"Dimana Kayla?" Kris datang dengan kemeja biasa tanpa jas dokternya. Dia duduk di kursi yang sebelumnya Kayla duduki tadi.
"Kau baru selesai denga pasienmu?" tanyaku tak menggubris pertanyaannya.
"Begitulah, kondisinya kembali kritis. Aku harus ekstra memeriksanya." jawab Kris tenang kemudian menghembuskan nafasnya lelah.
"Jadi, dimana Kayla?" tanya Kris kembali pada topik utama seraya menoleh ke beberapa arah mencari tubuh mungil Kayla.
"Dia sudah pulang"
"Sendirian?"
"Tidak, aku meminta Abbie untuk menjemputnya karena dia bersikeras untuk pulang naik taksi sendirian"
Kris terkekeh mendengar penjelasanku. Matanya mengerling nakal seolah menggoda dan mengejeku sekarang. Dia menghampiriku dan menatapku cukup lekat seolah menilik hal aneh dari wajahku sekarang. Aku lekas mendorongnya karena tak nyaman di tatap demikian aneh olehnya. Kris kembali terkekeh dan terduduk nyaman di kursinya seraya melipat kedua tangannya di dada.
"Ada apa denganmu? Apa aku terlihat aneh?" Kris lantas mengangguk tanpa mengubah ekspresi di wajahnya, dahinya sesekali mengkerut seolah menerka – nerka hal aneh apa yang ada di wajahku saat ini.
"Ada yang aneh di wajahmu," ucapnya dengan mata memicing. Sekali lagi ekspresinya tidak berubah. Sekarang semakin terlihat menyebalkan. Aku tahu dia akan membuat lelucon menyebalkan seperti biasanya. Kehidupannya tidak akan jauh dari itu.
"Apa?"
"Aku menemukan sesuatu di sini," katanya seraya menunjuk ke arah keningku dengan kekehan jahilnya. "Disana tertulis bahwa seorang Dean Finnigan sedang menghawatirkan kekasihnya, Kayla Athaleta!" lanjutnya terkekeh menang. Dia menaik turunkan alisnya dengan menjijikan, membuatku semakin menajamkan tatapan ke arahnya.
"Kau semakin terlihat berbeda semenjak menjalin hubungan dengan Kayla. Aku benar – benar harus membuatnya menjadi adik iparku agar kau tidak kembali hidup sebagai bekuan es kutub utara!" katanya masih dengan kekehan, walaupun dia sudah mengangkat tangannya menyerah, berhenti untuk terus menggodaku sekarang.
"Terserah apa katamu."
"Apa kau akan membawanya ke Swiss tahun depan?" tanyanya mulai serius.
Aku terdiam saat mendengar Kris membahas perihal kepulanganku tahun depan. Ya, setelah semester 6 ku berakhir aku akan kembali ke Swiss dan melanjutkan pendidikanku disana. Ayah memintaku untuk mengelola salah satu cabang perusahaan di Swiss karena ayah tak bisa mengelola semuanya sendirian, pimpinan sebelumnya mengundurkan diri tiba – tiba tanpa alasan, sehingga untuk sementara waktu aku yang harus mengisi kekosongan posisi itu sampai ada yang siap menggantikanku nanti.
Aku belum menceritakan ini pada Kayla, aku tidak tahu harus memulai cerita dari mana agar Kayla mengerti dan memahami maksudku. Sebenarnya tidak sulit untuk membicarakan hal ini dengan Kayla, dia pasti akan cepat mengerti dan memaklumi keputusanku. Hanya saja, akhir – akhir ini Kayla cukup sensitif untuk beberapa hal terlebih jika itu menyangkut hubunganku dengannya. Setelah kembali ke Swiss, aku tidak bisa menentukan kapan aku akan kembali ke Indonesia. Bahkan mungkin aku tidak akan kembali lagi ke sini untuk selamanya karena harus mengelola perusahaan ayah disana.
