Setelah itu ibu mendekati ranselnya, mengeluarkan sebuah kantong plastik berisi dua box makanan di dalamnya, dan menaruhnya di meja makan dengan tangan kanannya. Aku melirik kamar tidurku yang terang dengan pintu terbuka lebar, dan tidak terlihat seorangpun disana, hanya kamar tidur dengan sebuah kasur, lemari, dan meja belajar kayu. Benar-benar hanya sebuah kamar tidur normal bagi seorang remaja berusia tujuh belas tahun yang sehat.
Kemudian dengan berdaster motif bunga dan berkalungkan handuk, ibu menghampiriku.
"Emak baru selesai mandi?" Tanyaku
"Iya baru selesai, memang kenapa?" Tanya balik Ibuku
"Engga, gak papa!" Jawabku sambil melirik kembali kamar tidurku
"Kamu belum makan kan Di? ayo makan dulu!" Ajak Ibuku
Aku bangkit dari sofa dan mengikuti ibu ke meja makan. Sesampainya di meja makan, kami duduk bersebelahan, mengambil box makanan yang berisi sebuah burger lengkap dengan saus sambal, aku ambil dua gelas air putih dingin dari kulkas, dan kami mulai menyantapnya bersama. Ketika makan, mataku tak bisa terlepas dari tangan kiri ibu yang menjuntai kaku di samping tubuhnya.
"Kenapa Di?" Tanya ibuku
"Tangan kiri emak belum juga sembuh?" Balasku
"Oh, kemarin sih baru check up, kata dokter tinggal sebulan terapi lagi harusnya membaik" Jawab ibuku
"Oh, begitu. Syukurlah kalau emak sebentar lagi sembuh," Balasku dengan senyuman.
Tentu saja jawaban dari ibu sama sekali tidak membuatku puas, pasalnya sudah hampir setahun semenjak kecelakaan saat liburan waktu itu yang tidak hanya melumpuhkan tangan kiri ibu, tapi juga membuat kami kehilangan ayah dan Yanto, adikku.
"Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirin, ini bukan salah kamu kok! lebih baik kamu pikirkan sekolah dan masa depanmu, uang saku kamu lupa dibawa lagi kan?" Tanya ibuku
Aku hanya bisa mengangguk pelan karena malu.
"Kamu ini! kalau kamu jadi pelupa terus kaya gini, nanti hidup kamu bakal susah sendiri jadinya!" Omel ibuku
Aku hanya bisa menunduk diam mendengarkan omelan ibu yang tak berhenti sampai semua makanan dan minuman di meja makan habis.
Setelah selesai makan dan membuang box kosongnya ke tempat sampah, dan mencuci gelas bekas minumku aku masuk kembali ke kamar mandi untuk mencara handphone. Dan kutemukan di saku belakang celana seragam yang kupakai tadi.
Sehabis handphonenya ketemu, begitu keluar dari kamar mandi, terlihat ibu yang sedang meminum obatnya sambil berdiri di depan meja makan. Aku lewati dengan santai pemandangan yang hampir setiap malam kulihat itu dan langsung masuk ke kamar tidurku
Kukunci kamar, melepas kaos, dan menyalakan kipas angin. Dengan bertelanjang dada, kurobohkan badan ke kasur, dan mulai membuka handphone. Aku cek aplikasi WhatsApp yang sepi, tiada pesan baru satupun sedari sore tadi.
Karena bosan dan mengantuk dikarenakan menunggu ibu pulang hampir setengah hari, ditambah suasana malah yang sunyi, serta hembusan angin sejuk dari kipas, aku perlahan mulai menutup mataku bersiap untuk tidur. Tidak seperti kemarin malamnya yang sangat mencekam, malam itu aku bisa tidur dengan pulas serta nyaman, bebas dari suara ketukan ataupun lengkingan yang sangat menganggu itu.
Pagi harinya aku bangun dengan begitu segar, bersemangat, dan bergairah, kulihat jam dinding menunjukkan pukul lima lewat lima puluh tujuh menit. Setelah merapihkan kasur dan mematikan kipas angin, aku keluar kamar tidur bersiap untuk mandi. Begitu keluar dari kamar tidur, terlihat suasana rumah yang kosong nan sepi, ibu yang biasa membangunkanku di pagi hari juga tidak ada.
