Saat aku berada di depan rumahnya, kutatap pintu ganda kayu jati di hadapanku ini, empat tahun sudah berlalu setelah terakhir kali aku melihat pintu itu menampakan sosok gadis mungil yang aku cintai, aku merindu selama empat tahun jauh darinya. Pesan dan paket yang selalu ku terima tidak bisa mengobati kerinduanku padanya. Rasanya hari – hariku berat karena selalu merindukannya dalam setiap detik.
Aku lekas berbalik dan pergi menuju rumah Kris yang tepat berada di seberang rumah Kayla. Semuanya rapi, tak ada sedikitpun barang yang bergeser dari tempatnya semula. Kris merawatnya dengan baik disamping ia disibukan dengan seluruh pekerjaannya yang menyita waktu untuk sekedar bersantai di rumah. Ada beberapa barang baru yang terpajang dengan apik di rak, seperti miniatur pesawat terbang, kapal laut dengan layar – layar yang berkibar, beberapa figurku dengan Kris, mom dan daddy. Itu figur – figur baru setelah kelulusan SMA ku beberapa tahun lalu, dan Kris yang baru menyelasaikan profesi barunya setelah kepindahanku ke Swiss empat tahun lalu.
Kris dan aku menyukai action figur, kami mengoleksinya beberapa dan semakin penuh dalam rak saat aku pindah kesini.
"Kau sudah pulang?"
Aku lekas menoleh ke arah pintu, dimana sosok Kris tampak di depan pintu yang baru saja ditutupnya kembali, ia melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal rumah. Kakinya melangkah ke arah dapur dan melakukan sesuatu disana. Aku mengikutinya dan duduk disalah satu kursi bar untuk memperhatikannya.
"Kapan kau tiba, sudah makan malam?" tanyanya seraya memasang celemek setelah menyimpan dua kantung kresek di atas meja.
"Belum lama. Kau tidak pergi mandi atau mengganti pakaianmu dulu?" tanyaku saat ia mulai memasak. Sekarang pukul lima lebih, waktu makan malam hampir tiba.
"Aku akan mandi setelah selesai makan dan segera bersantai di depan televisi," jawabnya dibarengi senyum simpul di bibirnya.
"Setiap hari seperti ini?" tanyaku lagi dan dia mengangguk seraya membawa sayurannya untuk segera dicuci.
"Ada masalah?" tanyanya seolah mengerti melalui ekspresi di wajah dan nada bicaraku. Mungkin dulu Kris tidak akan terlalu peka dengan apa yang sedang ku hadapi karena aku mampu menyembunyikannya dengan ekspresi datar yang ku miliki. Tapi tidak setelah kehadiran Kayla dalam hidupku, dia sangat mudah memahamiku bahkan tanpa aku bicara padanya.
Aku mengeluarkan cincin yang selalu berada di saku celanaku setiap hari, bahkan saat tidur aku akan memakainya di jari kelingkingku agar tidak lepas dariku. Kris menoleh, ia melihat ke arah cincin yang sedang ku genggam dan ku tatapi dengan lekat.
"Ah! Kayla mengirimkannya sebagai kado ulang tahunmu tahun ini." katanya sambil menunjuk cincinnya, dan kembali pada sayuran yang di cucinya.
"Kau tahu?"
"Dia yang memintaku mengirimnya lewat pos, dia takut jika akan tersesaat sebelum tiba di tempat tujuan."
"Apa alasan dibalik Kayla mengembalikan ini padaku?"
Aku menoleh ke arah Kris, menanti jawaban yang kurasa lebih jelas ketimbang isi surat Kayla yang mengatakan bahwa aku harus kembali dengan cincin ini untuk mengambalikannya sebagai tanda bahwa aku telah menepati janji padanya. Aku yakin alasannya bukan itu saja. Kris berhenti dari aktivitsanya, ia menyangga tubuhnya dengan kedua tangan yang bertumpu pada tepian meja, nafasnya menghembus berat dan tatapannya kosong terarah pada sayuran segar yang telah di cucinya tadi.
