Chapter 24 - Tidur

Seperti terkena tusukan jarum di kedua sisi pinggang, separuh badanku seketika melompat seakan ingin melepaskan diri dari kaki-kakinya karena mendengar pecahan kaca yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. Sesaat setelah mendengar itu, pikiran ini langsung menganggap bahwa suara itu berasal dari gelas kaca yang dipegang oleh Ibu, yang kemungkinan terjatuh lalu pecah ke lantai. Dengan dikomandoi oleh rasa penasaran pada otak, kepala serta badanku mulai berputar berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di belakang.

Saat wajah baru saja menatap ke arah belakang, terlihatlah Ibu sudah berada tepat di depanku dengan wajah menunduk serta tertutup telapak tangan kirinya dan lengan kanannya menjulur ke sebelah kiri wajahku. Di wajahnya yang tertunduk dan tertutup itu berjatuhan tetesan tetesan air dari sela-sela jarinya.

Ditengah memperhatikan wajahnya yang nampak murung menahan sedih, terasa sesuatu yang meluncur dan mendorong mulus serta kuat di kulit sisi kiri wajahku, sampai-sampai wajahku dipaksa menghadap lantai dibuatnya. Lalu selang sekejapnya mulai muncul rasa panas, nyeri, dan sakit tak tertahankan dari bekas jalur yang dilaluinya, membuatku tak kuasa menahan teriak yang keluar dari mulutku.

"Aaaaaaa"

Hanya suara teriakan yang bisa keluar dari mulutku, meluapkan semua rasa sakit yang pada pipi kiri yang mulai terasa lengket oleh cairan yang mulai mengalir ke dagu dan berakhir menetes di leher serta dada. Sebelum wajah ini dipaksa menghadap lantai sesuatu, aku sempat melihat sebuah kepalan tangan dengan sepotong kaca dalam genggamannya lewat tepat di bawah rongga hidungku.

Tapi teriakan itu tak berlangsung lama, karena dengan sekejap sudah ada sesuatu yang terasa begitu panas mencengkram erat leher, serta sebuah wajah hitam legam dengan hanya warna putih tersisa pada sklera matanya tiba-tiba mendekat lalu menutup rongga mulutku rapat-rapat menggunakan mulutnya, setelah itu ada benda tajam menghujam perutku berulang-ulang kali. Semuanya terjadi sangat.

Tak ingin pasrah disiksa seperti itu, tendangan dan pukulan kulayangkan berkali-kali ke wajah serta badan sosok hitam itu. Namun tidak ada satupun yang berhasil membuat dia bergeming, hal itu malah membuatku semakin lemas sampai tak mampu mengangkat kepalan tanganku.

Panas, sesak, nyeri, sakit, itulah yang kurasakan pada saat itu, benar-benar sangat menyiksa raga. Namun entah kenapa saat itu aku langsung berpikir bahwa siksaan yang baru saja terjadi tidaklah nyata, karena semua rasa sakit yang kurasakan membuatku teringat akan mimpiku tentang Bu Dian beberapa hari yang lalu.

Sayangnya walaupun aku menganggap ini hanyalah mimpi, semua sakit yang kurasakan benar-benar menyiksa. Aku ingin berteriak sekuat tenaga meminta melepaskan segala rasa sakit, namun seluruh suaraku sudah terbungkam oleh sosok hitam di depanku.

Perlahan-lahan nyeri pada pipi dan perutku perlahan menghilang, sosok berwajah hitam itupun mulai menarik mulutnya. Lalu bersamaan dengan lepasnya cekikikan di leher, badanku perlahan jatuh selembar kapas yang tertiup angin pagi ke atas lantai nan dingin.

Dengan pandangan yang perlahan-lahan mengabur dan menghitam, kedua mataku melihat sosok berwajah hitam itu menyeringai sembari menenteng plastik hitam besar di tangannya.

Brakkk

Punggungku menghantam lantai sangat keras sampai-sampai membuat mataku terbuka lebar-lebar. Sambil mengusap-usap punggung, kuangkat badan dan duduk perlahan.

