"Di, bangun Di, woy bangun." Anto masih menampar-nampar pipiku dengan keras.
Dengan mata yang masih mengantuk dan kepala yang terasa sedikit pusing, aku menangkis tamparan terkahirnya lalu perlahan duduk.
"Iya, iya gua udah bangun." aku mengambil nafas dalam, sambil mengusap wajah dengan kedua tanganku, kemudian menghembuskannya perlahan. Tiba-tiba terdengar suara pria yang cukup berat dan kencang
"Ayo cepet keluar kalian! upacara mau dimulai." Sepertinya itu suara Pak Heru, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan sekaligus guru pendidikan jasmani.
"Ayo berdiri, Di!" ajak Anto sambil mengulurkan tangannya yang memerah padaku. Aku raih tangannya, dan perlahan mulai beridiri. Begitu kuberdiri, nampak ruang kelas yang sepi dan hanya ada aku, Anto, dan Pak Heru dengan kumis tipis dan kepala botaknya, dia bersandar di pintu sambil memegang sebuah gagang sapu.
"Tidur kamu ya?" tanya Pak Heru
"Iya pak." jawabku dengan suara pelan sambil membungkuk berusaha mengambil topiku di dalam tas.
"Kamu ini, sudah kelas tiga bukannya belajar sungguh-sungguh, di kelas malah tidur terus kerjaannya." Pak Heru mengomel sambil memukul gagang sapu yang dipegangnya ke pintu berulang-ulang kali.
Sambil berpura-pura tidak mendengarkan perkataannya, aku kenakan topi dan merapihkan baju yang terlihat berantakan. Ketika meraba punggungku, punggung itu terasa sedikit dingin dan basah. Kulihat Anto seperti menahan tawa melihatku, dan terlihat ada gelas minuman plastik dengan beberapa sisa air dan batu es di meja kami.
"Oh, jadi itu sebabnya!" pikirku.
"Hey! cepetan! ditungguin malah santai santai kalian." bentak Pak Heru sambil memukul gagang sapunya dengan kencang.
"Iya pak, iya pak." Aku langsung bergegas keluar kelas diikuti Anto di belakangku. Saat kami melewati Pak Heru, aku sempat ingin diberi hadiah kecil berupa pukulan dengan gagang sapu di bokong darinya, tapi ditahan oleh Anto. Dan setelah itu mereka berdua sempat saling adu tatap di depan pintu.
Saat kami sudah di luar kelas, di lapangan terlihat semua murid berbaris rapih, sesuai dengan kelas mereka masing-masing, dan para guru yang berbaris dengan sedikit santai di depan dan belakang mereka. Kami berdua langsung masuk ke barisan kelas kami dan mengikuti upacara bendera dengan khidmat, walaupun sebenarnya kepalaku terasa sedikit pusing. Upacara bendera itu berlangsung dengan cukup khidmat, dengan Pak Rahmat, sang kepala sekolah sebagai inspektur upacara. Saat bagian amanat inspektur upacara, selain mendengarkan ceramah Pak Rahmat yang membuat dengkul kami semua seperti mau copot saking lamanya, kami juga berdoa bersama untuk kepergian Pak Rudi, Bu Ani, dan Bu Dian. Hal itu semakin membuatku kepikiran tentang apa yang terjadi pada mereka, ditambah pelajaran pertama hari ini adalah matematika.
Setelah upacara selesai, kami semua langsung berjalan santai ke kelas. Sesampainya di kelas, ku pindahkan tasku ke atas meja, dan duduk dengan santai sambil membenamkan wajahku ke tas. Suasana kelasku saat itu sangat ramai, karena tidak adanya guru dan tugas, semuanya jadi mencari kegiatan untuk menghabiskan jam kosong ini, ada yang bermain handphone, ada yang bergosip, ada yang ke kantin, dan ada juga yang mencoba tidur sepertiku. Tiba-tiba terdengar suara dari speaker kelas.
"Perhatian! kepada ketua kelas dua belas IPA tiga, IPA empat, dan IPA enam di harapkan menuju ruang meja sekarang!"