"Kris?" panggilku menuntut jawaban atas pertanyaanku.
"Kau pasti sudah mendengarnya dari tante Susan, bukan?" pertanyaan retoris Kris lontarkan padaku seraya ia beralih ke arahku dan menatapku dalam diam setelah bertanya.
"Jadi benar, Kayla yang meminta," gumamku pelan seraya memutar cincin di tanganku.
"Menurutmu apa yang harus aku lakukan?" tanyaku meminta solusi seraya menatap cincin yang masih dalam genggamanku.
"Aku yakin kau sudah tahu jawabannya. Kau tidak perlu meminta solusi padaku," sahut Kris kalem seraya tersenyum ke arahku sekilas.
"Aunty Susan memintaku melupakan Kayla, karena dia akan melupakanku dengan cepat," gumamku seolah mengadu, aku menatap ke arah Kris dan ia menoleh sekilas ke arahku dan tersenyum, ia kembali melanjutkan pekerjaan memasaknya. Entah akan menjawab atau hanya menyampaikannya lewat senyuman tak berarti menurutku.
"Pergilah mandi dan ganti pakaianmu, setelah itu lekas kembali dan kita makan malam bersama." Kris mengalihkan pembicaraan, dia terdengar enggan membahas ini lebih jauh lagi. Aku menurut dan segera pergi menuju kamar untuk mandi dan mengganti pakaianku, tapi sebelumnya Kris berkata...
"Aku percaya pada keputusanmu. Aku selalu mendukungmu!" ujarnya menyemangati seraya mengedipkan matanya ke arahku dan kembali menggoyang wajannnya.
Setelah selesai denga urusan mandi dan ganti baju, sesuai permintaan Kris aku kembali ke dapur dan mendapati segalanya sudah siap. Makanan sudah tersaji di atas meja makan dengan dua piring kosong, dua pasang sendok – garpu, gelas berisi air minum. Dan makanan dengan jumlah cukup banyak di tengah – tengah meja makan.
"Kenapa begitu banyak?" tanyaku saat melihat kepulan asap pertanda bahwa mereka baru keluar dari wajan dan masih panas.
"Happy birthday, Gin!" gumamnya dengan senyuman gila khas miliknya. Sudah lama aku tidak melihat kegilaannya. Aku tidak tahu besok pagi dia akan membangunkanku dengan teriakan menggelegarnya lagi atau tidak.
"Makanlah selagi hangat, welcome back in Bandung, brother," lanjutnya seraya menatapku dengan kekehan ringan di bibir tebalnya.
Kami mulai menyantap makan malam kami dengan khidmat. Tak ada niatan dari kami untuk membuka percakapan saat makan kali ini. Kris sibuk dengan makanannya begitu juga dengan aku. Kris menambahkan kembali lauk di atas piringku, menyuruhku untuk menghabiskannya dengan isyarat dari tangan dan senyuman di bibirnya.
***
Aku mulai mengurus semua pekerjaanku dari sini. Meminta Janet dan wakilku untuk mengirimkan semua pekerjaanku kesini, aku akan memantaunya dari sini sampai saat dimana aku akan kembali ke Swiss dengan Kayla, aku sudah memutuskan bahwa aku akan melanjutkannya, aku akan menepati janjiku dan membawa Kayla untuk tinggal disana. Sebenarnya dari awal aku memang sudah yakin seratus persen dengan keputusanku, hanya saja aku ingin mendengar pendapat Kris tentang ini.
Terlalu lama berada diruangan membuatku merasa penat, kurasa bukan pilihan buruk jika memilih untuk pergi berjalan – jalan sebentar. Sudah lama bukan aku tidak mengunjungi Bandung, aku ingin tahu adakah perubahan besar yang terjadi di sini selama aku menetap di Swiss.
