"Arya?" celetuk ibu sambil menatap tajam mata pria itu tanpa berkedip sedikitpun, dengan tangannya yang saling menggenggam erat di belakang punggungnya
Saat itu aku langsung berpikir kalau mereka sudah saling mengenal. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang aneh dari tingkah ibu saat bertatapan dengan pria itu, seperti dia tidak suka akan kehadirannya di ruangan itu.
Sesaat kemudian pria itu mendorong badan serta kepalanya ke arah kiri atas, dan matanya terbuka lebar seperti berusaha mencariku yang tersembunyi di belakang tubuh ibu sambil berkata, "ohh, jadi dia anakmu ya Ratih?".
Yang dijawab dengan nada tegas oleh ibu, "iya! dia anakku!"
Karena tak kuat menahan rasa penasaran yang mengganjal ini, akhirnya kutarik-tarik kemeja yang ibu kenakan. Seketika dia langsung menoleh ke arahku dengan alis mata tinggi serta garis senyum di bibirnya. Sambil melirik-lirik pria itu, aku berbisik kepada ibu dengan sangat pelan, "siapa?".
Setelah itu ibu membungkukkan tubuhnya sampai setara dengan tubuhku yang terduduk di atas tempat tidur, kemudian dia mendekatkan bibirnya ke telingaku dan membisikkan sesuatu. Namun sayangnya aku tidak ingat apa yang dibisikkan oleh ibu, 'andai saja aku bisa mengingatnya pada saat itu, pasti Anto bisa memberi tahuku, tapi yasudah lah! kalau memang tidak bisa ingat berarti tidak penting kan?'.
"Hei hei! apa nih bisik-bisik? jangan cerita yang aneh-aneh tentang saya ya!" celetuk pria itu.
Ibu langsung menghentikan bisikannya dan mulai berdiri serta berbalik badan kembali menghadap pria itu.
"Oh iya saya memperkenalkan diri ke kamu ya dek?" tanya pria itu.
Dengan tanpa suara aku menganggukkan kepala mengisyaratkannya jawaban iya.
"Hmmm.... okeh! perkenalkan nama saya Arya! saya calon ayah barumu!" ujarnya dengan lantang serta rasa bangga yang terpancar jelas dari wajahnya.
Mendengar itu membuat mataku terbelalak sekaget-kagetnya, jiwa serta pikiran berguncang hebat membayangkan tentang bagaimana aku harus bertemu dan menyapa kepala mengkilapnya setiap pagi. Tenggelam dalam khayalan, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa ibu dengan tangan kirinya yang sudah melayang-layang di udara sudah berada di depan Pak Arya yang wajahnya terlihat sangat ketakutan
Plaakkk
Sebuah tamparan keras dari tangan kiri ibu melayang ke pipi kanan Pak Arya.
"Hei! ja.... jangan ngomong sembarangan kamu ya!" ucap ibu.
Bukannya merasa marah ataupun kesal karena pipinya ditampar, Pak Arya malah tertawa sambil mengelus-elus pipinya, "hahahahaahahaha"
Sebenarnya rasanya sangat kesal mendengar dia berani-beraninya mengatakan itu di depanku yang baru kehilangan ayah tahun lalu. Namun entah kenapa rasanya aku juga ingin mengapresiasi keberaniannya itu, tapi karena tak ingin punya seorang ayah yang kepalanya sama mengkilapnya dengan lampu bohlam, akhirnya kubatalkan niat itu.
Kemudian ibu kembali membalikkan badan ke arahku sambil berkata, "Kamu jangan dengerin si botak ini! dia cuma temen kerja kok!"
"Hahahaha, baiklah saya ulangi sekali!" kata Pak Arya.
"Perkenalkan saya Arya, saya pemilik sekolah tempat ibu kamu mengajar!" sambung Pak Arya sambil meletakkan tangan di dadanya yang membusung
"Ohhh!" ucapku sambil menganggukan kepala berusaha menunjukkan ketertarikanku pada perkenalannya yang penuh akan rasa bangga lagi ria.
Ditengah-tengah canda tawa itu, tiba-tiba saja ada ketukan dari pintu yang memotong percakapan kami. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dan muncul dari baliknya, perawat yang tadi melepaskan perbanku.
Perawat itu berjalan pelan ke arah kami sambil sekali mendukkan kepala serta berkata, "permisi.... mohon maaf saya mau ambil kompresannya!"
Setelah mendengar perkataannya dengan segera kupungut bungkusan kain bekas kompresan tadi. Lembaran kain nan dingin serta basah itu lekas kuberikan kepada si perawat yang sudah mengulurkan tangan kanannya padaku.
Sambil memperlihatkan garis senyum di bibirnya dia berkata, "Terima kasih Kak!"
"Sama sam...." belum sempat aku membalas ucapannya, bagaikan petir di sore hari, ibu langsung menyambarkan sebuah pertanyaan kepada perawat itu.
"Mohon maaf Mbak, saya ingin tanya! kapan ya anak saya bisa keluar dari rumah sakit ini?" tanya ibu.
Mendengar ibu bertanya seperti itu benar-benar membuat hati dan pikiranku seakan-akan disambar jutaan petir dari langit. Bagaimana tidak? ibuku yang hanya seorang diri menafkahi keluarga kami, sekarang harus menanggung biaya perawatanku yang sudah terbaring tiga hari disitu, dan pasti akan bertambah besar jika aku lebih lama lagi berada di ruangan itu.