"Sekali lagi, perhatian kepada ketua kelas dua belas IPA tiga, IPA empat, dan IPA enam di harapkan menuju meja piket sekarang!, terimakasih"
Semua sorot mata langsung tertuju pada Anto, Antopun langsung bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan kelas. Yah, memang begitulah sahabatku yang telah kukenal lama semenjak sekolah menengah pertama, dia bisa dibilang siswa yang rajin tapi anehnya, nilai ujian yang dia dapat lebih rendah dariku yang menempati ranking ke lima dari bawah di kelas. Tapi kalau bicara soal tugas, tanggung jawab, solidaritas, dan kesetiaan, dialah yang nomor satu. Bahkan sewaktu di sekolah menengah pertama ada sebuah momen dimana orang lain tiba-tiba menjauhiku tanpa alasan yang jelas, hanya dia yang masih mau berteman dan bermain denganku. Jika tidak ada dia, mungkin aku sudah dibully dan gila karena tidak punya teman sama sekali. Untunglah kami masuk di sekolah yang sama lagi, jadi aku tidak perlu khawatir.
Aku yang gagal mencoba tidur kembali, tanpa handphone dan Anto, akhirnya hanya bisa melamun bosan sambil memainkan resleting tasku. Jika tanpa Anto, aku serasa seperti terasingkan di kelas ini, tidak ada satupun murid lain yang mengajakku bicara. Tapi kebosananku itu sirna ketika Anto kembali ke kelas sambil membawa selembar kertas di tangan kirinya. Pandangan seisi kelas langsung tertuju padanya dan kertas yang dibawanya. Anto berdiri di depan kelas, sambil mengeluarkan handphonenya dari saku kiri celananya, mulutnya pun mulai bicara.
"Jadi ini ada tugas soal dari piket, dikerjakan di kertas lembar pake soal, dikumpulkan hari ini, soalnya udah gua kirim di grup WhatsApp. Kalo udah selesai, kumpulin di meja gua!" kata Anto dengan suara rendah dan mata yang sesekali melirik ke pojok kanan atas.
"Sama ini tolong langsung diisi nama lengkap kalian dan tandatangan, buat bukti kehadiran jam matematika hari ini." Anto mengangkat kertas yang dari tadi dia pegang.
Setelah mendengar hal itu semuanya langsung mengeluh dan menggerutu, terkecuali aku yang sudah tau bahwa ada kebohongan dari apa yang diumumkan oleh Anto. Setelah selesai bicara, Anto langsung duduk kembali di kursinyanya sambil membawa kertas absensi. Sambil mengisi lembar absensi, aku berbisik pada Anto.
"Tugasnya dikumpulin hari ini, To?" bisikku
"Hari Rabu!" bisik Anto sambil mengoper kertas absensi ke meja belakang.
"Hahahaha, kebiasaan banget lu To." Candaku sambil tertawa kecil
"Kantin yuk To!" Ajakku
"Lu duluan aja ntar gua nyusul, gua harus cepet-cepet ngumpulin absen ke meja piket!" Anjur Anto
"Gua tungguin lu aja deh!" Tolakku
"Gak, gak usah lu duluan aja, laper kan lu belum sarapan?" Protes Anto. Apa wajahku terlihat selapar itu, sampai Anto tau aku belum sarapan?
"Udah santai aja gua tungguin!" timpalku
Cukup lama kami menunggu sampai murid terakhir menuliskan nama dan tandatangan. Setelah semua selesai, kami berdua langsung ke meja piket menyerahkan absensi tadi. Saat di meja piket, aku dapat melihat dari pintu yang terbuat dari kaca, meja Pak Rudi di ruang guru yang masih ada beberapa tumpuk kertas dan foto Bu Dian masih terpajang disana. Setelah Anto selesai mengumpulkan absensi, kami langsung menuju kantin.
Begitu sampai di depan kantin, terlihat kantin yang sepi, hanya ada beberapa murid yang makan, merokok, dan mengobrol disana. Sambil berjalan dan memikirkan apa yang ingin kubeli, kuraba semua saku celana serta bajuku, dan aku baru tersadar kalau tidak membawa uang. Akhirnya kami duduk saling berhadapan di meja terdekat.