"Kau belum membicarakan ini dengannya?" kediamanku langsung di pahami oleh Kris.
"Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku tidak mungkin membawa Kayla kesana sedang impiannya ada disini, dan aku tidak bisa menjajikan berapa lama aku akan disana. Bahkan daddy sudah memilik wacana untuk pergi ke Amerika dan menyerahkan perusahaan disana sepenuhnya padaku setelah aku lulus."
"Kau bisa bicarakan itu bersama daddy, Gin. Aku yakin dia memiliki jalan keluarnya,"
"Kurasa tidak untuk hal ini. Apa kau merasakan keanehan dari Kayla?"
"Aku tidak yakin, tapi kurasa akhir – akhir ini dia cukup sensitif. Banyak hal tak terduga yang dapat memicu emosinya. Bahkan hal kecil sekalipun."
Aku mengangguk setuju dengan pendapatnya sekarang. Ini pertama kalinya aku tidak mengerti dengan sikap Kayla. Moodnya bisa berubah secara mendadak. Aku tidak bisa memahaminya, dan untuk mengantisipasinya aku harus berhati – hati saat bicara denganya.
"Pikirkanlah bagaimana caranya. Kau tidak bisa menundanya lebih lama. Aku tidak yakin jika daddy akan membawamu sesuai perjanjian. Siapa tahu kau akan kembali kesana lebih cepat dari yang telah ditentukan." ujar Kris memberi saran. Dan aku setuju dengan itu.
"Hah! Aku lelah, jangan berisik aku akan tidur disini." Kris bangkit dari kursinya dan pergi ke sofa yang berada di dekat jendela. Dia mulai merebahkan tubuhnya disana setelah melepas mantelnya. Kakinya yang panjang menggantung di ujung sofa. Kepalanya ia ganjal dengan bantalan sofa disana, melipat tangannya di dada dan tertidur begitu saja.
Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam, kurasa Kayla sudah tiba di apartemennya. Aku lekas menngambil phonselku dan memeriksanya, siapa tahu ada pesan masuk dari Kayla.
"Kayla sudah tiba dengan aman. Jangan membalas karena aku akan tidur. Aku lelah, aku yakin kau tahu itu. Jangan ganggu phonselku malam ini. Aku tidak mematikannya karena aku tidak sempat untuk melakukannya. Selamat malam. Besok siang kami akan kesana!" ~Abbie~
"Aku sudah sampai, tidurlah. Besok siang setelah selesai dari kampus aku akan kesana bersama Alice dan Abbie" ~Kays~
Dua pesan kudapatkan malam ini. Syukurlah mereka sampai dengan selamat. Kurasa aku juga mulai mengantuk sekarang. Efek obat mungkin. Aku segera menyimpan phonselku ke meja dan lekas berbaring menyusul Kris yang sudah terlelap beberapa saat lalu. Kurasa dia sudah terbang ke alam mimpinya.
***
"Ayo makan siang bersama!"
Itu Kayla, dia berdiri dekat pintu kelasku. Kayla datang ke fakultasku hanya untuk mengajak makan siang. Kayla seorang pemalu, dia tidak akan menemuiku secara langsung jika ingin makan siang bersama. Biasanya dia mengirimiku pesan dan menungguku di restoran atau di kantin fakultasnya. Dia beranggapan bahwa dirinya akan mengangguku jika datang kesini dan mengajakku makan siang atau pulang bersama. Tapi sekarang, dia ada didepanku.
"Kau sendiri?" tanyaku saat tak melihat Alice bersamanya.
"Eum, Alice baru saja di jemput Abbie setelah jam pelajaran selesai,"
"Baiklah, ayo kita makan!" ajakku sambil menggandeng tangannya untuk segera mengikutiku.
"Makan di kantin tidak apa – apa?" tanyaku saat aku mengajaknya untuk makan dikantin fakultasku. Waktu istirahatku saat ini cukup singkat, aku tidak bisa pergi lebih jauh dari kantin terdekat untuk makan siang.
