Sepanjang koridor dan lapangan sekolah, sama sekali tidak terlihat satu orang pun murid ataupun guru, pintu semua ruang kelas pun tertutup rapat. Saat sampai di depan ruang kelasku, setelah sebuah tarikan serta nafas yang lumayan dalam, dengan kepala sedikit membungkuk aku pegang gagang pintu itu dan mendorongnya, secara perlahan pintu itupun terbuka.
Bagaikan seorang maling yang mengawasi keadaan rumah mangsanya, sambil sesekali menengok ke arah depan serta samping kiri. Dan terlihat kelas yang sudah ramai oleh para murid yang beberapa dari mulut serta hidung mereka sudah tertutup oleh masker. Selain itu, ada pula Pak Yatno, guru matematika yang pernah mengajarku di kelas sebelas. Terlihat Pak Yatno dengan jenggot serta peci bulat hitamnya sedang duduk di kursi guru menatap ke arahku dengan dahinya yang mengerut, saat itu aku langsung tahu bahwa telah melakukan suatu kesalahan besar dan akan segera menerima ganjarannya.
"Hey! ngapain kamu celingak-celinguk kaya maling gitu?" bentak Pak Yatno.
Aku berjalan perlahan ke arahnya sambil menyodorkan tangan kanan hendak salim, tapi saat berada tepat di hadapannya, tanganku malah di tepisnya dan dia kembali memarahiku.
"Kamu ini! sudah kelas tiga masih gak tau sopan santun! kalau mau masuk ruangan itu ketuk pintu dulu, habis itu salam, baru kamu masuk! gimana sih? ulang lagi sana!" omel Pak Yatno.
"Baik Pak." Kemudian aku berbalik badan, berjalan kembali melewati pintu kelas, lalu menutupnya, dan setelah sebuah decikkan keluar dari mulut, aku mulai mengetuk pintu itu.
Tok...tok...tok.
"Iya silahkan masuk!" sahut Pak Yatno dari balik pintu.
Lalu aku dorong pintu itu sampai terbuka lebar, dan terlihat Pak Yatno tersenyum lebar sampai memperlihatkan gigi-giginya yang kuning. Dengan kepala sedikit membungkuk serta tangan kanan yang menyodor ke depan, aku mulai berjalan perlahan mendekatinya. Kali ini tangan kananku disambut dengan baik oleh tangannya dan langsung kucium tangannya yang bau asap rokok itu.
"Nah gitu dong! masa yang kaya gini harus diajarin lagi sih?" ucap Pak Yatno
"Ada perlu apa kamu ke kelas ini?" tanya Pak Yatno.
"Hemmm, saya memang di kelas ini Pak, saya telat!" jawabku dengan nada sangat rendah.
Seketika Pak Yatno kembali memarahiku sambil menggebrak meja dengan tangan kirinya, "Astaga! kamu sudah kelas tiga, sopan santun kurang, telat pula! kenapa kamu telat? jangan bilang karena macet!"
"Saya bangunnya kesiangan Pak!" jawabku.
"Hadehh! udah duduk aja sana! capek saya ngurusin kamu!" keluh Pak Yatno.
Setelah itu aku berjalan perlahan menuju tempat duduk sambil melihat murid-murid lain yang hanya menatap dengan diam dan dingin, terkecuali Laras yang terlihat sedang menahan tawa dengan tangan menutupi mulutnya.
"Baiklah saya ulangi lagi, mulai saat ini sampai ujian nanti saya akan mengajar kalian matematika menggantikan Bu Ani. Yah kalian sudah tau saya kan? jadi tidak perlu perkenalan lagi" jelas Pak Yatno
"Jadi, apa ada PR?" sambung Pak Yatno. ini
Seketika itu juga jantung langsung berdetak kencang serta mataku juga tak terkontrol, melirik ke segala arah. Sebagian besar murid lain juga terlihat saling menatap serta saling lirik, sementara beberapa murid lain tersenyum puas sambil mengeluarkan lembaran kertas dari tas dan kolong meja mereka.