Aku keluar tepat saat gadis mungil penghuni rumah di seberangku keluar dari rumahnya. Aku berdiri mematung di sini, memperhatikan segala gerak – geriknya dalam diam. Dia seperti terburu – buru sekarang, sepatunya masih belum terpasang dengan sempurna, namun dia sudah berlari ke arah jalanan sepi. Dia juga memperbaiki letak jaket tebalnya yang sedikit bergeser dari bahu kecilnya, memperbaiki letak tasnya di bahu. Aku mengikuti dengan langkah lebar. Tepat setelah kami keluar dari area perumahan, dia pergi menaiki bis. Dengan segera, aku menaikinya juga dan duduk di bangku paling belakang, memperhatikannya dari kejauhan.
Bis berhenti, dia segera turun setelah mengucapkan terimakasih pada sang supir.
"Nuhun Pak!" kata Kayla ceria.
"Makasih pak!" kataku setelah Kayla turun dari bis.
"iya...iya, nuhun. Sama – sama. Eneng geulis, ujang kasep!" kata pak supir menyahuti dengan logat sundanya.
Aku kembali mengikutinya. Sekali lagi, langkahnya benar – benar tergesa, sampai ia tiba disebuah gedung pencakar langit yang berada didepan mataku, gadis itu masuk kesana dengan larian kecilnya, menganggukan kepalanya seraya tersenyum saat beberapa orang menyapanya dengan ramah.
"Dean?" suara seseorang memanggil dari arah belakang. Aku lekas berbalik dan mendapati Alice berdiri dengan reaksi terkejut di wajahnya.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya bingung setelah sadar dari keterkejutannya. Wajahnya beralih ke arah belakangku dan aku mengikuti arah pandangnya, tepat saat gadis itu menghilang di balik pintu kaca otomatis gedung di depan kami.
"Ikutlah, hari ini aku memiliki waktu luang cukup panjang." seolah mengerti, Alice mengajakku untuk ikut bersamanya, kami mengunjungi sebuah cafe di pinggir jalan yang tak jauh letaknya dari gedung tinggi tadi.
"Kau mengikutinya?" tanpa basa – basi Alice memulai pada point utamanya.
"Dia tidak menyadarinya," sahutku seraya menatap gedung yang Kayla masuki tadi.
"Dia hanya sedang terburu – buru kurasa," balas Alice seperti menghiburku. Aku tersenyum menanggapinya.
"Resiko yang harus kita tanggung bersama bukan? suatu saat dia akan melupakan semuanya." kataku dengan tenang, memberi isyarat padanya bahwa aku baik – baik saja jika memang Kayla mulai melupakanku.
"Semalam dia masih bertanya tentangmu, aku belum memberi tahunya perihal kedatanganmu. Kurasa jika kau sendiri yang langsung menemuinya itu akan lebih baik." jelas Alice meyakinkanku bahwa dia tidak sedang menghiburku sekarang. Aku mengangguk menanggapi tanpa suara.
Hening menyapa cukup lama, kami sibuk berkutat dengan fikrian masing – masing, aku dengan fikiranku tentang Kayla, dan Alice, entahlah aku tidak tahu apa yang sedang difikirkannya, dia terlihat gelisah dan bingung untuk memulai. Sepertinya banyak hal yang akan ia utarakan padaku saat ini.
"Kau ingat siapa yang terakhir kali mengirim email padamu?" tanya Alice memecah keheningan, kepalanya yang tertunduk kini kembali tegak dan menatapku dengan serius. Namun ada ekspresi lain di wajahnya, seperti raut penyesalan mungkin, entahlah. Aku akan tahu setelah ia mengatakan kelanjutannya. Aku mengangguk singkat sebagai jawaban atas pertanyaannya.
"Seolah sudah menjadi pola kesehariannya yang baru. Setiap kali ia bangun tidur, Kayla akan memeriksa memo – memo baru yang ia tulis sebelumnya dan ia tempel disegala penjuru rumah" Alice menjeda, dan aku tetap diam menunggu kelanjutan ceritanya.
