Tidak terasa, lima hari liburan di Jogja hampir kami lewati. Kami benar – benar menghabiskan waktu bersama di kediaman Radit, menjelajahi semua tempat wisata menyenangkan disini, bahkan setiap hari Alice dan Kayla memaksa untuk ke pantai untuk sekedar menikmati pagi dan sore.
Sore ini, setelah kami mengunjungi toko sovenir dan membelinya beberapa, aku mengajak Kayla mengunjungi suatu tempat. Ada hal yang harus Kayla ketahui sebelum aku benar – benar kembali ke Swiss. Menyampaikan janjiku padanya.
"Kita akan kemana?" tanya Kayla saat haya kami berdua yang berada dalam mobil. Radit banyak membantuku dalam hal ini, bahkan ia yang mengantarkan Kayla dan membukakan pintu mobil untuknya. Aku sangat berhutang banyak terimakasih padanya.
"Kau akan tahu nanti." jawabku tenang seraya tersenyum dan memasang seatbelt setelah ia duduk dan ikut memasang seatbeltnya.
"Tapi kenapa hanya kita berdua?" tanya Kayla lagi masih bingung kemana aku akan membawanya kali ini. Aku hanya tersenyum sebagai respon kemudian menjalankan mobil dengan kecepata sedang.
Selama perjalanan, Kayla masih tampak bingung, namun semua itu berangsur menghilang kala ia menikmati hamparan pemandangan yang indah di sore hari, luasnya lautan, dan perbukitan yang berada nun jauh disana. Mengalihkan perhatian Kayla dari kebingungannya terhadap rencanaku saat itu. Aku akan merindukan ekspresi bahagianya yang terpancar seperti sekarang ini.
Saat mobil berhasil ku tepikan, Kayla kembali menoleh ke arahku dan menatapku kembali dengan raut kebingungan yang kentara diwajahnya. Aku memilih tetap diam hingga aku keluar dan membukakan pintu untuknya, menariknya keluar dan membawanya ikut denganku.
"Kita lihat lebih jelas apa yang ada disana." ajakku sambil mengulur tangan padanya. Kayla langsung menerimanya dan menggenggamnya, kemudian kami berjalan bersamaan ke sana.
Ku gandeng tangannya dengan erat, menuntunnya untuk berjalan dengan hati – hati kedekat tepi pantai, gulungan ombak terdengar mendebur begitu nyaring dan menenangkan, terbentang luasnya laut yang biru dengan burung – burung yang bergerombol terbang diatasnya, jangan lupakan langit jingga yang terpantul di atas air lautan biru memberikan bias cahaya yang silau namun meneduhkan dan matahari yang berada di ufuk barat bersiap – siap untuk terbenam menggantingan langit cerah siang hari dengan pemandangan malam bertabur bintang. Sore yang indah, semua panorama alam yang jarang ditemui di Bandung dan hal itu adalah hal yang paling diinginkan Kayla saat pertama kali Alice dan Abbie mengajaknya untuk berlibur disini.
Kayla tak percaya dengan apa yang dilihatnya kali ini, ini benar – benar menakjubkan baginya. Sangat indah dan Kayla menyukainya. Matanya masih memandang takjub pada apa yang ada didepan matanya.
"Kau suka?" tanyaku seraya menoleh padanya yang masih setia menikmati moment – moment mengagumkan milik alam ini. Dia mengangguk kencang, tersenyum lebar ke arah ku dan kembali pada kesenangannya mengagumi pemandangan laut didepannya.
"Hadiahmu Kayla, aku tidak bisa membawa semua ini ke Bandung. Aku tidak mau jika hadiahmu hanya selembar foto pemandangan dalam sebuah kardus." kataku tanpa melepas genggamanku ditangan mungilnya, bertaut dengan erat dan akan tetap seperti ini sampai kapanpun, aku akan berusaha menggenggam tangannya bahkan ketika Kayla terjatuh. Tatapan kami tertuju seutuhnya pada laut dan matahari yang hampir tenggelam. Kicauan burung seolah menjadi backsoud moment romantis kami kali ini.
"Kau merencakananya?" tanya Kayla beralih menoleh padaku. Aku langsung menghadap ke arahnya, kini kami saling berhadapan dengan perlahan ku tarik kedua tangannya dan menggenggam jemarinya dengan erat.
"Lebih dari itu, aku menyiapkannya untukmu. Semua ini kusiapkan saat kau mengatakan jika Abbie dan Alice mengajak kita untuk berlibur disini. Aku menghubungi Radit dan menyusunnya jauh – jauh hari. Dia sangat membantuku mulai dari hari itu hingga sekarang." jelasku dengan tatapan yang tidak beralih, membuat Kayla terus terfokus padaku, menunggu penjelasan selanjutnya tentang kejutan untuknya.
Tanpa Kayla sadari, aku menyematkan cicin di jari manis kiri Kayla, sebuah cincin sederhana dengan kilau mata cincin yang berbentuk buah strowberry, kekanakan mungkin, tapi aku yakin Kayla akan menyukainya.
"Kayla," panggilku pelan yang berhasil membuat pandangan Kayla terus terpusat padaku.
"Berjanjilah padaku bahwa kau akan menungguku," lanjutku seraya kembali mengeratkan peganganku pada jemarinya yang lentik.
"Janji!" jawab Kayla mantap tanpa berfikir panjang. Aku tersenyum semakin lebar, hatiku langsung menghangat kala mendengar jawaban yakin darinya.
"Dear, aku janji, saat aku kembali aku akan langsung meminangmu." lanjutku membuat Kayla tertegun di posisinya. Tatapan tak percaya namun terselip rona bahagia terpancar jelas di wajahnya, senyumnya semakin merekah saat itu juga.
"Ayo menikah saat aku kembali dari Swiss!" ajakku semakin yakin seraya mengangkat tangan kiri Kayla yang sudah tersemat cincin manis disana. Dia terlihat semakin terkejut dan senang kala melihat apa yang melingkar di jari manisnya. Air matanya tiba – tiba meluncur tanpa aba – aba. Aku bahkan bisa mendengar isakannya sekarang. Dia langsung menghambur ke pelukanku, memeluku dengan erat dan menangis sejadinya disana.
"Tepati janjimu, jangan pernah berpaling dariku. Aku akan menunggumu disini. Menunggumu memenuhi janjimu." pintanya berebutan dengan suara isakan di bibirnya.
Aku mengangguk dengan sangat yakin, dan bergumam didekat telinganya. Ia tersenyum saat merenggangkan pelukannya dan menatapku masih dengan lelehan air mata di pipinya.
"Aku berjanji." sumpahku seraya tersenyum padanya dan mulai menghapus air matanya. Aku kembali membawanya dalam pelukanku dan mengecup puncak kepalanya.
Aku sempat tak yakin dengan ide gilaku ini, terlebih saat tahu jika mood Kayla mudah berubah – ubah dengan cepat. Keyakinanku langsung luntur mengingat hal itu, beragam spekulasi muncul dikepalau untuk membandingan keseriusanku akan rencana ini, dan aku mendapatkan hasil buruk dan membuatku harus berfikir ulang untuk menjalankan rencana ini. Namun, keyakinanku kembali muncul dan lebih besar dari sebelumnya saat mendapat dukungan dari Kris, dan ketiga sahabatku. Bahkan Radit mengajukan bantuan dengan sukarela. Dia membantuku menemukan tempat ini. Dengan akses mudah yang dimiliki Radit, aku bisa pergi kemana saja selama itu masih di kota tercintanya dalam jangkauannya. Tetu saja.
"Tapi, darimana kau menemukan cincin seperti ini?" tanya Kayla sambil mengamati cincin yang tersemat di jari manisnya sejak setengah jam yang lalu.
"Aku membelinya Kayla, tidak mungkin aku memberikan barang yang kutemukan. Itu sangat tidak sopan." jawabku di selingi candaan di dalamnya. Kayla memberenggut dan memukulku pelan sebagai protes bahwa bukan itu maksud dari pertanyaannya.
"Itu hadiah yang akan aku berikan di hari ulang tahunmu waktu itu. Tapi, karena aku lupa dan insiden konyol gara – gara kopi dan kue, dia jadi terabaikan." kataku menjelaskan yang sebenarnya.
