Keysha menemani Revan di rumah sakit, sampai hari ini Laura masih belum sadarkan diri.
Revan izin tidak masuk kantor hari ini, dan Angga mengiyakan permintaan Revan.
"kamu harus makan Revan, kalau enggak kamu bisa ikutan sakit"
"nanti saja, tunggu Laura sadar, kita akan makan bersama"
Keysha menggeleng dan terdiam memperhatikan Revan, sejak dulu Keysha bisa melihat kelembutan hati Revan.
Sosok penuh kasih sayang dan cinta, itulah Revan.
Pantas saja jika dia yang memiliki Revan akan menjaganya dengan baik, jika Keysha memiliki kesempatan itu, tentu Keysha juga akan melakukan hal yang sama.
"kenapa Laura masih gak sadar"
"sabar, keadaan Laura sempat kritis, setidaknya sekarang keadaannya sudah lebih baik"
"tapi sampai kapan"
"sampai waktunya nanti"
Revan terdiam, harapan untuk cepat bertemu dan melihat keadaan baik Laura tak bisa lagi ditahannya.
Revan tak mungkin rela jika harus kehilangan Laura, entah apa lagi yang akan dialami Revan jika hal itu sampai terjadi.
"Revan"
"Laura pasti baik-baik aja Key, dia sudah janji untuk tidak pergi dari aku"
"tentu saja"
"dia pasti sadar dan kembali memeluk ku"
Keysha tersenyum mendengar ucapan Revan, betapa ingin Keysha berada diposisi Laura.
Dikhawatirkan dan dicintai oleh Revan dengan segenap hatinya.
----
Ervan mengantarkan Maura pulang ke rumahnya, menantikan kesadaran Laura yang tak kunjung datang.
Revan menyarankan Maura untuk beristirahat beberapa waktu, dan Maura menyetujuinya.
"makasih ya, kamu sudah baik sama aku"
Ervan tersenyum dan mengangguk, jelas saja karena ini adalah sebuah kebahagiaan baginya.
"kamu mau masuk, biar aku buatkan minum"
"kan kamu mau istirahat"
"gak masalah, gimana .... mau"
"boleh"
Keduanya pun masuk, Maura meminta Ervan untuk menunggu beberapa saat.
Ervan terdiam memperhatikan sekitar ruangan, begitu banyak foto Maura dan Gilang disana.
"silahkan"
Maura membawakan segelas minuman untuk Ervan, Ervan menerimanya dan meneguknya saat itu juga.
"Ervan"
"hem"
Ervan menyimpan gelasnya dan melirik Maura.
"kenapa"
"untuk perlakuan Gilang, aku minta maaf"
Ervan mengernyit mendengar kalimat Maura, maaf Maura tak diperlukan Ervan, karena dengan hal itu Ervan mendapat kepuasan tersendiri.
"aku gak tahu kalau Gilang akan melakukan semua itu"
"apa dia selalu kasar seperti itu"
"dulu iya, tapi sudah lama enggak, Gilang kasar karena dia belum bisa melupakan cintanya pada wanita itu, tapi semakin kesini, Gilang juga bisa cinta sama aku dan dia berubah baik gak pernah kasar lagi, tapi aku gak ngerti kenapa sekarang dia seperti itu"
Ervan terdiam menatap kesedihan diwajah Maura, ada sekelebat rasa simpatik dengan apa yang didengarnya.
"aku gak bisa seperti ini, aku gak mau punya pasangan yang kasar"
"kalau gitu tinggalkan dia"
Maura berbalik menatap Ervan, suara lantang Ervan mampu memberi sedikit kekuatan untuk Maura.
Saat Laura memintanya untuk bertahan, tapi Ervan justru bilang untuk mengakhiri semuanya.
"kenapa, kamu cinta sama dia"
Maura kembali menunduk, iya .... Maura memang cinta pada Gilang.
Perjuangannya untuk mendapat cinta Gilang bukanlah hal sepele, bagaimana bisa Maura memutuskan semuanya begitu saja.
"kamu gak bisa ninggalin dia, karena kamu gak akan lagi ada yang kasih biaya hidup kan"
"apaan sih, gak selalu tentang uang"
"ya itu kan kamu sendiri yang bilang"
Maura terdiam, mungkin itu benar, tapi bukan itu yang utama kenapa Maura berat untuk memutuskannya.