"Hey! ada PR tidak? dijawab dong! mana ketua kelasnya?" tanya Pak Yatno.
"Gak, gak ada PR pak!" celetuk Laras.
"Gak ada? yakin kamu? kamu ketua kelasnya?" tanya lagi Pak Yatno.
"Bukan Pak! saya bukan ketua, ketuanya gak masuk, tapi memang gak ada kok Pak!" tegas Laras.
"Gak masuk? kemana dia?" tanya lagi Pak Yatno.
"Kurang tau Pak!" jawab Laras
"Oh yaudah kalau begitu, karena saya juga harus mengajar kelas dua, sekarang kalian saya kasih tugas aja dulu ya, tulis di kertas lembar lengkap dengan soalnya! nanti kumpulin di meja saya di ruang guru! Laras, kamu yang tanggung jawab buat ngumpulin tugasnya ya!" kata Pak Yatno.
"Siap Pak!" jawab Laras.
Selang beberapa menit kemudian Pak Yatno bangkit dari duduknya serta mulai menulis beberapa soal di papan tulis dengan spidol hitam dan biru. Sementara itu kubuka resleting tas, lalu merogoh isinya, dan mengeluarkan sebuah buku tulis. Langsung saja kubuka halaman tengah buku itu dan menyobek lembaran tengahnya, kemudian mulai menulis soal-soal yang sudah tertulis di papan tulis. Ditengah-tengah fokusnya menulis, terdengar bisikan Aldo dan Rian yang duduk di belakangku.
"Ini kan soal tugas yang kemarin!" bisik Aldo.
"Eh iya bener, kita liat punyanya Laras aja ntar, semalem dia bilang udah selesai ngerjain!" bales Rian yang duduk di sebelahnya
Beberapa menit kemudian Pak Yatno berhenti menulis serta menutup kedua spidol yang dia gunakan, lalu melemparkannya ke meja guru.
"Dikerjakan dengan benar ya! Laras jangan lupa kamu kumpulin di meja saya! paling lambat saat bel masuk setelah istirahat! lewat dari itu tidak akan saya terima, dan kalian semua saya anggap tidak hadir hari ini! udah ya saya tinggal dulu, selamat pagi." Setelah selesai mengancam kami, dia langsung berjalan santai keluar dari ruang kelas.
Begitu Pak Yatno keluar, beberapa murid yang nampaknya sudah selesai mengerjakan tugas juga ikut keluar kelas, entah tak tau kemana tujuan mereka. Sementara aku yang bahkan dari hari Senin belum menulis soalnya, dengan sedikit panik karena tidak adanya Anto yang membantu, sekuat tenaga mengerjakan tugas itu. Disaat tengah serius dan fokus mengerjakannya, aku sadari sebelumnya, ternyata Laras sudah duduk di kursi Anto.
"Hey Di! serius banget sih keliatannya? soalnya kan sama kaya tugas kemarin, emangnya lu belum ngerjain?" tanya Laras sambil menengok wajahku dengan pipi kirinya yang dia tempelkan ke meja.
"Iya, sama sekali belum ngerjain gua." Balasku sambil sesekali melirik wajahnya, jujur saja aku merasa sangat gerogi dilihatnya dengan ekspresi wajahnya yang terlihat menggemaskan diposisi itu, aku rasa semua laki-laki akan langsung salah tingkah dan gagal fokus karena gerogi jika dilihat seperti itu oleh wajah manisnya.
"Ohh... mau lihat punya gua gak?" tawar Laras.
"Eh? boleh?" balasku.
"Boleh dong." Kemudian Laras lembaran kertas dari meja di belakangku dan menaruhnya di samping kertas tugasku.
"Waduh, terima kasih Ras, lu malaikat penyelamat hidup gua." Seakan baru saja mendapatkan mukjizat dari yang maha kuasa, aku langsung bersemangat mengerjakan tugas matematika itu dengan melihat hasil tugas Laras, serta ditemani oleh Laras yang sesekali kulirik tengah tersenyum berseri-seri ke arahku.
