Hari ini Angga dengan terburu-buru datang ke kantor, sesuai dengan permintaan Revan.
Awalnya, Angga tidak akan pergi, tapi karena Revan tiba-tiba memintanya untuk datang.
"Vanya"
"iya pak, selamat pagi"
Vanya bangkit dan menyapa Angga dengan hormat.
"apa Revan sedang menerima tamu"
"tidak pak, hanya sedang ada bu Cindy disana,bapak diminta untuk langsung masuk saja"
Angga mengangguk dan berlalu tanpa berkata apa pun lagi, Vanya menggeleng dan kembali duduk untuk melanjutkan pekerjaannya.
Angga memasuki ruangan, dan langsung duduk ditempat yang disediakan.
Revan menoleh dan terdiam untuk beberapa saat, sampai akhirnya, Revan memberikan beberapa berkas keuangan yang diberikan Cindy.
"gimana hasilnya"
Tanya Angga yang melirik Revan dan Cindy bergantian, Cindy hanya diam tak berani berkata apa pun.
"papah lihat saja, disitu sudah sangat lengkap dan jelas"
Angga membuka dan menelitinya satu persatu, Revan melirik Cindy yang tampak sangat tegang berada diantara dua atasannya.
"apa maksudnya ini, sampai sebanyak ini"
Revan kembali melirik Angga setelah mendengar pertanyaannya, itu yang dikeluarkan untuk dana kerjasama Ervan.
Angga lantas menatap Cindy, dan itu membuat Cindy semakin takut berada ditempatnya.
"apa-apan ini"
"papah jangan dulu marah sama Cindy, papah harus tahu dulu ceritanya, baru papah boleh putusin semuanya"
Angga terdiam menatap Cindy, setelah menunggu beberapa saat, Cindy pun bersuara meski dengan ketakutannya.
Menceritakan awal mulanya pengeluaran dana tersebut, dengan berbagai cara paksaan dan juga ancaman Ervan terhadapnya jika Cindy tidak mau memenuhi permintaannya.
Setelah Revan, kini Angga yang dibuat syok dengan tingkah Ervan selama ini.
"maaf pak, saya gak berani bilang semuanya selama ini"
"pindahkan dia dari jabatannya dibagian keuangan"
Revan dan Cindy sama-sama kaget dengan kalimat yang dikatakan Angga, bagaimana bisa hal itu terjadi, siapa yang akan menggantikan Cindy setelah sekian lama jabatan itu dipegang Cindy.
"tapi pah, itu bukan ...."
"pindahkan dia, hari ini juga"
"kita belum ada untuk penggantinya"
"itu bukan urusan papah, pindahkan dia atau kalau enggak, pecat saja"
Cindy benar-benar tak berdaya dengan keadaannya, memang salahnya juga karena lebih menurut pada Ervan dari pada berterus terang pada Revan dan Angga.
Angga bangkit dan berlalu dengan membawa berkas yang tadi diperiksanya, Revan bangkit dan sesaat menatap Cindy.
"harusnya kamu tidak lakukan semuanya"
"saya cuma ingin tetap bekerja disini pak"
"tapi akhirnya apa sekarang"
Tak ada lagi jawaban, Cindy tak tahu lagi harus bagaimana saat ini.
"sekarang kamu keluar"
"jangan pecat saya pak"
"saya akan cari solusinya dulu, nanti saya akan putuskan"
"saya mohon, beri saya kesempatan untuk memperbaiki semuanya pak"
"memperbaiki apa, kamu punya solusi apa untuk masalah ini"
"biarkan saja saya gak perlu digaji pak"
Revan tersenyum singkat mendengar jawaban Cindy, Cindy menatap penuh harap pada Revan.
"kamu fikir ini uang sedikit, harus berapa lama kamu bekerja tanpa gaji disini agar bisa mengganti semuanya"
"tapi pak ...."
"keluar sekarang, biar saya fikirkan untuk langkah selanjutnya"
Cindy menghembuskan nafasnya pasrah, dan berlalu meninggalkan ruangan Revan.
---
"Ervan .... Ervan .... keluar kamu dari kamar"
Teriak Angga setelah sampai di rumah, Riska tak mengerti dengan kemarahan suaminya saat ini.
