Kayla selalu mengirimiku kabar seperti biasanya. Hanya saja, ada yang terasa aneh pada setiap balasannya, aku merasakan Kayla yang lain yang selalu membalas pesan – pesanku. Dia selalu mengirim pesan – pesan penyemangat yang lucu, mungkin sebuah gambar bergerak dengan pesan singkat dibawahnya. Sangat manis dan sifat Kayla sekali. Tapi, akhir – akhir ini terasa kaku dan entahlah, aku hanya merasa bingung saja. pesannya terasa berbeda dari sebelum – sebelumnya.
Aku mengirim sebuah email pada Kris, saat malam setelah aku mendapatkan pesan aneh dari Kayla. Dia mengirimku sebuah pesan yang tidak ku mengerti. Antara sebuah pernyataan, pertanyaan, atau apapun itu. Seperti seseorang yang sedang mengirimkan pesan pemberitahuan secara tersirat. Entahlah, itu sebabnya aku segera mengirim email pada Kris. Berharap mendapat jawaban pasti dari pria jangkung gila itu.
Satu minggu menunggu, akhirnya pesan Kris tiba tepat pukul dua belas malam, dimana aku masih bergadang untuk menyelesaikan pekerjaanku.
07.00 a.m
Hari ini aku berangkat ke Indonesia dengan penerbangan pagi, tanpa persiapan apapun. Yang jelas aku hanya perlu tiba disana sekarang. Aku meyerahkan semua tugasku pada Janet dan wakilku. Kurasa aku bisa mempercayakan perusahaan pada mereka untuk sementara. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi terlebih setelah mendapat pesan darinya.
"Kurasa kau memang harus tahu sekarang, Kayla, dia sakit. Kau harus datang untuk melihat keadaannya. Dia hampir melupakan semua orang yang ada disekitarnya bahkan mungkin kau."
"Keadaannya memburuk setelah hari ulang tahunmu. Dia berada dibawah penangan serorang dokter sekarang, aku mengikuti perkembangan penyakitnya dan itu semakin buruk."
"Gin, dia membutuhkanmu saat ini, dia selalu menangis tanpa sebab. Dia berbuah menjadi bingung saat berhenti menangis dan memanggil – manggil namamu. Aku percaya, Dad akan mengerti keadaan ini. Mom and Dad sudah ku beri kabar jauh – jauh hari. Maaf baru mengabarimu hari ini, mereka memaksa terutama Kayla. Mereka tidak ingin membebanimu termasuk aku, Gin."
Aku segera berlari ke arah luar bandara setelah pesawat yang kutumpangi tiba di Bandara Sukarno Hatta. Aku menyetop sebuah taksi dan memintanya mengantarku ke sebuah alamat. Aku tidak yakin jika aku akan tiba tepat waktu, pesawat yang ku tumpangi sempat delay karena salju yang menutupi landasan cukup tebal. Jadwal transitku juga cukup mundur karena beberap hal yang terjadi. Dan jarak Jakarta – Bandung... Ayolah waktuku benar – benar terbuang hanya untuk berada di jalanan. Aku hampir menghabiskan waktu 24 jam untuk tiba di Bandung.
Supir taksi itu menghentikan taksinya setelah kami tiba, aku segera turun dari sana dan berlari ke arah rumah dengan gerbang menjulang tinggi didepannya. Disana sudah ada orang tua Kayla, kakek dan neneknya, Alice, dan Kris. Mereka duduk bersama, berkumpul di ruang tengah dan mengobrolkan tentang sesuatu.
Aunty Susan yang pertama kali melihat kehadiranku langsung bangkit menghampiriku, dia memeluku dengan erat seraya mengelus punggungku dan menepuknya pelan, dia terseyum namun aku melihat sorot redup di matanya yang menggambarkan bahwa dia tidak sedang baik – baik saja, kesedihan menyelimutinya walaupun senyum lebar menghiasi bibirnya.
"Apa kabar nak, kau sehat selama disana?" uncle Wijaya menyapaku, dia bangkit berdiri dan memeluku seperti yang dilakukan aunty Susan tadi, mereka menyambut kedatanganku dengan senyum hangat seperti biasanya.