Akhirnya bel istirahat berbunyi bertepatan pula dengan selesainya tugasku.
"Ini Ras! sekali lagi terima kasih ya!" ucapku sambil menyerahkan lembaran tugas milik kami.
"Iya sama-sama!" balasnya dengan senyuman.
Kemudian dengan memegang lembaran tugas kami, Laras kembali ke mejanya yang sudah terdapat sebuah tumpukan kertas di atasnya.
Sehabis banyak menguras energi karena mendengar omelan Pak Yatno serta mengerjakan tugas tadi, perutku saat itu benar-benar terasa sangat lapar. Setelah merogoh-rogoh semua saku dan isi tasku, tapi tidak ada satupun uang atau makanan yang kutemukan.
Dengan sambil menahan lapar, aku keluarkan handphone dan mulai memainkan game favoritku. Saat sedang asyik-asyiknya bermain, fokusku tiba-tiba saja teralihkan oleh alunan gitar serta suara nyanyian dari Laras dan teman-temannya dari arah kursi belakang.
Kepala mengangguk serta kaki menghentak seirama dengan permainan musik mereka, aku benar-benar seperti terhipnotis oleh permainan mereka. Sampai-sampai tak sadar bahwa aku sudah berpindah tempat duduk mendekati mereka, meninggalkan handphone dengan tulisan Defeated tertulis di layarnya, sampai jarakku dengan Laras hanya terpisahkan sebuah meja saja. Kepala serta kakiku akhirnya berhenti bergerak tepat disaat Laras berbalik badan dan menoleh ke arahku.
Secara refleks, aku langsung membalikkan badan dan memalingkan wajah menatap lantai di bawah meja. Namun saat aku sedang tenggelam dalam rasa malu dan gelisah, ada yang menepuk pundak kananku.
Sontak aku langsung menoleh ke arah kanan belakang, namun tidak terlihat siapapun disana. Saat kembali mengarahkan pandanganku ke depan.
"Baaa!!" Aldo, Rian, dan Laras secara serempak berteriak dengan wajah mereka tepat berada di depan wajahku.
Seperti mendapat serangan jantung, tubuhku langsung terguncang ke belakang, sampai-sampai meja di belakangku berdecit karena terdorong.
"Hahahahahahahaha..." Gelak tawa mereka langsung memenuhi seisi ruangan itu.
"Daripada lu ngintip-ngintip gak jelas begitu mending nyanyi bareng kita aja!" anjur Laras yang saat itu telah duduk di samping kiriku.
"Iya Di, kaya orang mesum lu ngintip-ngintip gitu!" timpal Aldo yang saat itu telah duduk sambil memegang sebuah gitar di depanku.
"Tau lu Di! muka udah kaya om-om kumisan juga masih aja malu malu kucing" timpal Rian yang telah duduk di sebelah Aldo.
"Eh, engga deh, gua dengerin aja!" tolakku.
"Ah elah lu! nyanyi!" perintah Laras sambil menyodorkanku selembar kertas yang telah digulung memanjang.
Walaupun awalnya sempat ragu serta malu, namun akhirnya dengan diiringi petikan gitar dari Aldo, aku mulai mengeluarkan suara nyanyian dari mulutku yang rasanya terdengar tidak terlalu buruk ke arah gulungan kertas itu, lalu disusul oleh mereka bertiga yang juga mulai bernyanyi. Akhirnya waktu istirahat pertama itu kami berempat habiskan dengan bernyanyi sambil bersenda-gurau bersama.
Saat itu aku, akhirnya kembali merasakan bagaimana keseruan, kenikmatan serta kesenangan yang terasa saat berbagi momen dan canda dengan orang selain keluarga. Saat itu aku kembali merasakan betapa indahnya mendapatkan sesuatu yang disebut dengan teman.