Chereads / The Truthful Boy And A Love Story / Chapter 19 - Lorong Rumah Sakit

Chapter 19 - Lorong Rumah Sakit

Setelah ibu keluar, aku hanya berbaring telentang menghadap langit-langit ruangan itu. Awalnya berniat untuk memejamkan mata dan segera tidur, tapi entah mengapa secara perlahan pikiran ini malah tertuntun untuk memikirkan nasib serta masa depan yang akan kutempuh.

Ditengah khayalan itu, tiba-tiba terasa ada sesuatu yang mendobrak-dobrak seperti ingin mendorong keluar dari selangkanganku. Yap.... aku kebelet ingin buang air kecil. Kulihat jam dinding di ruangan itu sudah menunjukkan pukul 4 pagi.

Lantas aku loncat turun dari tempat tidur, lalu berjalan ke pintu keluar. Saat ingin membuka pintu itu, Pak Arya memanggilku.

"Mau kemana kamu Dek?" tanya Pak Arya sambil bangun terduduk di tempat tidurnya.

"Mau ke toilet Pak!" jawabku

"Oh.... yaudah hati-hati ya!" kata Pak Arya

Baru saja aku ingin menarik pintu ruangan itu, lagi-lagi dia kembali memanggilku.

"Oh iya Di satu lagi! kalau ada yang tiba-tiba manggil kamu dari belakang jangan nengok!" kecam Pak Arya.

Mendengar peringatan darinya itu membuatku sedikit tertegun dan penasaran, akupun bertanya padanya, "emang kenapa Pak?"

"Entar nabrak tembok! hahahaha.... " Dengan gigi-giginya yang kuning keputihan itu dia tertawa terbahak-bahak pada leluconnya sendiri yang sama sekali tidak menggelitik bagiku.

Sempat terdiam karena lelucon bapak-bapak darinya, akhirnya kubuka pintu dan keluar dari kamar pasien yang telah menampungku selama tiga hari itu. Saat itu aku merasakan sesuatu yang aneh 'kenapa seorang pemilik sebuah sekolah dirawat di kamar pasien yang tidak ada kamar mandi dalamnya?' 'kemana semua uang yang dia dapat dari sekolah?' 'apa semua uang itu dia habiskan untuk bersenang-senang dengan wanita?'.

Saat berada di luar kamar, aku baru tau ternyata ruangan kami berada di ujung sebuah lorong. Di lorong sunyi yang bermandikan cahaya putih dari lampu yang terpasang di langit-langitnya itu terasa sekali hawa yang tidak mengenakan seperti ada sepasang mata yang mengawasiku, ditambah dengan udara dingin nan membalur di sekujur kulit yang semakin membuatku merinding.

Sempat terbesit di pikiran untuk kembali masuk ke kamar dan meminta Pak Arya untuk menemani, tapi kubatalkan karena tidak mau dia semakin besar kepala apalagi setelah menggodaku dan modus ke ibu.

Kususuri lorong itu ke ujung yang satunya, Disana terdapat sebuah lift dan tembok di samping kanannya yang bertuliskan angka 3, dan di dinding kirinya bertuliskan toilet yang disertakan dengan gambar anak panah.

Langsung saja kuberbelok dan berjalan ke arah kiri mengikuti petunjuk arah itu. Saat tepat berada di tengah-tengah lorong itu, tiba-tiba terdengar suara seperti seorang pria yang berteriak memanggil namaku.

"Hardi.... "

"Hardi.... "

"Hardi.... "

Teringat akan pesan Pak Arya, tanpa menoleh ke belakang aku langsung mengayunkan kedua kakiku dan berlari sekencang-kencangnya. Suara langkah kaki menggema mengisi kesunyian di sepanjang lorong-lorong rumah sakit itu, entah berapa kali aku berbelok dan mengubah arah lari. Sampai akhirnya langakah kaki ini terhenti karena dadaku yang kuat lagi menahan nafas.

Dengan tangan bertumpu pada dinding dan lutut, serta nafas yang terengah-engah akupun memberanikan diri menengok ke belakang memastikan tidak ada yang mengikuti, "huhhh.... hahhh.... huhhh.... hahhh...."

Terlihatlah di pandangan kedua mata ini sebuah lorong gelap dengan hanya cahaya putih dari sebuah lampu sebagai penerang yang sama sekali belum pernah kulihat sebelumnya. Disaat itulah aku tersadar bahwa telah tersesat, kemudian rasa menyesal akan keputusanku untuk keluar sendiri dari ruangan mulai muncul. 'Harusnya tadimah minta tolong dianterin sama Pak Arya aja!'.

Sangat masih berusaha mengatur nafas yang terengah-engah, tiba-tiba ada yang menepuk pundak kananku, sontak aku langsung menoleh ke belakang.

"Haaaa...." teriakku terkejut setengah mati sampai terpental ke lantai, karena melihat sebuah wajah yang tau-tau muncul tepat di depan mukaku.