"Kau terlihat kurus Gin," ucap Kris saat aku duduk di sampingnya, dia memeluku juga sesaat dan tersenyum. Semuanya kembali hening, Alice berlari ke arahku saat dia baru keluar dari sebuah ruangan, dia langsung memeluku dengan erat, menggumamkan kata maaf dengan suara yang begitu pelan dan lirih. Aku mengangguk sebagai tanggapan saat ia sudah melepas pelukannya.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyaku memecah keheningan, aku menatap pada Kris, meminta jawaban atas pertanyaanku.
"Aunty?" gumamku pelan seraya menoleh ke arah aunty Susan berharap mendapat jawaba dari wanita paruh baya yang cukup dekat denganku itu.
"Alzheimer," tiba – tiba Kris yang duduk disampingku bergumam dengan kepala yang juga menunduk, namun kemudian ia tegakkan dan menatap ke arahku.
"Suatu keadaan dimana seseorang mengalami gangguan pada otaknya, gejala awalnya mereka yang menderita akan mudah mengalami lupa tentang nama benda, tempat, percakapan yang baru saja mereka bahas, dan hal – hal lainnya yang baru – baru ini terjadi. Suatu waktu dia juga akan tersesat di jalan yang biasanya sering ia lalui. Dia akan kebingungan dan cemas. Efek jangka panjangnya, dia akan melupakan segalanya, dia tidak akan mengingat apapun. Aktvitasnya akan terbatas jika seseorang tidak membantunya untuk melakukan suatu kegiatan. Dia akan mudah curiga, mungkin akan mengalami delusi atau halusinasi. Dan hal – hal lainnya"
Aku terdiam mendengar penjelasan dari Kris. Aku tidak tahu harus merespon seperti apa, aku hanya tidak yakin jika Kayla akan seperti ini, mungkinkah...mungkinkah sifat lupanya berhubunagn dengan ini.
"Hasil CT-scan dan MRI menunjukan hasil yang sangat jelas." lanjut Kris mempertegas bahwa itu bukan sebuah bualan atau candaan semata untuk mengerjaiku.
"Mungkinkah, sifat pelupa Kayla..." ucapku menggantung di akhir – akhir kalimat, aku sering mendapatinya lupa tentang segala hal. Dia manis saat seperti itu. Tapi jika berakhir seperti ini, aku tidak pernah mengharapkan hal seperti ini akan terjadi padanya.
Kris mengangguk mengiyakan ucapanku. "Itu gejala awal yang terjadi Gin," lanjut Kris menyahuti.
"Tapi, bukankah Alzheimer terjadi pada lansia?" tanyaku masih enggan untuk percaya. Ya, seingatku penyakit itu terjadi pada lansia, persentasinya sangat jelas bahwa kebanyakan penyakit itu terjadi pada mereka.
"Ayahku meninggal karena penyakit yang sama," uncle Wijaya tiba – tiba berucap seraya menoleh ke arahku, dia terlihat tenang, aku masih bisa melihat senyumnya disana walaupun samar.
"Penyakit ini juga bisa terjadi karena turunan," Kris menimpali, memperjelas dari ucapan uncle Wijaya yang duduk dihadapanku.
"Apakah bisa disembuhkan?" tanyaku lagi. Semuanya diam, Disini hanya aku satu – satunya yang bodoh, aku tidak tahu apa – apa sedang mereka sudah mengerti semuanya, segalanya tentang keadaan Kayla. Aku menjadi pihak terakhir yang tahu.
"Sampai saat ini kami belum menemukan obat untuk menyembuhkannya. Kami hanya bisa memberikan beberapa obat untuk memperlambat penyakit itu saja," jawab Kris dengan raut menyesal di wajahnya. Aku mengangguk paham, tidak ada yang bisa aku lakukan sampai saat ini, aku tidak bisa marah atau menolak keadaan ini, bahkan uncle Wijaya, ayah Kayla tetap tegar dan menerimanya dengan lapang dada. Aku tidak mungkin memukul Kris karena dia sudah melakukan tugasnya dengan baik. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.