"Lu mau makan apa? biar gua pesenin!" Anjur Anto
"Eh, gak usah To, gak jadi gua " Tolakku
"Kok gak jadi?"Tanya Anto
"Gua lupa bawa duit ternyata To." Aku menunduk malu
"Oh, tenang aja gua yang bayarin. Duit jajan gua lagi dilebihin nih, hari ini." Karena merasa enak ditawarin seperti itu dan kebetulan memang aku benar-benar lapar, akhirnya kuterima tawarannya.
"Wah, kebetulan dong kalo begitu To. Yaudah deh pesenin gua mie goreng dong!" balasku dengan wajah ceria
"oke." Anto beranjak dari duduknya dan menghampiri salah satu penjual mie instan di kantin. Selain makan, sebenarnya aku ingin curhat ke Anto mengenai mimpiku pagi harinya dan kejadian yang kualami pada malam harinya. Jadi setelah Anto balik dari memesan mie, aku ingin bicara padanya.
"Udah gua pesenin tuh, nih minumnya." Anto sambil kembali duduk, dan meletakan dua botol teh di meja.
"Iya makasih, To!" balasku sambil sedikit menundukkan kepala, tanda terimakasih.
"Santai, kita kan sahabat, emang harus saling bantu!" Kata Anto sambil tersenyum kecil.
"Cerita apa?" Tanya Anto dengan wajah yang terlihat tertarik sambil membuka dan meminum tehnya.
Aku berbisik menceritakan semua tentang mimpi ku tadi pagi padanya, tentang restoran, Kak Lia, perayaan anniversary, Bu Dian, dan siksaan yang terasa begitu nyata bagiku. Saking serunya kubercerita, sampai tak sadar pesanan mie kami diantarkan oleh Bu Kantin. Wajah Anto yang awalnya nampak sangat tertarik, kini nampak terlihat bosan.
"ahhh, oh gitu." Anto melempar botol tehnya yang telah kosong ke tempat sampah.
"Yah, itukan cuma mimpi. Lu cuma kecapean kali, makanya mimpi yang aneh-aneh!" Kata Anto sambil dia meniup-niup poninya.
"Tapi kan To....." omonganku terputus oleh bel istirahat yang tiba-tiba berbunyi, diikuti dengan sebuah pengumuman yang terdengar dari speaker kantin.
"Perhatian kepada seluruh ketua kelas sepuluh, sebelas, dan dua belas diharapkan berkumpul di sumber suara segera."
"Sekali lagi, perhatian kepada seluruh ketua kelas sepuluh, sebelas, dan dua belas diharapkan berkumpul di sumber suara segera. Terimakasih."
"Gua dipanggil tuh, gua pergi dulu ya. Lu habisin aja mienya, udah gua bayar kok." Anto beranjak pergi dengan kedua tangan di saku celananya.
Aku sebenarnya ingin ikut menemaninya, tapi dilihat dari raut wajahnya, kelihatannya dia sedang tidak ingin diganggu, dan ingin sendiri, ditambah aku tidak enak kalau mie yang sudah dia bayar tidak kumakan. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap di kantin yang semakin ramai, memakan mieku, dan menunggu dia kembali. Cukup lama aku menunggu dia, sampai mieku habis dan bel masuk berbunyi, akupun beranjak dari bangkuku dan kembali ke kelas, meninggalkan mangkuk mie Anto yang tak tersentuh sama sekali.
Saat kusampai di kelas, aku sama sekali tak melihat Anto.
"Mungkin belum selesai urusan ketua kelasnya?" Pikirku.
"wuufhht..wuufhht...wuufhht." Aku berjalan santai sambil bersiul bosan ke bangkuku.
Saat kuhendak membenamkan kembali wajahku ke atas tas. Tasku terlihat seperti ada benjolan persegi panjang kecil, akupun membuka isi tasku. Aku terkejut, karena ternyata didalamnya ada handphoneku yang telah kucari-cari dari pagi, tapi ada beberapa retakan dan goresan di layar handphonenya, padahal aku ingat sekali, kemarinnya layar handphoneku masih bagus dan mulus tanpa retakan atau goresan sedikitpun.
Dan samar-samar tercium aroma parfum bunga di handphoneku