"Apa tidak apa – apa? Aku belum pernah makan disini,"
"Tentu saja, tidak ada yang melarang seorang mahasiswi dari jurusan Psikologi untuk makan siang disini bersama pacarnya," jawabku dengan senyum menggoda, membuat pipi Kayla bersemu merah, dia memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menghindari tatapanku. Tak mau berlama – lama menggodanya.
"Dean! bergabunglah. Kita makan bersama!" teriaknya Ryan seraya mengangkat tangannya tinggi – tinggi ke arahku dan Kayla.
"Mau bergabung?" tawarku pada Kayla. Aku takut jika dia tidak akan merasa nyaman jika makan bersama teman – teman kelasku. Bagaimanapun, Kayla tidak terlalu dekat dengan mereka. Kami terbiasa makan siang bersama Alice, mungkin sesekali Abbie juga turut makan siang bersama saat dia memiliki waktu luang untuk menemui kekasihnya itu.
"Terserah padamu,"
"Kalau kau tidak nyaman, kita bisa makan berdua saja. Mereka tidak akan apa – apa."
"Apa tidak apa – apa? Aku malu," bisiknya sambil menatapku, terlihat sorot gugup di matanya.
"Mereka orang yang baik, tentu tidak akan apa – apa,"
"Temanmu, temanku juga. Aku harus menerima tawaran mereka dengan baik," Kayla tersenyum dengan lebar, matanya yang sipit ikut melengkung indah seperti bibirnya. Dengan senang hati, aku melangkah mengajaknya untuk bergabung bersama teman – temanku. Kayla mengenal Ryan dan Lulu, tapi hanya sekedar mengenal sebagai temanku, tidak terlalu dekat seperti aku pada Alice, Abbie dan Radit.
"Selamat siang Kayla!" Lulu menyapa dengan riang pada Kayla. Diikuti Ryan setelahnya.
"Sering – seringlah makan siang bersama kami disni. Jangan malu, kami senang dengan kehadiranmu," ujar Ryan bersemangat sambil tersenyum ke arah Kayla. Syukurlah suasana mencair karena mereka. Kulihat Kayla bisa duduk dengan tenang karena keterbukaan Lulu dan Ryan padanya.
"Terimakasih," cicit Kayla masih malu – malu tapi tidak semalu sebelumnya.
"Dan kau juga Dean. Sering – sering bawa Kayla berkumpul dengan kami. Jangan selalu menyembunyikannya. Aku sudah punya pasangan kalau kau mau tahu," Ryan menaik turunkan alisnya ke arah Lulu seolah meminta persetujuan atas ucapannya tadi. Lulu tersenyum dan menanggapi dengan sebuah anggukan setuju atas ucapan Ryan.
"Jangan malu, kami tidak menggigit. Ryan memang sering bercanda," ujar Lulu menimpali dengan senyuman yang tak pernah hilang dari bibirnya semenjak bicara dengan Kayla.
Percakapan kami memanjang disela – sela makan siang kami. Rasa gugup yang melanda Kayla benar – benar menghilang, dia menikmati makanan dan percakapannya dengan Lulu, sesekali dia menoleh ke arahku dan tersenyum senang.
Jam makan siangku hampir habis, waktuku tersisa sepuluh menit lagi untuk kembali ke kelas dan melanjutkan kelas berikutnya. Makan siang menyenangkanku juga sudah selesai. Aku senang melihat Kayla bisa lebih dekat dengan teman – teman kuliahku.
"Kufikir aku akan menganggumu, jika ikut berkumpul dengan mereka,"
"Tentu saja tidak, mereka selalu menunggu saat dimana bisa makan bersama denganmu terutama Lulu. Dia satu – satunya perempuan yang selalu bersama kami, makanya sering menggerutu dan memintaku untuk mengajakmu dalam beberapa kegiatan kami. Kau saja yang terlalu berfikiran negatif," ucapku menjelaskan seraya mencubit hidungnya gemas. Dia mengaduh kesakitan sambil menjauhkan tanganku dari hidungnya. Matanya menatap tajam ke arahku dan mendengus kesal.