"Dimana Kayla?" tanyaku. Setelah semua hening kembali cukup lama.
"Dia masih bekerja, Kayla masih tetap melakukan aktivitasnya hingga saat ini." aunty Susan menjawab dengan nada lirih berusaha menguatkan dirinya.
***
Sore sudah menyapa, Kris sudah kembali ke rumah sakit untuk melanjutkan pekerjaannya disana, Alice juga sudah pulang setelah Abbie datang menjemputnya satu jam yang lalu. Sedang aku, masih berada di rumah Kayla, menunggu aunty Susan di halaman belakang, dia bilang ada hal yang harus ia ceritakan padaku.
"Hujan turun cukup deras kali ini, udara juga mulai semakin mendingin." Aunty Susan datang menghampiriku dengan sebuah mantel tebal di tangannya. Ia mulai duduk di sampingku setelah kembali memamerkan senyum di bibirnya.
"Pakailah, kau baru tiba di Bandung, kau tidak boleh sakit karena udara dingin ini," katanya. Seorang pelayan yang mengikutinya dari belakang menghidangkan dua cangkir teh panas dan beberapa kookies dalam piring.
"Teh camomail, aromanya sangat menenagkan, cocok untuk dinikmati saat musim dingin seperti ini." aunty Susan kembali berucap seraya mengangkat cangirknya dan menyeruput tehnya sedikit untuk kemudian ia simpan kembali.
"Kau pasti masih belum percaya dengan semua inikan?" lanjutnya tanpa menoleh ke arahku. Aku mengangguk pelan sebagai jawaban, memperhatikannya yang masih sibuk menatapi hujan deras dari balik jendela.
"Dean, aunty juga tidak percaya jika Kayla akan seperti ini, aunty tidak percaya jika penyakit ayah mertua aunty akan turun pada Kayla. Saat pertama kali aunty mendengarnya, aunty sangat takut jika aunty akan kehilangannya, beberapa hari aunty menangis meratapi nasib malang Kayla. Tapi papa Kayla memberikan banyak pengertian dan meguatkan aunty agar tidak rapuh dihadapan Kayla, aunty tidak ingin terlihat sedih atas keadaan ini dihadapannya." jelasnya mula bercerita, tatapannya kembali sendu namun senyum masih terlukis disana.
"Kayla sudah tahu?"
"Dia yang lebih dulu tahu keadaannya, awalnya dia tidak memberi tahu kami, tapi satu keadaan membuatnya harus membongkar hal yang disembunyikannya itu. Satu – satunya orang yang tidak boleh di beri tahu tentang keadannya..."
"Adalah aku." sahutku memotong ucapan aunty Susan, dia tersenyum ke arahku lalu mengangguk singkat.
"Lantas kenapa Kris memberi tahuku?"
"Papa Kayla yang minta, kita tidak mungkin menyembunyikan ini lebih lama darimu. Keadaan Kayla semakin memburuk, hampir banyak hal yang ia lupakan, bahkan sesekali ia lupa dengan siapa ia bicara. Papa Kayla berkata jika ada baiknya kau mengetahui semuanya agar kau tidak kecewa, nak."
Aku terdiam, kecewa? Kurasa kecewa bukan kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku sekarang, aku menjadi orang terakhir yang tahu kondisi gadisku, aku menjadi satu – satunnya orang bodoh di antara mereka, mana mungkin kata kecewa cukup untuk menggambarkan perasaanku sekarang. Tapi, disisi lain aku bersyukur karena mereka melakukan itu semua untuk menjaga perasaanku.
"Apa Kayla melupakanku?"
"Kayla menulis namamu dimemo dan dia menempelnya diseluruh ruangan samapi kesudut – sudut agar dia tidak mudah melupakanmu. Seluruh aktivitasnya dan seluruh pesannya ia tulis di memo dan di tempel di berbagai tempat yang bisa ia jangkau agar ia tidak lupa dengan kegiatannya sehari – hari."