Lalu muncul suara seorang perempuan yang sepertinya aku pernah dengar sebelumnya, "loh Kak Hardi?"

Kudongakkan kepala, dan terlihatlah wajah cantik dari perawat yang tadi membantu melepaskan perban yang membalut kepalaku. Dengan mengenakan kemeja serta rok putih panjang hingga menutupi kakinya, dia mengulurkan tangan kanannya padaku.

Kuraih tangan lembut nan dingin itu, dan perlahan berusaha berdiri sambil berucap, "te.... terima kasih Mbak!"

Mataku langsung terpaku pada wajah yang ternyata sangat tinggi sampai-sampai aku harus mendongak untuk bisa menatapnya.

"Kamu gak apa-apa Kak?"tanya perawat itu

"Ahh gak papa kok! gini doang!" balasku sambil mengepalkan tangan kiri serta mengelus luka lecet yang terasa di telapaknya.

"Kamu ngapain kak ada disini? inikan masih gelap ntar kalo kakak jatuh atau nabrak tembok lagi gimana? nanti tambah parah loh lukanya!" cecar perawat itu.

"Tenang aja gak bakal kenapa-napa kok! saya cuma.... mau olahraga pagi aja kok!" ungkapku sambil merapatkan kedua paha guna menutupi selangkanganku yang sudah basah oleh cairan hangat.

Perawat itu mendekatkan wajahnya ke arahku sambil menyipitkan kedua matanya, lalu berkata, "oh begitu, kalo gitu sebaiknya Kaka segera kembali ke kamar ya! mari saya antar!"

"Eh?" tanpa permisi ataupun meminta ijin, perawat itu langsung saja menggenggam lengan kiriku dan berjalan melewatiku. Aku, sang pemilik lenganpun hanya bisa terdiam dituntun olehnya tanpa dapat berkomentar apa-apa karena semuanya terjadi begitu cepatnya.

Ditengah perjalanan kami kembali ke kamar itu, entah kenapa aku kembali seperti ada banyak pasang mata yang menatap serta mengawasi. Badanku juga terasa tertatih-tatih ditariknya, entah mengapa rasanya perawat itu jauh lebih cepat dariku, padahal kami sama-sama berjalan. Sampai pada akhirnya, perawat itu tiba-tiba saja berhenti di depan sebuah pintu.

Kemudian perawat itu berbalik badan dan tersenyum padaku sambil berkata, "Nah kita sudah sampai Kak! silahkan Kaka masuk dan istirahat! jangan keluyuran lagi ya kak!".

Yah, tanpa sadar atau lelah sedikitpun aku telah kembali ke kamarku dan Pak Arya itu.

Dengan merapatkan kedua tangan dan sedikit membungkuk, akupun berterima kasih padanya, "terima kasih Mbak!"

Berharap balasan suara imut dari mulut perawat itu, aku malah mendapatkan balasan suara seorang laki-laki yang sepertinya kukenal, "hah? ngapain lu Di?"

Kuangkat tegap kepala serta badanku, dan terlihatlah sahabatku, Anto memikul tas ransel di punggungnya di depan sebuah pintu lift yang perlahan menutup dengan dinding di sampingnya bertuliskan angka 3.

"Loh? Anto?" tanyaku kebingungan.

Disaat itu otakku langsung dibanjiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang memusingkan. 'Kenapa ada Anto disini?' 'bukannya tadi sudah ada di depan kamar? kok tiba-tiba di depan lift?' 'kemana perawat tadi? sial! aku bahkan belum sempat menanyakan namanya!'.

"Dari tadi dipanggil gak nyahut, sekarang malah tiba-tiba ngomong terima kasih! sambil bungkuk lagi! habis latihan silat lu?" cecar Anto.

"Kok lu ada disini To?" tanyaku

Mataku langsung celingak-celinguk ke sekitar, dan terlihat beberapa dokter, perawat, serta pasien yang diam memperhatikan kami dari lorong-lorong disana. Kedua pipiku langsung memerah, aku langsung menunduk malu serta menarik tangan Anto dan langsung pergi dari situ.

Sambil menggandeng tangan Anto aku langsung berjalan cepat kembali ke kamarku dan Pak Arya yang ada di ujung lorong itu.

"Aduhh! ngapain sih lu Di?" keluh Anto

Tanpa menjawabnya, kubuka pintu kamar itu, dan kami langsung disambut oleh Pak Arya dengan kepala mengkilapnya.

"Lama banget kamu Dek ke toiletnya!" ungkap Pak Arya.

"Oit! pagi Pak botak!" celetuk Anto dari belakangku.

"Hadehhh! kamu bukannya ngegandeng tangan suster cantik, malah gandeng bocah gak jelas begini! saya jadi khawatir sama masa depan kamu!" ujar Pak Arya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya