Chapter 6 - Ibu

Cukup lama aku duduk di atas motor menunggu ibu pulang bekerja, sampai sang matahari mulai mewarnai langit yang biru dengan cahaya jingga kemerahannya, serta awan-awan abu-abu mulai bergumul. Bahkan baterai handphoneku sudah kehabisan dayanya lalu kutaruh handphone itu di saku celana belakang.

Ditengah bosannya menunggu, bibirku mengerucut dengan sendirinya dan mengeluarkan suara siulan yang mengikuti irama musik di kepalaku, "wit wit wit wit wit.... wit wit wit wit wit wit...."

Namun tak sampai satu bait lagu aku bersiul, tiba-tiba ada seorang pengendara motor berjaket serta berhelm ojek online dengan seorang wanita berhelm hitam dan berkemeja putih dengan jas, celana capri hitam serta sebuah tas ransel coklat di punggung menumpang dibelakangnya. Mereka melewati dan berhenti tepat di depanku, wanita itu turun perlahan dari motor dengan tangan kanannya bertumpu pada pundak pengendara di depannya. Setelah turun, wanita itu meminta si pengendara melepaskan helm yang dia kenakan, yang langsung saja dituruti, dan nampaklah wajah ibuku.

"Terimakasih, ya Mas!" Kata ibu sambil memberikan helm tadi ke si pengendara.

"Ya, sama-sama Bu!" Balas si pengendara sambil matanya terfokus pada handphone yang dia genggam

Setelah itu, si pengendara memutar balik arah motornya, melewatiku kembali dan pergi meninggalkan kami. Kemudian ibu yang sepertinya sudah menyadari keberadaanku langsung memutar badannya menghadap ke arahku.

"Loh? kamu kok sudah pulang Di?" tanya Ibuku

"Sudah, gurunya rapat, jadinya pulang cepet." Jawabku.

"Oh, yaudah ayo masuk!" Ajak Ibuku.

Ibu mengeluarkan kunci dan membuka pintu yang sedari tadi terkunci, dengan tangan kanannya. Aku pindahkan motor ke garasi dan menguncinya, lalu aku lekas mengambil handuk, celana pendek, serta kaos di jemuran, dan menyusul ibu yang sudah lebih dulu masuk ke rumah.

Saat di dalam, terlihat ibuku yang sedang mengeluarkan sebungkus kantong plastik putih besar dari tas ranselnya, lalu dia taruh di kulkas bagian dalam freezer dengan tangan kanannya. Dari plastik yang sedikit transparan itu, nampak isi di dalamnya nan merah serta terlihat berair. Langsung saja dengan tanpa beban, aku lemparkan tasku ke sofa di depan TV lalu berlari pelan ke kamar mandi.

"Mak, aku mandi duluan ya?" tanyaku sambil berjalan ke kamar mandi

"Iya, tapi jangan lama-lama!" tegas ibuku

Aku masuk ke kamar mandi, memutar keran air, melepas seragam, menggantungkan semua pakaian ke hanger yang terpaku di dinding kamar mandi, dan mulai mengguyur semua bagian tubuh yang sudah lengket serta bau akibat keringat dengan air di bak mandi. Setelah tubuhku terasa bersih, segar, dan kering, aku keluar dari kamar mandi dengan mengenakan celana pendek serta kaos yang baru kuambil dari jemuran tadi.

Terlihat ibu yang sedang asyik duduk menonton TV dengan volume kencang dan jendela yang terbuka di sampingnya. Dia memegang handuk dan sebuah daster motif bunga favoritnya. Kudekati dia, ternyata dia sedang menonton berita pengumuman dari presiden tentang kasus positif COVID pertama.

"Astaga! bisa-bisa harga sembako naik lagi nih!" Keluh Ibu

"Mak! aku udah selesai nih, itu kalau Emak mau mandi." Ibuku perlahan bangkit dari sofa dan berjalan ke kamar mandi sambil pandangannya tetap mengarah ke TV.