Aku ingat, saat aku masuk ke rumah ini, aku melihat banyak memo yang di tempel di beberapa tempat. Mungkin itu yang aunty Susan maksud. Aunty Susan mengubah posisinya sehingga menghadap kearahku setelah sebelumnya kami duduk berdampingan dan menatap tetesan air hujan yang turun begitu deras. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya, tangannya begitu halus dan hangat, mengingatkanku pada mommy yang sekarang berada di Amerika bersama daddy.
"Karena Kayla akan melupakanmu, maka kau juga harus melakukannya."
Tubuhku berjengit, terkejut untuk sesaat saat mendengar ucapannya, hingga aku bisa mengendalikannya kembali, dan berusaha tenang untuk mendengar kelanjutan ucapannya. Ku tatap beliau dalam diam.
"Aunty tahu janjimu dengan Kayla. Aunty senang jika mendapatkan menantu yang baik sepertimu Dean. Kau anak yang baik, kau bertanggung jawab, kau seorang pekerja keras. Aunty percaya kau bisa menjaga Kayla dengan baik."
"Tapi keadaan berubah nak, Kayla tidak seperti dulu lagi." aunty Susan mulai menampakkan raut menyesal di wajahnya, matanya memerah kala mengucapkan rentetan kata – kata dari bibirnya, yang sungguh sangat menyakiti hati. Aku tahu maksudnya, aku mengerti. Tapi, aku tidak bisa menerima ini.
"Hiduplah bahagia dengan seseorang yang lebih sempurna, Aunty akan tetap menganggapmu seperti anak Aunty sendiri. Bawa dia, dan perkenalkan dia pada Aunty suatu saat nanti." pintanya tiba – tiba, memaksaku untuk melepaskan Kayla dan hidup dengan wanita lain yang masih jauh dari pandanganku.
"Aunty, aku tidak seegois itu untuk memilih kebahagianku setelah kejadian ini. Meninggalkannya adalah tindakan yang akan sangat aku sesali seumur hidupku,"
"Dean," panggilnya kembali memohon pengertian.
"Aku selalu bermimpi bisa menjadi pria seperti daddy dan uncle Wijaya, aku tidak ingin mengingkari janjiku hanya karena masalah ini. Aku merasa tak terbebani, sku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa apapun yang terjadi aku akan tetap menepati janjiku." jelasku lagi memberi pengertian. Aku tidak perduli selama aku masih bisa menjaganya dengan seluruh kemampuanku, aku akan melakukannya. Terlalu banyak hal manis yang aku lalui dengannya, hingga tak mudah bagiku untuk melepasnya walau ia sendiri yang meminta. Aku tidak akan melepasnya.
"Kayla sendiri yang meminta, dan aunty rasa itu benar. Kau masih memiliki kehidupan yang panjang, kau masih memiliki banyak kesempatan. Carilah yang lebih baik dari Kayla dan hiduplah bahagia dengannya."
"Kematian sedekat urat nadi aunty, tidak ada yang tahu jika dimenit selanjutnya, aku atau orang lain yang meninggal karena suatu kejadian."
"Jika Tuhan menciptakan yang lebih sempurna, maka tidak ada lagi kesempurnaan bagi – Nya. Manusia hidup dengan sisi gelap dan terang yang mereka miliki. Tak ada kesempurnaan yang berarti. Jika aku menemukan perempuan yang sempurna maka hal apa yang bisa aku berikan padanya sebagai seorang suami sedang dirinya sempurna aunty!" kataku menahan kecewa. Beliau terdiam di posisinya, Air matanya mulai turun menganak sungai di pipinya, tak ada isakan, tak ada getaran dibibir bahkan bahunya.
"Aunty, yang aku lakukan bukan semata – mata karena janji yang sudah kubuat dengan Kayla. Aku melakukannya karena aku mencintainya tanpa alasan. Karena dengan itu, aku bisa menerima Kayla apapun keadaannya." kataku lagi mengakhiri percakapan kami. Aku tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Ini hanya akan membuatku marah dan kecewa akan keputusan sepihak yang telah dibuatnya. Aku lekas bangkit dari posisi dudukku, memberi salam dan lekas pergi meninggalkannya.