"Tapi pagi itu sedikit berbeda, setelah semalaman suntuk ia bergadang demi bertukar pesan denganmu tepat dihari ulang tahunmu, Kayla tidak memeriksa memonya, dia hanya segera pergi ke kamar mandi dan entah apa yang dilakukannya disana. Kayla berada cukup lama dikamar mandi, namun saat keluar dia masih berpakaian seperti sebelum ia masuk kesana." jelas Alice panjang lebar menceritakan kronologi saat Kayla berhenti membalas email dariku untuk waktu yang lama.
"Diluar dugaanku, Kayla melakukan hal yang sama di hari – hari berikutnya. Tapi Kayla masih mengingatmu Dean, aku jelas mendengarnya berkata bahwa dia sedang menunggu pesan darimu. Kayla mengadu padaku bahwa kau lupa mengabarinya."
Aku mengernyit mendengar penjelasan Alice. Aku masih mengingat semua aktivitasku dihari itu sampai sekarang.
"Saat aku memeriksa emailnya, pesanmu masuk dan belum ada yang ia buka satupun. Bahkan ia lupa dengan laptopnya sendiri. Saat itu aku masih mengingatkannya untuk membuka emailnya dan memeriksa pesanmu, tapi Kayla kembali lupa saat ia memasuki kamarnya, hal itu terus ia ulangi setiap hari, lupa pada kejadian – kejadian kecil dan percakapan singkat yang baru saja terjadi,"
Alice menghentikan ceritanya, dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kertas kecil berwarna hijau pandan kemudian meyerahkannya padaku.
"Aku mendapatkannya saat memeriksa agenda Kayla dalam memo yang di tempelnya,"
"Jadi__" kataku menggantung seraya menoleh ke arah Alice setelah membaca isi memo yang mengatakan bahwa Alice harus menggantikan Kayla mengirimi pesan padaku saat ia mulai lupa. Alice mengangguk, raut penyesalan kembali tergambar di wajahnya.
"Maaf, karena aku tidak jujur padamu. Aku tidak ingin kau tahu hal ini seperti yang Kayla inginkan. Dia sangat menghawatirkanmu Dean, dia tidak ingin kau tahu keadaannya dan membuatmu terpaksa datang kesini untuk kemudian merepotkanmu karena kondisinya." jelas Alice setelah ia memohon maaf atas ketidakjujurannya padaku saat itu.
"Aku mengerti, tidak apa – apa," jawabku memaklumi. Alice memag teman yang baik, dia benar – benar bagaikan keluarga bagi Kayla. Bahkan setelah keadaan yang menimpa Kayla, Alice masih setia berada disampingnya dan membantunya. Aku mengerti kenapa Alice mengikuti permintaan Kayla. Pada intinya, semua yang mereka lakukan semata – mata demi kebaikanku. Aku sangat bodoh karena lamban untuk menyadari kejanggalan ini.
"Cincin itu..." Alice kembali menjeda ucapannya saat melihat cincin yang berada digenggamanku.
"Aku dan kak Kris yang mengirimnya padamu, Kayla yang meminta," jelasnya melanjutkan ucapannya yang tertunda tadi. Aku mengangguk mengerti, Kris sudah menjelaskannya padaku semalam.
"Apa Kayla memintaku untuk berhenti?" tanyaku seraya menoleh ke arahnya. Alice pasti mengerti maksud pertanyaanku. Dia mengalihkan wajahnya ke arah luar dimana hujan kembali turun siang ini. Lama terdiam hingga ia mengangguk singkat dengan pelan.
"Tapi aku tidak akan berhenti!" kataku dan Alice menoleh ke arahku.
"Kami dipihakmu!" sahut Alice cepat dengan semangat.
"Bahkan aku akan memaksa Abbie untuk berada dipihakmu juga!" lanjutnya bersemangat. Aku terkekeh mendengarnya, Abbie sudah pasti berada di pihakku. Belum lama ini kami saling berhubungan lagi dan berbicara cukup panjang tentang banyak hal. Bahkan ia yang mendorongku untuk segera menyelesaikan semua ini.