Setelah kaki sudah terlihat keren dengan terbungkus sepatu, aku mengunci pintu rumah dan menyimpan kuncinya di dalam tas. Lalu aku menyusul Anto yang sudah siap di atas motornya. Kemudian sesaat setelah ikut duduk, motor itu perlahan melaju meninggalkan rumahku yang kosong ditinggal semua penghuninya.
Sepanjang perjalanan, Anto sama sekali tidak berbicara. Walaupun sudah kupanggil serta ditepuk-tepuk pundaknya, semua itu tidak dia balas sama sekali.
'Entahlah mungkin Anto memang sangat fokus kalau sedang berkendara, saat mengantarku pulang dari rumah sakit kemarinnya dia juga diam seperti ini"
Padahal aku hanya ingin mengobrol santai sambil menempuh perjalanan yang lumayan jauh serta membosankan ini. Tapi yasudah lah, aku juga tidak mau kejadian konyol seperti kecelakaan saat berangkat sekolah menimpaku.
'Kalo dipikir-pikir lagi hari itu adalah kali keduanya aku dibonceni oleh Anto, biasanya kami hanya pulang bersama mengendarai motor masing-masing. Itu juga jarang sekali'
Setelah cukup lama melaju diatas jalan raya ditemani beberapa pengendara motor dan mobil lain menempuh jalanan pagi nan sejuk namun membuat hidung gatal ini, akhirnya sekolah kami sudah mulai keluar dari balik gedung-gedung tinggi yang menghalanginya. Kemudian terlihatlah gerbang sekolah hanya yang terbuka lebar, dengan beberapa murid satu-persatu masuk bersama motor mereka, kamipun lantas menuju tempat parkir.
Setibanya di sana, aku segera turun dari motor Anto. Begitu turun, pandanganku seketika terfokus pada seluruh wajah Anto yang terlihat begitu basah. Saat pertama melihatnya perutku sedikit tergelitik, karena aku pikir dia keringetan sebab sedang menahan buang air besar.
"Yaampun! basah banget muka lu To!"
"Ha?" tanggap Anto sambil mengusapkan tangan ke kening sampai dagunya.
"kik kik kik, mules lu To?" ejeku cekikikan
"Gara-gara nasi goreng Mak lu nih! aduh..." keluh Anto.
"Dasar lemah! udah ayo ke toilet!" ajakku.
Anto beranjak turun dari motornya lalu membuntutiku berjalan ke toilet. ketika hendak sampai di depan pintu toilet, tiba-tiba Anto memanggilku.
"Di!" panggil Anto
"Apa?" sahutku sambil menoleh ke belakang.
Ketika menoleh ke belakang, batang hidung Anto sudah berada tepat di depan mata, dan terasa ada sesuatu menyentuh dada. Saat melirik ke bawah, ternyata tangan Anto menyodorkan tas miliknya di genggamannya ke dadaku.
"Lu ke kelas duluan aja, sekalian bawain tas gw!" pinta Anto.
"Loh? udah lu masuk toilet aja sana! gw tungguin!" saranku.
"Janganlah! ntar kalo guru udah di kelas ngeliat kita dateng pake tas bakal dikira telat nanti!" protes Anto.
"Oh iya bener!" balasku sembari mengambil tasnya lalu mengalungkannya di pundakku.
Setelah Anto masuk kedalam toilet, aku bergegas ke kelas. Setibanya di sana terlihat pemandangan kelas nan biasa, selain masker yang menutupi mulut serta hidung beberapa murid, semuanya sama seperti setiap pagi aku membuka pintu kelas selama dua tahun lebih itu.
Dengan lengkungan setengah lingkaran terukir di wajah, aku berjalan perlahan ke meja yang sudah berhari-hari tidak kuraba-raba dan tidur di atasnya. Begitu duduk, entah kenapa aku merasa sangat lega sampai-sampai hembusan nafas kuat berhembus dari mulu.
.Aahhhhh.
Sebenarnya terasa sedikit kecewa tidak ada yang menyapa ataupun menegurku ketika datang, tapi yah apa boleh buat? aku bukanlah tokoh penting di kelas ini. Setelah menerima sambutan hambar itu, aku jadi tak berharap ada yang menanyakan alasanku tidak masuk berhari-hari, yasudah lah.