***
Tidak terasa, November datang begitu cepat. Aku tidak percaya jika besok adalah jadwal keberangkatanku kembali ke Swiss, bahkan aku merasa tidak memiliki banyak waktu luang untuk bersama Kayla disini. Hari – hariku disibukan dengan jadwal kuliah dan proyek yang harus segera di rampungkan sebelum keberangkatanku ke Swiss. Satu minggu lalu, aku menginap di rumah granny dan grandpa, menemani mereka sebelum kembali ke Swiss. Malam kemarin, mereka mengadakan pesta perpisahan sederhana untukku. Kayla, Abbie dan juga Alice ikut bergabung disana. Rasanya benar – benar berat meninggalkan kota ini sekarang karena Kayla. Jika diberi pilihan, aku memilih untuk tetap disini dan mengurus semua tanggung jawabku disini. Tapi apa yang bisa aku lakukan jika semua pekerjaan dan kehidupanku memang berpusat di negara yang menjadi tempatku tumbuh besar.
"Daddy sudah menyiapkan semuanya disana, kau tinggal menggunakannya. Surat – surat kepindahanmu sudah sampai dan sudah diproses. Setelah kau tiba disana kau hanya perlu mengurus beberapa hal kecil untuk satu minggu kemudian kau bisa memulai kuliahmu disana." jelas Kris menyampaikan pesan yang diterimanya dari daddy beberapa hari lalu setelah mendapatkan kiriman surat – surat kepindahanku.
"Daddy juga menyiapkan satu rumah untukmu. Kau hanya perlu menempatinya saja. semuanya sudah disiapkan."
"Kenapa berlebihan sekali? Aku bisa tinggal bersama mereka"
"Not Gin. You need to be independent"
"If you got me to be independent, then why did you prepare everything for me?"
"It's not me, that's dad. If I were daddy, so I will give you everything. I will not intervened and I'll let you to really do it with your self."
"I know, daddy very love me!" Kris langsung memutar matanya jengah mendengar ucapanku yang begitu percaya diri. Dulu juga Kris diperlakukan sama, seluruh kebutuhannya terpenuhi walaupun ia hidup jauh dari daddy. Bahkan hingga saat ini. Namun, karena Kris sudah bekerja, dia berusaha menyerahkan hidupnya pada karirnya sekarang.
"Kau sudah merapikan semua barangmu?" tanya Kris seraya mundur dan mendudukkan dirinya di sofa, menselonjorkan kakinya disana dan memperhatikanku yang sedang menata koper didepan pintu keluar agar mudah untuk segera dibawa saat akan berangkat besok.
"Sudah." jawabku singkat kemudian berjalan dan duduk di sofa kosong dekat Kris, mengambil segelas minuman yang ada di meja dan langsung meneguknya.
"Ah! Ini pasport dan tiketmu. Kau akan berangkat besok pagi." aku langsung mengambilnya dan memeriksa tiketnya. Dari awal aku datang hingga aku akan kembali besok, seluruhnya sudah disiapkan oleh Kris, aku hanya perlu berangkat dan menikmati perjalanan untuk kemudian saat tiba nanti, seorang supir akan menjemputku dan mengantarku sampai rumah. Begitu nikmat karena aku tidak harus repot – repot mengurus ini itu sebelum berangkat dan saat tiba nanti.
"Kau menyiapkan segalanya untukku." gumamku sambil memandangi tiket dan passportku, Kris hanya mengangguk acuh tak acuh seraya mengendikan bahunya. Ia tahu apa yang dimaksud olehku saat ini.
"Setidaknya, itu yang bisa kuberikan sebelum kau pergi lagi, aku sangat senang saat mendapat kabar bahwa kau akan terbang ke Bandung dan melanjutkan sekolahmu disini, dan daddy menghancurkannya saat menyuruhmu untuk kembali." sahutnya kesal dengan ekspresi datar. Kris memang sedikit gila dan cerewet, tapi sungguh, dia sangat menyayangiku. Lebih dari dirinya sendiri. Dia memang kakak terbaik. Terimaksih Kris.
"Aku berharap daddy memberiku ruang untuk kembali."
"Aku pastikan kau mendapatkannya, percaya padaku."
"Kau akan melakukannya lagi?"
"Tidak, tentu saja tidak. Daddy penuh dengan rahasianya. Tapi percayalah kau akan mendapatkan keinginanmu nanti, bukan karena bantuan aku atau granny." sahut Kris membantah tebakanku tentang rencananya yang selalu berhasil meluluhkan hati daddy.