"Ervan"
Teriak Angga kembali, Riska melirik Ervan yang menuruni tangga dan berjalan menghampiri Angga.
Tanpa disangka dan tanpa berkata lagi, Angga mengayun tangannya menampar Ervan.
Riska langsung menahan tangan Angga yang hendak menampar kedua kalinya.
"lepas"
"jangan pah, ada apa ini"
Ervan terdiam menatap Angga yang begitu jelas dengan ekspresi marahnya, Angga melempar berkas yang dibawanya dari kantor ke wajah Ervan bagitu saja.
"ulah apa lagi ini, apa otak kamu sudah tidak waras, kamu mau menghancurkan perusahaan Ervan"
Riska semakin bingung dengan keadaannya, Ervan terdiam menatap beberapa berkas yang berserakan dilantai.
Ervan tahu isi semua itu, karena memang sebelum ini, Revan juga telah mengintrogasinya terlebih dahulu.
"jawab Ervan"
"pah, sabar pah, sabar"
"harus sabar apa lagi mah, sudah lama papah memberi kepercayaan pada anak ini, tapi hasilnya mana, apa hasilnya, dia malah merugikan perusahaan"
"iya, papah tenang dulu"
"dia selalu minta untuk dipercaya, merasa diasingkan dirumah ini, membenci Revan karena rasa irinya, tapi sekarang apa, dia memang gak bisa dipercaya, selalu saja berbuat sesukanya"
Riska memejamkan matanya sesaat, baru saja keluarganya terasa hangat, tapi sekarang semua kembali berantakan.
"pergi kamu dari rumah ini"
Ervan menoleh dan terdiam menatap Angga, merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"pah, jangan seperti itu"
"dia hanya akan merugikan keluarga ini, gak ada yang bisa diandalkan dari dia"
Ervan tersenyum mendengar penuturan Angga, baru sesaat Ervan merasa baik-baik saja dan mampu menerima Revan sebagai saudaranya.
Tapi sekarang, Ervan kembali merasa muak dengan sosok Revan, Angga memang selalu saja lebih memilih Revan dalam segala hal.
Bahkan sekali pun Revan melakukan kesalahan, tapi giliran dirinya yang membuat kesalahan, Angga mengusirnya begitu saja.
"pergi, jangan lagi ada di rumah ini"
Ervan mengangguk dan berlalu begitu saja meninggalkan keduanya tanpa berbicara lagi, Riska menggeleng, itu tak boleh terjadi, Riska sudah pernah merasa kehilangan karena kepergian Revan waktu dulu.
Riska tak ingin lagi merasakan hal yang sama karena kepergian Ervan hari ini.
"pah, jangan pah"
"biarkan saja, dia fikir dia siapa bisa berbuat seperti itu"
"semua bisa dibicarakan baik-baik pah, kasian Ervan, mau pergi kemana dia"
"terserah, anak seperti itu tidak perlu dikasihani"
Angga kemudian duduk, berusaha menenangkan diri ditengah emosinya saat ini.
Riska turut duduk dan terus berusaha membujuk Angga agar mau merubah keputusannya.
Tak lama dari itu, Ervan kembali turun dengan membawa kopernya.
Riska lantas bangkit dan menghentikan langkah Ervan.
"jangan dengarkan papah kamu, jangan pergi"
Ervan tak peduli dengan itu, Ervan kembali melangkah dan tak peduli dengan teriakan Riska.
---
Ervan melangkah dengan penuh emosi, Ervan tak peduli lagi dengan semuanya.
Langkah Ervan terhenti saat tak sengaja menabrak Laura, keduanya sama-sama terdiam dengan saling menatap.
Ervan terpaku melihat senyuman dibibir Laura, senyuman yang sejak awal mampu membuat jantungnya berdetak hebat.
Bahkan sampai saat ini pun semua masih sama, Ervan sempat lupa dengan getar itu saat berada disisi Riana.
Tapi ternyata sampai sekarang pun getar itu masih ada, Ervan masih tak bisa mengontrol detak jantungnya saat melihat senyuman itu.
"kamu kesini, ada urusan apa, Revan gak ada di rumah, dia masih di kantor"
Laura menggeleng dan tetap tersenyum, Laura tak ingin memberi isyarat apa pun pada Ervan saat ini.
Karena memang bukan Revan yang menjadi tujuan kedatangannya.