Baru saja ingin membenamkan wajah ke dalam tumpukan tas yang sudah tersaji di atas meja, bel tanda masuk tau-tau berbunyi. Lalu tak lama kemudian Anto datang bersama seseorang yang menyebalkan. Setiap langkah mereka diiringi dengan senyum dan tingkah palsu yang dibuat oleh orang-orang disekelilingku.
"Selamat pagi anak-anak!" sapa seorang pria tua berjenggot dengan peci bulat hitam membungkus kepalanya.
"Pagi pak!"
Kemudian selama dua setengah jam selanjutnya aku kembali merasakan tekanan serta rasa cemas yang kurasakan di Rabu pekan lalu. Hal itu membuatku seketika kembali teringat stress yang kualami saat mengerjakan remedial berulang-ulang kali pada setiap ujian matematika di kelas sebelas. Aku benar-benar tidak percaya akan terjatuh di neraka yang sama untuk kedua kalinya.
Hari itu kami dijejali 20 soal latihan dan hanya diberi waktu satu jam sampai bel istirahat berbunyi. Namun belum sempat sang penyelamat berkumandang, Pak Yatno yang sedari mengetuk-ngetuk meja dengan spidol tiba-tiba saja berdiri.
"Ada yang sudah selesai?" Tanya Pak Yatno.
Setelah pertanyaan itu keluar dari mulutnya, seketika seisi kelas menggelar lomba saling lirik mencari seorang pahlawan diantara para pecundang. Saat itu hanya dua orang yang bisa tersenyum sembari mengangkat tangan tinggi-tinggi. Dua orang itu adalah Rina dan Laras.
Walaupun para penyelamat sudah ditemukan, namun dua bukanlah jumlah yang cukup untuk memuaskan hati sang iblis. Tapi hari itu kami sedang beruntung, hati sang iblis sedikit melunak.
"Cuma dua? dari puluhan orang kelas tiga SMA yang bisa ngerjain cuma dua orang?, payah banget! gimana mau jadi mahasiswa kalian!" omel Pak Yatno
"Yasudah lanjut kerjakan! saya tunggu sampai pulang sekolah di meja saya! yang tidak mengumpulkan saya anggap tidak hadir!" ancam Pak Yatno.
"Baik Pak!"
Setelah selesai memberikan ceramah singkat yang risih ditelinga, Pak Yatno akhirnya keluar. Seketika kelas ini kembali menunjukkan kekompakannya, kami semua mengehela nafas kencang sembari mengeluh serta mengumpat. Tidak terkecuali aku yang langsung mengeluh ke Anto.
"Kenapa harus dia sih To yang ngajar? males banget gw!"
"Sorry, katanya cuma dia doang yang bisa gantiin Bu Ani, guru MTK yang lain bentrok jadwalnya sama kita"
"Yaampun!"
Mendengar jawaban seperti jalan buntuh itu keluar dari mulut Anto, membuatku lemas tak bertenaga. Kubenamkan wajah ke dalam tasku, mengistirahatkan kepala yang sedari tadi sudah berkedut-kedut.
Tak lama kemudian, bak seorang pahlawan super yang datang di saat kota sudah hancur berkeping-keping dan sang penjahat sudah kembali ke markasnya, bel tanda istirahat akhirnya berbunyi. Aku yang sudah terlanjur lemas dan malas, mengangkat wajah serta menatap Anto sedang mengerjakan soal latihan tadi.
"To!" tegurku.
"Apa?" sahut Anto sembari masih fokus mengerjakan.
"Mau ke kantin gak?"
"Gak dulu Di, susah-susah banget soalnya ini!"
"Oh, yaudah"
Kemudian kuambil handphone dari dalam tas, lalu membuka game favoritku. Pada akhirnya jam istirahat hari itu hanya kuhabiskan bermain game seorang diri sembari menunggu Anto menyelesaikan soalnya. Sesaat setelah Pak Budi masuk ke kelas, aku baru teringat keinginan tadi pagi yang ingin mengobrol berlima dengan Anto, Laras, Aldo, dan Rian.
Satu kesempatanpun terlewat begitu saja, ini semua karena Pak Yatno yang membuat semuanya termasuk kecuali aku fokus mengerjakan tugas darinya, tapi tidak apa-apa masih ada jam istirahat kedua. Lagipula ini bukan pertama kalinya aku menghabiskan jam istirahat bermesraan dengan handphoneku. Itu hal biasa yang telah kulakukan entah berapa kali.
'