Perawat itu melirik ke arahku dengan matanya yang terlihat memperhatikan tubuhku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, lalu dia berkata, "hmmmm, kalau saya lihat sih kondisi anak ibu sudah baik-baik saja, tapi sebaiknya ibu tunggu pemeriksaan dokter besok pagi agar lebih pasti!"
"Besok? gak bisa diperiksa sekarang Mbak?" cecar ibu.
"Mohon maaf Bu, tapi semua dokter tulang disini sudah pulang semua!" kata si perawat.
"Ohhh begitu, yaudah terima kasih ya Mbak!" ucap ibu.
"Sama-sama Bu, kalau begitu saya permisi dulu ya Bu, Pak, Dek!" pamit si petawat.
Kemudian sambil memegang selembar kain basah ditangannya, perawat itupun keluar dari ruangan meninggalkan kami bertiga dengan atmosfir yang terasa sangat..... entahlah, aku sendiri tidak mampu untuk mendeskripsikan apa yang kurasakan saat itu.
"Huffftt.... " Begitulah kira-kira suara hembusan nafas berat ibu yang memenuhi seisi kamar pasien itu.
Mendengar semua itu aku hanya tertunduk malu tak berani menatap wajah ibu sambil berkata, "maaf Bu!"
Hanya itulah kata yang bisa keluar dari mulut orang yang tidak tau diri dan selalu menyusahkan orang tuanya ini. 'Memalukan! benar-benar tidak tau diri! sampah!'.
Namun ditengah-tengah umpatan-umpatan memaki diri yang kurteriakkan di dalem hati ini, tiba-tiba kepala serta merasakan sentuhan dan usapan lembut dari sebuah tangan yang begitu hangat. Dari merasakannya saja aku sudah tau siapa pemilik tangan ini, dia adalah ibu. Kedua mataku seketika menutup kelopaknya guna menyembunyikan air serta rasa malu dari pemiliknya.
"Hey! kenapa kamu? udahlah gak usah nangis! kaya sinetron aja!" ejek ibu.
Perlahan kubuka mata, mendongakkan kepala, dan menatap wajahnya lalu berkata, "dih, siapa yang nangis? enggak kok!"
"Dih cengeng!" sorak Pak Arya yang lantas mengalihkan pandangan serta mengerucutkan bibirku.
Seketika itu suara ibu kembali memenuhi ruangan itu, namun kali ini dengan gelak tawanya, "hahahaha...."
Setelah itu kami bertiga mengobrol bersama sampai tak terasa kedua jarum jam dinding di ruangan itu menunjukkan angka tiga. Ibu yang berada di sampingku perlahan bangun dari duduknya.
"Sudah jam tiga, emak pulang dulu ya Di?" pinta ibu
"Loh kok pulang?" tanyaku
"Maaf Di, emak harus berangkat kerja jam tujuh nanti!" ungkap ibu.
Setelah mendengar hal itu, dengan sekejap aku langsung membuka mataku selebar-lebarnya, menurunkan alis, serta mengerucutkan bibir lalu menoleh ke arah Pak Arya. Pak Arya seketika nampak kaget lalu matanya celingak-celinguk ke kanan dan kiri, serta tangan kirinya menepuk-nepuk tempat tidurnya.
Tak selama setelah itu, dengan tersenyum serta menaikkan alis, Pak Arya berkata, "hmmm, Ratih! hmmm khusus untuk hari ini kamu aku beri ijin untuk tidak mengajar hari ini!"
"Hah?" balas ibu.
"I...yah kamu harus menemani anakmu yang baru aja siuman! jadi hari ini kamu saya beri ijin untuk tidak mengajar hari ini!" jelas Pak Arya.
"Tuh Mak! Pak Arya yang ganteng udah ngasih ijin!" celetukku
"Te.... terima kasih Pak! saya janji akan ganti kebaikan bapak hari ini!" ujar ibu sambil menundukkan kepalanya ke Pak Arya.
Ibu seketika menoleh ke arahku dengan senyum merekah di wajahnya, kemudian dia berkata, "kalau gitu emak mau pulang dulu ngambil baju ganti buat kita!"
Kuangukkan kepala mengisyaratkan setuju padanya. Dengan lambaian tangan kirinya dia perlahan berjalan ke arah pintu yang lantas segera kukejar serta tahan tangannya.
Kugenggam tangan itu yang hangat itu dengan tangan kanan lalu mengangkatnya pelan-pelan mendekati kepalaku yang juga perlahan menunduk, sampai bertemulah punggung tangan itu dengan hidungku. Kemudian kucium dengan sepenuh hati punggung tangan suci itu, setelah itu perlahan melepaskannya kembali, lalu berkata, "hati-hati ya Mak!"
Kuangkat kembali wajahku menatap wajahnya yang semakin merona dengan terlihatnya giginya yang putih kekuningan. Dengan satu usapan terakhir di kepalaku, akhirnya dia membuka pintu dan keluar dari ruangan itu meninggalkan kami berdua.
Tepat setelah ibu keluar, kuputar badan dan berjalan kembali ke tempat tidurku sambil melihat Pak Arya yang tersenyum lebar serta mengangkat kedua jempol tangannya.