----
"makan dulu pah"
"mamah aja dulu, nanti aja belum laper"
Riska meneguk minumannya, sejak pulang dari rumah sakit, Riska melihat Angga yang begitu gelisah.
Mungkin besar atau pun kecil, Angga juga mengkhawatirkan kondisi Laura saat ini.
Riska sedikit senang melihatnya, berharap setelah kejadian ini, Angga bisa menerima Laura sebagai cintanya Revan.
"kalau belum mau makan, papah istirahat saja di kamar, biar cepat pulih kondisinya"
"iya mah, nanti saja"
Riska tersenyum dan mulai menikmati hidangannya, Riska sudah merasa lapar sejak berada di rumah sakit, tapi mengingat kondisi Laura, Riska harus melupakan rasa laparnya.
"papah mau ke rumah sakit lagi"
"nanti saja kalau gadis itu sudah sadar"
"iya, kenapa Laura gak juga sadar"
Angga terdiam menatap Riska yang makan dengan setengah melamun, Angga masih tak mengerti kenapa bisa gadis itu ada disana saat kejadian.
"sebenarnya sedang apa mereka disana, bagaimana bisa semuanya serba kebetulan"
"mungkin memang itu jalannya, agar kita bisa selamat"
Angga mengusap wajahnya, kalau saja waktu itu Angga memberikan apa yang mereka inginkan, mungkin tak akan terjadi sampai seperti sekarang.
Laura tak harus terluka karena menolong dirinya, iya .... mungkin kali ini Angga harus mengakui kesalahannya karena telah membuat orang lain celaka.
"papah mau istirahat dulu, nanti kalau ke rumah sakit bangunin"
Riska mengangguk dan kembali melanjutkan makannya, sampai detik ini Revan belum memberikan kabar apa pun tentang Laura.
"kasian Revan, dia pasti gak bisa tenang sekarang karena Laura yang tak kunjung sadar"
----
"baiklah kalau gitu aku pulang dulu, kamu mau istirahat kan"
"aku cuma mau mandi, nanti juga balik ke rumah sakit"
Ervan terdiam mendengar jawaban Maura, bukankah Maura setuju untuk beristirahat selama menunggu Laura sadar.
"ya udah kalau mau pulang, gak apa-apa"
"gak jadilah, ya udah sana mandi, aku tunggu di luar aja"
"gak jadi pulang"
"terus nanti kamu ke rumah sakit gimana, mau naik taxi, sayang uang"
Maura tersenyum, biar pun Ervan terkadang menjengkelkan tapi masih ada sisi baiknya.
"kenapa"
Maura menggeleng dan berlalu meninggalkan Ervan, Ervan tersenyum setelah kepergian Maura.
"aku harus mengabari Riana"
Ucapnya seraya mengeluarkan ponselnya dan melakukan panggilan pada Riana, berkali-kali diulang tapi Ervan tak mendapat jawaban apa pun.
"Apa dia sudah ke kantor"
Ervan menatap layar ponselnya, sudah beberapa hari sejak kenal Maura, Ervan jadi mengabaikan Riana.
Pesan dan panggilan Riana tak pernah diresponnya, Ervan merasa senang dengan apa yang sedang dirasakannya.
Berada ditengah permasalahan Maura dan Gilang, cukup mengobati kerinduan Ervan pada kekacauan Revan yang tak pernah dilihatnya lagi.
"hah .... gerah juga"
Ervan bangkit dan melangkah ke luar rumah, Ervan memperhatikan sekitar.
Rumah Maura memang nyaman, jauh dari kebisingan, orang-orang sekitar pun tampak tenang.
"mungkin memang benar, hidup sederhana tak selalu memalukan"
Ervan tersenyum, mengingat setiap kata yang dilontarkan Maura, sejak tabrakan dicafe sampai hari dan detik tadi.
Ervan merasa ada satu sisi yang membuat Maura terlihat istimewa, tapi Ervan belum bisa menemukan sisi tersebut.
"apa-apan ini"
Ervan menggeleng saat sadar apa yang tengah difikirkannya, Ervan kembali teriangat Laura, senyumannya juga debaran yang dirasakannya saat bersama Laura.
"apa mungkin saat ini aku sedang merindukan mu Laura"