"Hufftt, ternyata beneran cuma mimpi!" lenguhku sembari kedua mata menjamah pemandangan sekitar yang nampak tak asing

Dengan satu telapak tangan bertumpu pada sofa di sampingku, sedikit demi sedikit kuangkat badan sampai berdiri tegak. Kutengok keluar jendela, sang langit sudah menunjukkan warna sejatinya yang hitam legam berhiaskan satu bola nan bersinar. Terhanyut oleh pemandangan langit malam nan biasa serta suara guyuran air terdengar dari arah kamar mandi, aku memikirkan oleh mimpi yang baru saja kulihat. Apakah itu semacam pesan dari arwah para guruku? atau itu semacam pertanda buruk akan terjadi pada kami? ataukah hanya sekuntum bunga tidur tanpa arti saja?.

Keduduk perlahan di sofa dengan kepala yang masih penuh pikiran. Tiba-tiba terdengar pintu kamar mandi terbuka yang meng-cancel debat panas di otakku serta mengalihkan pandangan kedua mataku.

Dari pintu plastik yang terbuka lebar itu, Ibu melangkah keluar mengenakan daster hijau serta rambutnya terbungkus handuk. Dengan senyum terukir di wajah, aku berjalan ke arahnya. Saat hampir di dekatnya, Ibu menegurku dengan pertanyaan yang sangat biasa namun entah kenapa membuatku begitu lega.

"Mau mandi kamu Di?"

"Engga Mak, mau kencing"

"Mandi aja sekalian sana, badanmu udah bau asem!"

"Iya Mak!"

Aku putar badan dan melangkahkan kaki keluar rumah mengambil handuk. Saat sampai di teras, terlihat pemandangan malam yang sangat umum dari jalanan komplek perkotaan dengan sesekali mobil berlampu sorot menyilaukan mata melaju perlahan. Setelah selesai melihat beberapa mobil dan mengambil handuk, aku kembali masuk ke rumah.

Sambil kedua mata menyorot ke pintu kamar Ibu yang tertutup rapat, aku berjalan perlahan ke kamar mandi. Akhirnya aku mandi membersihkan sekujur tubuh terutama bagian kepala yang kuguyur serta keramas berulang-ulang kali guna menghilangkan semua beban pikiran, setelah merasa cukup segar akupun keluar dari kamar mandi.

Ketika keluar dari kamar mandi, kulihat Ibu yang sedang tiduran di sofa menonton TV dengan rambutnya yang terlihat mengkilap. Kemudian Aku kembali berjalan ke teras untuk menjemur handuk yang baru kupakai. Setelah selesai, aku bergabung dengan Ibu menonton TV.

Ditengah ketentraman serta kenyamanan menonton TV, tiba-tiba terjadi rapat besar di dalam pikiranku untuk menentukan apakah aku harus tidur atau begadang malam ini. Kalau memilih begadang berarti aku harus melewati malam panjang yang membosankan sambil bermain handphone dan menonton. Kalau memilih untuk tidur, ada kemungkinan untuk mimpi nan menyiksa seperti tadi kembali bermain di kepalaku.

Sempat terbesit sebuah ide sangat cemerlang namun sedikit terlambat di pikiranku. Ide itu adalah menginap serta begadang bersama Anto. Ibu pasti tidak akan mengijinkanku yang baru keluar dari rumah sakit menginap ke rumahnya. Aku juga tidak mau menyusahkannya dengan menyuruhnya datang kembali kesini.

Perdebatan di rapat itu berlangsung sangat sengit, semua pilihan punya alasan kuat untuk ditolak. Pada akhirnya rapat itu selesai setelah terdengar suara dengkuran lumayan keras dari Ibu yang tertidur di belakangku. Dengan perlahan aku bangun dari duduk dan berjalan ke kamar Ibu.

Kukeluarkan selembar selimut dari lemari pakaian, dan kembali ke ruang tamu. Secara hati-hati kuambil remot TV dari tangan ibu, lalu menaruhnya di lantai

Kubentangkan selimutnya lebar-lebar lalu kututupi badan ibu menyisakan wajah tidurnya yang terlihat sangat damai

Setelah mematikan TV, aku berjalan ke kamarku dan membaringkan badan di atas kasurnya. Setelah berbisik membaca doa di dalam hati berharap mendapatkan mimpi yang indah kali ini pada tuhan, perlahan-lahan kututup kedua kelopak mata sembari melihat Ibu yang tertidur di ruang tamu.