Aku langsung mengambil satu set seragam putih abu-abu dan berjalan santai ke kamar mandi. Tapi saat ke kamar mandi, perhatianku teralihkan oleh sesuatu yang tergeletak di atas meja makan, yaitu kunci rumah dan uang tujuh ribu rupiah.
"Oh, ini pasti emak, dia pasti udah berangkat duluan!" Gumamku
Aku ambil dan bawa kunci beserta uang itu ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku keluar dengan mengenakan seragam putih abu-abu dan menggenggam handuk yang dari semalam mengagantung di kamar mandi, di tanganku. Lalu keluar rumah untuk menjemurnya
Sehabis itu aku masuk kembali ke rumah dan membuka kulkas hendak mengambil air dingin. Ketika kubuka, tidak ada apapun disana, hanya rak-rak plastik tanpa ada satupun makanan atau minuman di atasnya.
Setelah gagal mendapatkan air dingin untuk minum, aku langsung bergegas ke kamar tidur sambil membawa tasku. Di sana, kurapihkan isi tas dan bersiap berangkat ke sekolah. Setelah semuanya lengkap dan rapih, aku keluar rumah, mengunci pintu depan, dan langsung tarik gas ke sekolah.
Ditengah perjalanan yang sunyi karena masih sedikit orang yang sudah keluar untuk beraktivitas, aku merasa ada sesuatu yang aku lupa lakukan. Entah apa itu, tapi hal itu benar-benar sangat mengganggu pikiranku.
Sesampainya di sekolah, aku parkirkan motor, dan berjalan santai sambil menunduk ke ruang kelas, aku periksa jam di handphone menunjukan pukul enam lewat tiga belas menit. Tapi belum sempat sampai ke kelas, aku bertemu dan diberhentikan oleh salah seorang satpam.
"Pagi, dek!" Sapa si satpam
"Pagi,pak!" Balasku sambil tetap menundukan kepala
"Wah, dua hari ini kamu datangnya pagi terus kamu dek, hebat!" Puji si satpam
"Terimakasih kasih, Pak!" Balasku dengan senyum tipis ke arahnya.
"Loh? kamu kenapa? kamu lagi sakit?" Tanya si satpam
"Memang kenapa pak?" Balasku.
"Muka kamu itu pucat banget, hidung kamu juga mimisan gitu!" Jelas si satpam
Aku yang kebingungan, langsung mengeceknya dengan mengelap filtrumku dengan telapak tangan kiri. Dan benar saja, jari-jariku langsung penuh dengan noda berwarna merah.
"Kamu punya tisu kan? coba disumpel dulu lubang hidung kamu itu!" Anjur si satpam.
"Gak ada pak!" Balasku sambil mendongakan kepalaku ke atas, agar darah berhenti mengalir keluar dari lubang hidungku.
"Saya ke toilet dulu aja deh, pak!" Pamitku
"Yaudah sana! hati-hati jalannya! nanti kepentok dinding!" Kata si satpam
Aku langsung berlari pelan ke toilet sekolah. Begitu sampai aku langsung masuk, mendekat ke wastafel, dan berkaca dengan cermin yang ada di sana. Dan nampaklah wajahku yang putih pucat serta hidung yang dari kedua lubangnya mengalir darah dengan derasnya.
Aku langsung menyalakan keran wastafel, dan menghujani wajahku dengan puluhan basuhan air, serta menghirupnya ke hidungku dan menghembuskannya kembali berulang-ulang kali, sampai tak ada lagi darah yang mengalir dari lubang hidungku.
Setelah sudah tidak ada lagi darah yang keluar dari kedua lubang hidungku, dan wajahku juga nampak sedikit lebih segar, aku keluar dari toilet sekolah. Dan terlihat para murid serta guru yang mulai berdatangan, suasana sekolah yang tadinya sunyi dan sepi, kini mulai ramai didatangi warganya.