilang juga mengatakan jika Jassy adalah orang pertama yang bisa membuatnya jatuh cinta.
"kenapa diam"
"Maura, aku gak pernah minta dia datang"
"tapi kamu kasih alamat kamu sama dia"
"ya iya memang benar"
"udahlah Gilang, aku gak mau tahu tentang itu ya, itu urusan kamu"
"ya iya, tapi bukan berarti kamu bisa jalan sama laki-laki lain"
"selesaikan dulu Jessy, baru kamu boleh atur aku, aku udah pernah bilang ya kalau aku gak akan suka harus berurusan sama Jessy"
"iya tapi aku bukan mau balik sama dia"
"aduh udah deh, aku tahu kok, kamu bisa cinta sama aku itu baru ya, ada yang bisa jamin kalau kamu bisa tetap mengubur perasaan masa lalu kamu"
"Maura"
"aku cape, mending kamu pulang"
Gilang menggeleng, dengan menyentuh kedua pundak Maura.
Gilang menatap Maura berusaha meyakinkan Maura kalau apa yang ada difikirannya itu adalah sebuah kesalahan.
"pulang"
"Maura, kamu gak bisa menyimpulkan semuanya sendirian"
"bisa, aku bisa"
"gak bisa"
"pulang Gilang"
"gak akan"
"pulang"
"enggak, aku bilang enggak"
Bentak Gilang, Maura mengernyit, setelah sekian lama Gilang kembali berani membentaknya.
Maura masih ingat jelas, Gilang sering kali seperti itu dulu sewaktu Gilang masih mengenang Jessy.
"lepas, aku bilang pulang"
Maura melepaskan tangan Gilang, dan mundur untuk menjauhi Gilang.
"gak bisa Maura"
"bisa, aku bilang pulang, atau kamu mau aku yang pergi dari sini"
"jangan buat aku marah Maura"
"kamu buat aku marah duluan, kamu gak sadar"
"cukup, diam"
"kalau gitu kamu pulang"
Maura berlalu memasuki kamarnya meninggalkan Gilang yang terlihat masih kesal dengan Maura.
Gilang mengacak kasar rambutnya, kenapa harus Gilang membentak Maura.
Langkah Gilang untuk menyusul Maura terhenti, saat mendengar pintu rumah diketuk.
Gilang melangkah membukakan pintu.
"Revan"
"bukan, Ervan"
Gilang semakin emosi melihat sosok dihadapannya.
"Maura ada"
"untuk apa lagi menemui Maura"
Ervan mengernyit mendengar pertanyaan Gilang yang penuh kemarahan.
"cuma mau kembalikan ini, ponselnya tertinggal dimobil"
Gilang dengan cepat merebut ponsel yang ditunjukan Ervan.
"pergi sekarang"
"santai bos, gak harus diusir juga pasti pergi, tahu diri aja"
"apa maksud kamu"
"Gilang"
Maura menghentikan Gilang yang hendak memukul Ervan, keduanya menoleh bersamaan melihat sosok Maura.
"ada apa balik lagi"
"ponsel kamu tertinggal di mobil, jadi balik lagi"
"oh iya aku lupa, makasih ya"
"ok, kalau gitu aku pamit"
"pergi aja sana, pamit segala"
"apaan sih Gilang"
"Maura, dia siapa sih, marah-marah terus, kaya cewek lagi datang bulan"
"heh ...."
"suutttt, gak ada urusan sama kamu, aku ada urusannya sama Maura, ya udah Maura sampai ketemu lagi"
"iya makasih, hati-hati"
Ervan tersenyum dan mendelik melihat Gilang sambil berlalu meninggalkan keduanya, Gilang benar-benar dibuat naik darah oleh 2 orang itu.
---
Vanya mengetuk pintu ruangan Revan, sesuai dengan permintaan Revan sendiri.
"masuk"
"permisi pak"
"iya, tolong antar Tiara ke ruangannya, dan kasih tahu dia tentang apa yang boleh dan gak boleh dilakukan disini"
Vanya melirik Tiara dan terdiam memperhatikannya, Revan sebenarnya ragu untuk memberikan pekerjaan itu pada Tiara.
Tapi mau bagaimana lagi, itu sudah menjadi keputusan Angga.
"mari bu Tiara"
Ajak Vanya, Tiara mengangguk dan pamit pada Revan.
"apa saya harus kembali kesini"
"tidak, kamu langsung kembali saja kepekerjaan kamu"
"baik pak, permisi"
Vanya turut pamit dan berlalu meminggalkan ruangan Revan bersamaan dengan Tiara.
Revan terdiam, fikirannya melayang pada kerjasama yang terputus kemarin.
"Ervan kemana lagi, sampai sekarang belum pulang juga, apa dia gak mikirin keluarga"
Revan melihat jam ditangannya, Revan merasa lapar tapi belum jam makan siang.
Salahnya karena melewatkan sarapannya dirumah, jadilah sekarang Revan lapar dijam kerja.
"permisi pak"
Revan menoleh dan melihat Vanya yang datang dengan membawa Cindy.
"ada apa"
"Cindy katanya mau ada yang dibicarakan"
"ya udah, silahkan"
Vanya melirik Cindy sekilas dan kembali pamit meninggalkan ruangan.
Revan mempersilahkan Cindy masuk dan untuk mulai berbicara.
"saya mau resign pak"
Revan mengernyit mendengar kalimat Cindy.
"kenapa, kamu marah karena posisi kamu diambil orang lain"
"enggak pak, saya cuma mau istirahat dulu"
"ya sudah ambil cuti, kenapa harus resign"
Cindy terdiam, memang alasannya tidak bisa diterima.
Tapi Cindy gak mau tetap bekerja disana jika kinerjanya sudah tidak terpakai lagi.
"kenapa diam"
"saya tetap dengan keputusan saya pak"
"iya tapi alasannya apa, saya perlu jawaban yang jelas untuk permintaan kamu ini"
Cindy kembali diam, sedikit banyak Revan mengerti dengan apa yang Cindy rasakan.
Mungkin memang tak seharusnya posisi Cindy ditempati orang lain, karena memang semua bukan sepenuhnya salah Cindy.
"kamu udah coba bicara dengan pak Angga"
"belum"
"kenapa kamu gak menemuinya dulu baru kamu datang ke saya"
"gak perlu pak, pak Angga sudah kecewa dengan saya, jadi pasti ini juga keputusan terbaik"
"terbaik apanya, Tiara juga belum tentu benar mengerjakan pekerjaannya, kenapa kamu gak coba dulu mengerjakan pekerjaan kamu"
"saya tidak mau mengecewakan lagi"
"sudahlah Cindy, saya masih pusing dengan keadaan sekarang, kamu jangan menambahnya lagi"
"saya cuma ...."
"kita bicara lagi nanti, saya lagi banyak pekerjaan sekarang"
Cindy kembali diam, Cindy sudah kehilangan percaya dirinya saat ini.
Cindy lebih baik mencari pekerjaan baru yang bisa lebih membuatnya nyaman lagi.