"Kau manis saat seperti itu," godaku kembali membuat pipinya kembali memerah dan kembali mengalihkan pandangannya dariku. Selalu seperti itu, Kayla sangat mudah gugup saat kugoda seperti itu. Sebenarnya dia memang manis, aku senang melihat senyumnya. Aku tidak sedang menggodanya, aku hanya mengatakan faktanya saja.
"Langsung pulang?" tanyaku setelah melirik jam tangan yang menunjukan waktuku tinggal lima menit lagi.
"Eumm, pelajaran hari ini sudah selesai."
"Baiklah, maaf tidak bisa mengantarmu. Aku harus kembali ke kelas. Hati – hati dijalan, jangan berkunjung kemanapun tanpaku. Langsung pualng ke rumah dan katakan padaku jika kau ingin mengunjungi suatu tempat. Nanti kita pergi bersasma." pesanku sambil tersenyum. Kayla mengangguk dan ikut melempar senyum ke arahku. Dia segera menyelempangkan tasnya di bahu dan pergi setelah melambaikan tangannya padaku.
Saat kembali ke kelas, Lulu dan Ryan sudah duduk manis di barisan tengah, mereka sedang bercanda disana, tapi kurasa yang lebih tepat adalah Ryan sedang menggoda Lulu. Mereka cukup dekat, tapi tidak ada hubungan spesial diantara mereka. Lulu sendiri sudah memiliki pacar, dia seorang pengusaha muda. Sedangkan Ryan sedang mendekati seorang gadis dari fakultas Sains, aku lupa namanya. Ryan pernah bercerita bahwa dirinya pertama kali mengenal gadis itu saat mereka berada dalam salah satu organisasi yang sempat Ryan ikuti, beberapa bulan lalu dia mengundurkan diri dari organisasi yang diikutinya.
"Berhenti menggodaku!" teriak Lulu kesal sambil memukul pelan bahu temannya yang tertawa renyah disampingnya.
"Lihatlah pipimu memerah nona Lulu Liana," tawa Ryan terdengar begitu nyaring dan lepas, dia menikmati reaksi Lulu terhadap ucapannya, tak memperdulikan pukulan – pukulan Lulu yang dapat membuat kulit berubah merah seketika.
"Kau mengantar Kayla terlebih dahulu?" tanya Ryan saat melihat ke arahku yang mendekati mereka. Aku menggeleng seraya melepas tasku dan duduk disamping Ryan.
"Kau membiarkannya pulang sendiri?"
"Eumm!" jawabku dengan anggukan singkat
"Demi apa tuan Finnigan kau membiarkan Kayla pulang sendirian! Setidaknya antarkan dia!"
"Mau bagaimana lagi, sebentaar lagi dosen masuk," balasku memberi alasan sambil menunjuk jam tanganku.
"Hah! Kau benar," desah Ryan setuju dengan nada suara yang lebih pelan.
"Hey! Kayla sangat manis, dia masih malu – malu ya? Dean, sering – sering ajak dia bermain bersama kita. Aku tidak punya teman ngobrol kalo tidak ada Kayla, dan aku bosan mendengar mulutnya terus mengolok dan menggodaku. Dasar sialan!" keluh Lulu sekaligus memuji Kayla dengan nada gemas, tak lupa ia kembali melayangkan umpatan dan pukulan keras penuh kekesalannya pada Ryan. Yang di pukul malah terkekeh ringan tak perduli.
"Lain kali aku akan mengajaknya lagi," jawabku menyetujui yang langsung dibalas dengan senyuman senang dan anggukan didagu lancip gaids keturunan China Surabaya itu. Dia segera duduk dengan rapi setelah mendengus dan mendelikkan matanya ke arah Ryan saat seorang dosen matakuliah memasuki pintu kelas.