Setelah ibuku masuk kamar mandi dan menutup pintunya, aku menutup jendela di samping sofa. Terlihat dari sana suasana perumahan yang tenang dengan sesekali suara klakson kendaraan dan percekcokan dari tetangga sekitar. Lampu-lampu jalan dan rumah satu-persatu mulai dinyalakan guna menyinari gelapnya langit malam, begitu pula dengan lampu rumah kami yang satu-persatu kunyalakan. Setelah hampir semua lampu menyala, aku ke kamar tidurku yang masih gelap.

Kubuka pintu, menyalakan lampu, dan langsung mengambrukkan badan ke kasur.

"Ahhhhh..." Desahku

Sangatku mengecek saku celana, hendak mengeluarkan handphone, ternyata tidak ada apapun di dalamnya.

"Astaga! pake ketinggalan di kamar mandi segala." gerutuku sambil perlahan bangun dan hendak keluar kamar.

Begitu aku tepat berada di depan pintu.

Brakkk

Ctekk

Pintu itu terbanting dan lampu kamar mati dengan sendirinya. Di tengah suasana gelap lagi bising itu, muncul hembusan angin yang dinginnya begitu menusuk kulit, serta tercium bau dan amis seperti daging busuk yang sangat menusuk hidung.

"Haa...arkh...di.. hahh...hahh..." terdengar seseorang memanggilku dari belakang dengan terengah-engah dan ronkian kecil.

Kutengok ke belakang, aku langsung bergidik ngeri, karena di sana, di samping kasur, dengan sedikit cahaya bulan yang menembus bagian kaca jendela yang tak tetutup gorden. Terlihat sebuah siluet seseorang yang berjalan mendekat sambil tangan kirinya memegangi dada dan tangan kanannya menjulur ke arahku, seperti ingin menangkapku

Kutarik-tarik gagang pintu itu dengan tangan kanan serta tangan kiriku menekan-nekan tombol saklar lampu sekuat tenaga, tapi baik pintu ataupun saklar itu tidak ada yang bergerak sama sekali

"Tolong! Mak! Tolong Mak buka pintunya! Mak!" Jeritku sampai terasa seluruh urat di leherku tertarik.

Tok...tok...tok...

Kumenjerit sambil menggedor-gedor pintu dengan keras berharap ibu mendengarnya dan menolongku.

"Hahh... hahh... Haa...arkh...di..."

"Haa...arkh...di..."

Suara itu semakin lama terdengar semakin mendekat, sampai aku bisa merasakan hembusan nafas yang dingin di leher belakangku

"Haa...arkh...di..." Terasa sebuah tangan yang sedingin es mencengkram erat pundak kananku

"MAK!" Teriakku sambil menarik gagang pintu dengan sekuat tenaga

Gubrakkk

Aku terpental dan terjatuh keras ke belakang, pintu terbuka lebar dan terlihat ibu berdiri sambil tangan kanannya memegang gagang pintu dengan daster putihnya di depanku. Dia menyalakan saklar lampu memakai tangan kirinya dengan mudah, dan terlihatlah aku yang jatuh terduduk di lantai dengan wajah penuh keringat dan air mata.

"Ka... kamu kenapa Di? Tanya ibu dengan nada panik.

"Gak papa!" Jawabku dengan nada rendah dan menunduk

Kulirik setiap sudut kamar itu, tidak ada siapapun selain aku dan ibu di sana. Bau busuk dan amis itu pun sudah hilang

"Kamu beneran gak papa di?" Tanya ibu sambil menjulurkan tangan kirinya padaku.

"Iya!" Jawabku sambil berdiri perlahan tanpa bantuan tangan ibu.

Sebenarnya aku ingin menangis dan mengadu tentang kejadian tadi sambil memeluk ibu, tapi semua niat itu aku batalkan.

"Kamu mau keluar?" Tanya ibu

"Mau!" Jawabku dengan anggukan

Ibu tersenyum, lalu dia membuka lebar-lebar pintu itu dan menepi ke pinggirnya, memberikan ruang agar aku bisa lewat. Saat aku melewati ibu, samar-samar tercium aroma bunga melati.

Aku keluar kamar dengan berjalan lemas, lalu menjatuhkan tubuhku yang seakan sudah tak bertulang ke sofa di depan TV yang masih menyala. Dari situ terlihat ibu yang mengenakan daster bermotif bunga, baru keluar dari kamar mandi sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk.